JURNAL KEMBANG KEMUNING: GELEMBUNG SABUN
Di bawah ini adalah sanjak-sanjak Ikranegara [selanjutnya aku singkat dengan Ikra] yang ia siarkan di milis [EMAIL PROTECTED] [5 Juli 2005]. PATH (2) many paths end in dead-end walls DEAD-END WALL this is it a slab of concrete from a fallen dead-end wall which used to be so powerful & frightening which blocked our sight & our free steps which shed the victims' blood and tears now lying low meaningless only scattered smelly garbage where flies feel at home PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? [Sumber: Ikranagara," [EMAIL PROTECTED] , Tuesday, July 05, 2005:2:39 AM; Subject: [koran-sastra] Four more tiny poems from Ikranagara, Four Tiny Poems from "Under the fullmoon Light" selected poems By: Ikranagara]. Ikra bukanlah orang baru di dunia perpuisian Indonesia walau pun tentu berada di bawah angkatan Goenawan Mohamad atau Rendra. Usianya pun sudah mencapai 60 tahun. Pencantuman usia ini kumaksudkan bahwa Ikra bukan anak kemarin sore di dunia puisi. Ia berpuisi sejak masih remaja SMA dan bahkan sejak usia remaja itu, ia sudah menjadi salaah seorang penandatangani Manikebu yang merupakan peristiwa budaya penting dalam dunia kebudayaan Indonesia. Artinya sejak remaja SMA, Ikra mempunyai wawasan dan pengetahuan politik yang dalam dan matang karena turut menandatangani sebuah pernyataan penting demikian [lepas dari kita setuju atau tidak] hanya mungkin jika kita sadar akan isinya dan atau ikut-ikutan. Oleh lamanya Ikra berkecimpung di dunia perpuisian, tidaklah heran jika secara tekhnis nampak ada penemuan diri pada sanjak-sanjaknya di atas.Karena itu di sini aku tidak akan menyentuh masalah tekhnis, tapi membatasi diri tentang pendapat yang Ikra ungkapkan dalam sanjak-sanjak di atas terutama dalam "Path [3]" dan "So Strange". Dalam dua puisi tersebut berpendapat bahwa: PATH (3) those who depend on their beliefs when facing a dead-end wall keep moving continue the journey but go nowhere SO STRANGE! so strange! those who depended on their beliefs facing a dead-end wall in the last century are still walking in the same place even in this new century forever? going nowhere? Isi kedua puisi di atas, kalau pemahamanku benar, tidak jauh berbeda, tapi saling melengkapi, yang satu menggarisbawahi yang lain, di mana Ikra mengatakan "so strange" terhadap orang ".who depended on their beliefs". Orang-orang ini menurut Ikra akan berakhir pada "go nowhere" Membaca deklarasi ini, pertanyaan yang muncul pada diriku: "Lalu apa yang Ikra maui? Apakah Ikra menginginkan orang-orang hidup tanpa pegangan dan menjadi "bendera di atas bukit" yang berkibar menurut arah angin? Bendera di atas bukit dengan kata lain adalah manusia bunglon, manusia angin-anginan yang berprinsipkan individualisme dan bila perlu tak segan menohok kawan seiring, dan jadi penjilat. Nilai atau prinsip menjadi tidak perlu dan tidak penting. Yang penting aku bisa selamat dan terangkat sehingga sang aku bisa ke mana saja dan bisa hidup dalam situasi apa saja. Bisa "going everywhere" or anywhere. Prinsip dan membela nilai manusiawi dipandang oleh Ikra sebagai "dead-end wall". Berpendapat begini tentu saja adalah hak Ikra sepenuhnya dan pilihan demikian sekaligus menentukan kadar kita sebagai anak manusia. Barangkali Ikra menganggap menjadi bendera di atas bukit, menjadi manusia angin-anginan, menohok kawan seiring, memang jauh lebih luhur dari prinsip-prinsip republiken dan keindonesiaan jika kita menterapkannya pada Indonesia dan Republik Indonesia sehingga dengan demikian kita bisa jadi "pahlawan" di segala zaman tanpa menantang resiko dan bebas dari ancaman bayonet ajal, tapi JIKA, memang pendapat Ikra, tentu aku tidak akan sependapat. Menghalau kolonialisme Belanda dan menjadi bangsa merdeka, bagiku adalah suatu prinsip yang patut dibela dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang ditulis di tembok-tembok kata Yogayakarta --ibukota Rvolusi Agustus 1945 --: "Merdeka atau Mati" atau seperti yang diungkapkan oleh poster Affandi: "Ajo Bung!" atau sanjak-sanjak Chairil Anwar seperti "Aku", "Diponegoro" atau "Kerawang-Bekasi" juga yang ditunjukkan oleh Rendra dalam sanjak-sanjak, Riantiarno di masa Soeharto berkuasa, atau oleh Ramadhan KH dalam "Priangan Si Jelita". Bagiku hidup tanpa prinsip dan tidak berani membela prinsip adalah suatu kekerdilan dan Indonesia serta Republik Indonesia yang kita impikan terwujudnya tidak memerlukan penjilat, orang angin-anginan dan mentalitas bendera di atas bukit sekalipun manusia begini tetap dan akan selalu ada. Adanya manusia jenis ini pun tidak membuatku berkata "so strange!", atau mengatakan yang bertarung mati-matian membela dan memenangkan prinsip atau nilai manusiawi sebagai orang yang menempuh jalan buntu dan kematian. Justru sebaliknya, tidak pernah kusaksikan penjilat dan orang-orang berwatak bendera di atas bukit mendapatkan jalan selamat. Cepat atau lambat mereka akan remuk, diremukkan waktu dan kebenaran. Kehidupan tanpa prinsip dan tidak berani membelanya inilah yang kulukiskan sebagai eksistensi gelembung sabun. Untuk sementara nampak berhamburan di udara, tapi hanya sejenak dan kemudian sirna entah ke mana. Kalau orang-orang ini nampak seperti berjalan di tempat, "are still walking in the same place even in this new century" dan seakan " for a time being [sementara] "going nowhere" , kukira ini adalah gejala dan hakekat. Pejuang-pejuang kemerdekaan pada tahun 1945 disebut oleh Belanda, tapi kemudian mereka, ketika imbangan kekuatan riil berobah, Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia, para bandit dan "koboi" [istilah Idrus!] ini kemudian jadi pahlawan. Aku sungguh tidak paham dan menolak anjuran Ikra agar kita menjadi manusia-mùmanusia tanpa "beliefs". Tokoh yang diciptakan Ikra melalui sanjaknya di atas adalah tokoh penjilat. Manusia budak beginilah memang yang diharapkan dan diciptakan oleh Orde Baru, tokoh yang hanya bertindak setelah "mendapat restu bapak", hanya bisa mengatakan "ya", membuat "asal bapak senang". Orde Baru dengan asas tunggalnya dikawal oleh pendekatan "keamanan dan stabilitas nasional" sesungguhnya punya prinsip untuk melanggengkan sistem militerisme dan tiraniknya. Kalau pemahamanku benar justru manusia budak tanpa prinsip inilah yang disanjung oleh Ikra.*** Paris, Juli 2005. ----------------- JJ.KUSNI [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/