KRONIK ANGSA LIAR:

SASTRA-SENI DI KALANGAN BURUH MIGRAN INDONESIA [3]





Yang menarik perhatian saya dan menimbulkan pertanyaan: Mengapa kegiatan 
sastra-seni buruh migran ini lebih mencuat di Hong Kong dibandingkan dengan di 
negeri-negeri lain?

Saya memang tidak punya angka persis tentang berapa jumlah buruh migran 
Indonesia di Hong Kong, juga dengan sendirinya saya tidak mempunyai data 
statistik tentang klasifikasi mereka, baik mengenai daerah asal, tingkat 
pendidikan atau pendidikan formal  mereka dan sebagainya. Tidak juga tentang 
jenis pekerjaan mereka. Sebab pengertian BMI tidak sebatas pada pekerjaan 
"pramuwisma" -- istilah lain yang bersifat pelembut bagi pekerjaan pembantu 
rumah tangga, tapi juga mencakup bidang-bidang pekerjaan lain seperti 
jururawat, buruh pabrik, bekerja di radio, atau tenaga ahli, dan lain-lain.... 
Apa yang saya dapatkan adalah evaluasi garis besar dari berita-berita mengenai 
BMI dan sumber-sumber langsung lainnya.

Kalau sumber saya benar, maka sekarang jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh 
buruh migran Indonesia, terutama adalah sebagai pembantu rumah tangga, dan 
umumnya mereka adalah buruh migran perempuan. Jumlah mereka sekarang, agaknya 
sudah menyaingi jumlah buruh migran dari Philipina yang di sekitar tahun 1991 
merupakan jumlah terbesar di bidang pekerjaan sektor ini.

Di sini saya tidak mencampuradukkan antara orang-orang asal Indonesia yang 
sudah menjadi warganegara Hong Kong yang jumlahnya, terutama setelah Tragedi 
Nasional September 1965, juga tidak sedikit. Kelompok ini tidak termasuk dalam 
kategori BMI. 

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah daerah asal para pramuwisma 
Indonesia di Hong Kong yang banyak sekali berasal dari Jawa Timur. Agaknya  
agen-agen penyalur pramuwisma ini banyak beroperasi di daerah Jawa Timur dan 
kemudian Jawa Tengah. Barangkali ada hubungannya dengan tingkat pengangguran 
dan keadaan sosial lainnya di kedua propinsi yang terpadat secara demografis di 
Indonesia. 

Adanya BMI saya kira tidak terlepas dari kondisi sosial-politik-ekonomi, 
terutama sejak Orde Baru. Sebab, pada masa pemerintahan Soekarno, BMI tidak 
dikenal. Karena itu saya katakan bahwa gejala BMI, tidak terlepas dari hasil 
dan akibat politik "pembangunan" Orba juga yang menciptakan kesenjangan luar 
biasa  antara kaya dan miskin di negeri kita. Ataukah barangkali gejala BMI ini 
suatu gejala kemajuan dan keberhasilan mewujudkan kemerdekaan nasional?!

Kembali pada masalah sentral: Mengapa justru di Hong Kong, terdapat kegiatan 
berkesenian yang berarti di kalangan BWI? Menjawab pertanyaan ini, barangkalik 
penjelasan Fia Rosa, seorang cerpenis yang banyak menggarap tema-tema BMI bisa 
memberi guna. Tulis Fia Rosa dalam cerpennya "Lukamu Adalah Dukaku"

"The Pearl of the Oriental [Mutiara Dari Timur], sebuah julukan untuk Hong Kong 
-- yang merupakan  salah-satu wilayah Republik Rakyat Tiongkok [RRT] yang 
sangat berkembang. Sistem pemerintahannya sangat bagus dan mendukung 
pertumbuhan ekomoni yang sangat pesat. 

Salah satu bentuk dari tatanan kehidupan bermasayrakat dan bernegara  yang 
sangat bagus ini, tercermin pada adanya peraturan hukum yang mengatur tentang 
pekerja migran" [Dari: Arsif Pribadi JJK]. 

****



Oleh adanya perlindungan hukum ini,  yang  merupakan peninggalan kolonialis 
Inggris, memungkinkan para BMI melakukan berbagai macam kegiatan,termasuk di 
antaranya kegiatan berkesenian, sebagaimana digambarkan oleh Fia Rosa di bawah 
ini:



"Banyak sekali aktifitas yang dijadwalkan setelah seminggu keletihan memandang 
muka-muka masam para majikan. Ada yang bersiap-siap melakukan pertemuan untuk 
organisasi. Ada yang janjian bertemu di Taman Victoria [Victoria Garden], ada 
yang pergi mengikuti kursus-kursus, ada yang melakukan kebaktian, bergabung 
dengan masyarakat lokal di gereja-gereja yang megah. Ada yang terburu-buru 
menuju ke mesjid untuk menghadiri pengajian. Ada yang menghabiskan waktunya 
untuk shopping. Ada juga yang pergi kencan dengan pacar-pacar mereka dari 
berbagai macam bangsa, seperti buruh mogran dari India , Pakistan, Nepal, atau 
pun orang-orang kulit putih. Tapi ada juga yang hanya bisa "bengong" 
lontang-lantung sendirian tak tahu apa yang mereka lakukan. 

Demikianlah suasana kehidupan para pekerja migran di hari-hari libur mereka". 
Sehingga tak heran jika para pekerja migran di Hong Kong tak seperti layaknya 
pekerja migran lainnya, keren-keren dan otak mereka encer,  tak kalah dari 
mereka yang jebolan sekolah tinggi di Indonesia meski sebenarnya mereka mungkin 
hanya lulusan sekolah dasar , SMP, maupun SMA walau ada juga yang jebolan dari 
sekolah tinggi". 

Adanya komunitas besar BMI, oleh Fia Rosa dijelaskan sebagai berikut:

"Menjadi pekerja migran bukanlah pilihan mereka. Pekerjaan ini mereka pilih 
dengan berat hati. Karena  Pemerintah Indonesia tak lagi peduli akan  nasib 
rakyat kecil, sudah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka 
sedangkan tuntutan kehidupan membuat mereka harus berjuang untuk tetap bertahan 
hidup".

Mencermati apa yang dituturkan oleh cerpenis Fia Rosa di atas nampak bahwa dari 
segi pendidikan formal, sebenarnya BMI di Hong Kong tidak terlalu jauh berbeda 
dari BMI yang di Saudi Arabia dan negeri-negeri Timur Tengah lainnya, atau dari 
yang terdapat di Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, Singapura dan lain-lain... 
Yang berbeda adalah syarat-syarat yang disediakan oleh Hong Kong dibandingkan 
dengan yang disediakan oleh negeri-negeri lain tersebut di atas. Syarat itu 
terutama berupa syarat politik-legalitas dan syarat di kalangan serta di 
sekitar BMI itu sendiri. Lahirnya organisasi-organisasi buruh migran berbagai 
negeri yang melakukan kerjasama dengan sesama buruh migran dan  dengan 
organisasi buruh setempat, kiranya, tidak terlepas dari adanya syarat 
politik-legalitas ini. Demikian juga munculnya komunitas-komunitas sastra-seni 
di kalangan buruh migran Indonesia seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus 
(Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Kosta yang dikomandani Ida 
Permatasari[Lihat:Harian Jawa Pos, 10 Juli 2005]. Kerjasama antar organisasi 
buruh migran dan organisasi buruh lokal nampak menonjol misalnya pada saat 
merayakan Hari Buruh Internasional 1 Mei -- kegiatan massal yang senantiasa 
disertai dengan kegiatan-kegiatan sastra-seni. Tanpa adanya faktor-faktor ini, 
saya kira tidak terbayangkan akan ada perkembangan sastra-seni di kalangan 
buruh migran. Barangkali adanya syarat-syarat demikian pulalah yang menjelaskan 
mengapa di negeri-negeri Timur Tengah tidak terdapat kegiatan berkesenian di 
kalangan buruh migran. Berita-berita tragis yang menimpa BMI di negeri-negeri 
Timur Tengah, saya kira menggambarkan sekaligus wajah politik  serta status 
perempuan di negeri-negeri itu. Dengan adanya syarat-syarat politik-legalitas 
di Hong Kong mendorong potensi intern pada pada BMI, dan ketika potensi intern 
ini mendapatkan ujudnya, BMI mendapatkan sarana nyata untuk mengembangkan diri 
di berbagai sektor, termasuk di bidang sastra-seni. Potensi intern BMI akan 
berkembang jika di kalangan mereka terdapat tenaga penggerak dan atau 
ditumbuhkannya tenaga penggerak sadar. Paduan dari syarat-syarat ini, jika 
penglihatan saya benar, terdapat di Hong Kong dan tidak atau kurang berkembang 
di negeri-negeri lain seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia 
apalagi di negeri-negeri Timur Tengah di mana BMI, terutama TKW seperti hanya 
obyek majikan belaka. Dari bocoran-bocoran berita yang saya peroleh, agaknya 
kegiatan BMI di Taiwan, memperlihatkan sedikit geliat sekalipun masih jauh 
berada di bawah Hong Kong. Sejauh yang saya lihat, dalam mendorong 
kegiatan-kegiatan berkesenian di kalangan BMI di Hong Kong, di samping adanya 
peranan organisasi-organisasi buruh di kalangan buruh migran, peranan 
tokoh-tokoh seperti Suraya Kamarazuman -- seorang akademisi yang berpihak dan 
berjaringan luas, saya kira pada tempatnya dicatat dan dijadikan bahan dalam 
memahami dan mempelajari gejala berkesenian di kalangan buruh migran. 
Barangkali keadaan ini  dan pengalaman Hong Kong ini memperlihatkan hubungan 
dialektis antara individu dan massa dalam menumbuhkan suatu gerakan seperti 
yang sejak lama ditunjukkan oleh sejarah berbagai negeri.

Oleh terbatasnya data-data rinci tentang BMI di berbagai negeri, termasuk Hong 
Kong, apa yang saya katakan di atas, tidak lebih dari suatu premis atau suatu 
hipotesa. Saya akan berterimakasih jika ada pihak-pihak yang mau memberikan 
rincian data representatif seperti demografi BMI, asal daerah, usia, tingkat 
pendidikan formal, situasi keluarga, lingkungan pekerjaan sekarang, dan 
lain-lain... kepada saya. Jika tulisan ini sudah bisa menarik perhatian lebih 
jauh, untuk mengkaji soal ini, saya merasa tulisan ini sudah mempunyai manfaat. 
Ada pun kritik "penuh kesalahan" tapi tidak bisa menunjukkan di mana kesalahan 
yang "penuh" itu, saya kira suatu kritik tanpa guna dan tak lebih dari ocehan 
belaka. Berada di tengah-tengah keadaan tidak serta-merta seseorang mengenal 
dan bisa membaca keadaan. Berada di Indonesia, tidak serta-merta membuat kita 
mengenal Indonesia secara dalam barangkali ini pulalah yang ditunjukkan oleh 
Sun Tzu, strateg Tiongkok Kuno dan berbagai filosof Yunani Kuno, ketika 
mengatakan: "Kenalilah dirimu!". Artinya mengenal diri kita sendiri bukanlah 
sesuatu yang serta-merta. "Tidak gampang menjadi dewasa" , ujar orang Dayak 
Katingan, Kalimantan Tengah. "Dewasa" saya pahami termasuk kemampuan mengenal 
diri dan keadaan. Barangkali kita memang tidak bocah lagi secara usia, tapi 
secara pola pikir dan mentalitas, kita tetap kanak yang baru belajar bicara.

Mengingat jumlah BMI sekarang sudah mencapai tingkat jutaan, potensi dan 
sumbangan potensial yang bisa mereka berikan pada bangsa dan kemanusiaan, saya 
kira, akan sangat arif jika pihak-pihak terkait termasuk para 
sastrawan-seniman,  memperhatikan  masalah BMI ini secara serius.*** 



Paris, Juli 2005.

JJ.KUSNI

[Bersambung....]


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke