Tom Lembong, kepala divisi AMI BPPN, pembeli Bank BCA 
Menurut majalah Tempo Edisi 12, 14-20 Mei 2007, diberitakan bahwa Thomas 
Trikasih Lembong dibalik FarIndo Investment Ltd yang berhasil mengakuisisi Bank 
BCA. Tom Lembong tinggal di Jakarta di Puri Imperium Rasuna Said, sedangkan 
Farallon Capital Management LLC merupakan perusahan go-public di USA dengan 
nomor reg 0000909661. 


Kaya, Belia, Lalu Menggurita

Tempo. Edisi. 12/XXXIIIIII/14 - 20 Mei 2007. Ekonomi dan Bisnis. Bergelimang 
miliaran dolar, sejumlah eksekutif muda gencar berburu aset ”murah” di 
Indonesia. Dibekingi raksasa investasi dunia asal Amerika, Eropa, dan Asia.

SUNGGUH beruntung mereka: muda, brilian, berlimpah harta, tampan pula. Berbekal 
pendidikan dari universitas masyhur di mancanegara dan pernah malang-melintang 
di berbagai lembaga keuangan top dunia, anak-anak muda ini pun kini berjaya di 
Tanah Air.

Merekalah profesional muda di bawah 40 tahun yang kini tengah bersinar di 
kancah bisnis investasi lokal. Lewat perusahaan pengelola dana investasi yang 
dibangunnya, miliaran dolar dana asing—juga lokal—dibetotnya masuk untuk 
dibenamkan di negeri ini.

Nama kondang itu antara lain Sandiaga S. Uno, 38 tahun, Rosan P. Roeslani (38), 
Tom Lembong (36), dan Patrick S. Walujo (32). Lahan investasi yang dibidik 
membentang dari bisnis pertambangan, perbankan, jaringan bisnis retail, hingga 
cineplex.

Semua berawal saat badai krisis ekonomi dan moneter melanda Asia Timur dan Asia 
Tenggara pada 1997. Ketika itu, banyak perusahaan bagus yang tiba-tiba kolaps 
tertimbun utang segunung akibat bunga yang melonjak tinggi setelah rupiah 
ambruk digempur dolar.

Bagi sebagian orang, krisis itu tak ubahnya kiamat kecil. Kerajaan bisnis yang 
dibangun puluhan tahun runtuh hanya dalam sekejap. Tapi, buat sebagian orang, 
krisis justru mendatangkan peluang. Inilah kesempatan bagi mereka untuk berburu 
aset bagus dengan harga sangat murah. Pendek kata, mereka tinggal menuai panen, 
sementara yang bertahun-tahun berkeringat membangunnya hanya bisa melihat dari 
jauh.

Untuk bisa mendanainya, mereka membentuk lembaga investasi alternatif, seperti 
private equity fund dan hedge fund. Dananya mereka peroleh dari lembaga-lembaga 
keuangan internasional dan lokal. Hedge fund biasanya mengincar lahan investasi 
jangka pendek dengan tingkat likuiditas tinggi, seperti di bursa. Sedangkan 
private equity fund biasanya lebih berfokus pada investasi jangka panjang: 5-10 
tahun.

Berbekal dana investor itu, mereka biasanya kemudian memborong 
perusahaan-perusahaan yang bangkrut atau tengah menghadapi kesulitan keuangan 
(distressed asset). Perusahaan-perusahaan itu kemudian dibenahi oleh tim 
manajemen profesional, untuk nantinya dijual kembali setelah sehat dan 
menguntungkan. Di Indonesia, bisnis seperti ini memang terbilang baru. Padahal, 
di Amerika dan Eropa, bisnis sejenis sudah lama menjamur.


Peluang inilah yang kemudian juga ditangkap oleh Sandiaga S. Uno. Bersama 
pengusaha kawakan Edwin Soeryadjaya, ia mendirikan PT Saratoga Capital pada 
1998. ”Waktu itu, mitra saya, Pak Edwin Soeryadjaya, percaya bahwa di masa 
krisis pasti banyak peluang,” ujar Presiden Direktur Saratoga ini mengenang.


Belakangan, Sandiaga bersama rekan sebangkunya di SMA Pangudi Luhur, Jakarta, 
Rosan P. Roeslani, juga mendirikan PT Recapital Advisors. Keduanya sempat 
terpisah ketika menimba ilmu di bangku kuliah—Sandiaga memilih George 
Washington University, Amerika Serikat, sedangkan Rosan di Antwerpen 
University, Belgia. Tapi naluri bisnis yang kuat kembali menyatukan mereka.


Di masa awal krisis, nama lain yang cukup berkibar adalah Hary Tanoesoedibjo. 
Mengusung bendera PT Bhakti Asset Management, penyandang master of business 
administration dari Universitas Carlton, Kanada, ini mendirikan Indonesia 
Recovery Company Limited bersama Asia Debt Management.


Sejumlah perusahaan di brankas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan 
aset Prakarsa Jakarta termasuk yang dibidiknya. Selain pernah dikenal dekat 
dengan spekulan global George Soros, Hary ditengarai kerap ”dititipi” dana 
investasi oleh para konglomerat papan atas, termasuk Salim.


Namun belakangan Hary lebih dikenal sebagai raja media. Lewat bendera Grup 
Bimantara yang diakuisisinya, sejumlah media kini berada dalam genggamannya: 
dari stasiun televisi swasta, radio, hingga media cetak.


Setelah sekian lama, nama-nama baru menyusul. Sebut saja Northstar Pacific yang 
dinakhodai Patrick Walujo, menantu mantan Presiden Direktur Astra 
International, Theodore P. Rachmat. Ada juga Quvat Management Pte. Ltd.—di 
Indonesia memakai nama Principia Management Group—yang dikendalikan oleh Tom 
Lembong (lihat ”Yang Muda yang Berkelimpahan”).


Tom bukan nama asing di jagat investasi. Mantan bankir investasi dari Morgan 
Stanley (Amerika Serikat) ini pernah menjabat Kepala Divisi Asset Management 
Investment di BPPN.


Selepas dari sana, ia bersama sejawatnya dari BPPN hijrah ke FarIndo Investment 
Ltd., yang berhasil mengakuisisi Bank Central Asia. Namun kemudian ia dan para 
sejawatnya itu memilih ”hengkang” dari FarIndo dan mendirikan Principia (Quvat).

BUAT para pengelola investasi, kemampuan menggaet nama-nama besar ”pendonor” 
jelas merupakan persyaratan mutlak jika bisnisnya ingin berkibar. Maklum, ini 
bukanlah bisnis recehan. Mereka memerlukan ratusan juta dolar untuk memburu 
aset-aset di Indonesia.

Itu sebabnya, di balik dapur mereka, terpampang nama-nama besar dengan dana 
investasi bejibun. Beberapa di antaranya adalah pengelola dana investasi dan 
keuangan global, seperti Texas Pacific Group, Citigroup, Goldman Sachs, 
Farallon Capital Group, dan Government of Singapore Investment Corp.

Ada pula sejumlah yayasan berduit, seperti Duke University Endowment, Stanford 
University, atau Bill Gates dan Melinda Gates Foundation. ”Tingkat pengembalian 
investasi 20 persen per tahun cukup menarik bagi mereka untuk menanamkan duit 
di sini,” kata Sandiaga, peraih gelar MBA dari The George Washington 
University, AS.

Menurut salah seorang pengelola dana investasi, awalnya memang tak mudah 
meyakinkan para pemilik harta itu untuk menitipkan sebagian duitnya. Maklum, 
ini menyangkut dana miliaran dolar. Para pemilik itu biasanya menelusuri jejak 
rekam para pengelola dana investasi ini antara lain melalui universitas tempat 
mereka bersekolah atau perusahaan tempat mereka bekerja dulu. ”Bahkan tak 
jarang mereka menyewa agen detektif terkenal, seperti Kroll Associate,” 
katanya. Maklumlah, sebagian besar pendatang baru.

Setelah terjadi akad, mengalirlah dana itu ke kantong-kantong perusahaan 
investasi ini. Berbekal dana global itulah mereka kemudian bersaing berebut 
aset ”murah” di negeri ini. Tender penjualan aset atau tagihan utang di BPPN, 
yang kini telah beralih ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), merupakan salah 
satu ajang paling menarik buat mereka.

Sejumlah kisah sukses pernah didulang. Bhakti, misalnya, sukses membeli Salim 
Oleochemical dari BPPN. Sedangkan Recapital berhasil memenangi tender pendanaan 
tambak udang terbesar di Asia Tenggara, PT Dipasena Citra Darmaja, dan 
pembelian saham Bank Tabungan Pensiunan Nasional dari PPA.

Kisah seru lain terjadi dalam pembelian PT Adaro Indonesia, salah satu tambang 
batu bara terbesar di Tanah Air, pada 2005. Dalam transaksi ini, mereka semua 
tergabung dalam satu konsorsium. Sandiaga, Patrick, dan Tom sempat urunan 
bareng, dibantu Edwin Soeryadjaya dan T.P. Rachmat, plus Erick Tohir, pemilik 
Grup Mahaka. ”Dalam transaksi Adaro, kami semua berkawan,” ujar Patrick, yang 
pernah berkarier di Goldman Sachs.

Tapi lain halnya dalam transaksi Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Dalam proses 
pembelian bank para pensiunan ini, Tom dan Patrick kabarnya pecah kongsi. Kok, 
bisa begitu? ”Kompetisi kadang tak bisa dihindari,” ujar Sandiaga. Lagi pula, 
kata sumber Tempo menimpali, ”Mereka punya gaya yang berbeda.”

Terlepas dari kisah di balik perkawanan dan sengitnya persaingan di antara 
mereka sendiri, bisnis kaum belia itu kini telah menggurita. Saratoga, 
misalnya. Meski usianya belum genap 10 tahun, jaring bisnisnya sudah merambah 
ke berbagai bidang, antara lain batu bara, minyak dan gas, pertambangan, 
perkayuan, perkebunan, serta infrastruktur, seperti telekomunikasi, jalan tol, 
dan listrik. ”Total dana yang diinvestasikan mendekati US$ 1 miliar (sekitar Rp 
9 triliun),” kata Rosan.


Northstar, yang baru berusia tiga tahun, juga sudah berhasil mengakuisisi 
sejumlah perusahaan. Di antaranya PT Alfa Retailindo Tbk. (40 persen) dan Alfa 
Mart (40 persen). Keduanya dulu berada di bawah bendera Sampoerna. Northstar 
juga memiliki perusahaan gas cair dan ladang migas di Sumatera Selatan.


Menurut Patrick, dana investasi yang dikelolanya berkisar US$ 100 juta atau 
sekitar Rp 900 miliar. Sebanyak US$ 15 juta di antaranya berasal dari Texas 
Pacific Group, lembaga investasi raksasa asal Amerika Serikat. ”Kalau kurang, 
kami bisa minta lagi,” katanya.


Bagaimana dengan Quvat Management? Perusahaan yang disebut-sebut mengantongi 
dana investasi US$ 150 juta atau sekitar Rp 1,35 triliun ini, selain punya 
saham di Adaro, kini tengah berkibar lewat investasinya di bisnis hiburan.


Sejak November tahun lalu, Quvat—kabarnya juga menggandeng kelompok Artha 
Graha—menempatkan diri menjadi penantang serius jaringan Cineplex 21 di dunia 
bisnis hiburan film dengan menghadirkan Blitz Megaplex Cinema.


Begitulah, bak burung nasar, para eksekutif muda ini terus mengintai dan siap 
mencaplok setiap perusahaan yang tengah ”sekarat” sekaligus memikat. ”Pekerjaan 
kami memang memburu peluang-peluang baru,” kata Patrick.


Beberapa perusahaan kini sudah masuk daftar prioritas incaran mereka. Tambang 
emas Newmont di Nusa Tenggara Barat tengah dibidik oleh Saratoga. Maskapai 
penerbangan terbesar di Indonesia, Garuda Indonesia, diam-diam juga diminati 
oleh Northstar bersama Texas Pacific Group.


Masih ada lagi. Ladang minyak raksasa Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, 
kabarnya juga tak lepas dari intaian mereka. ”Ada yang sedang ngebet membidik 
porsi penyertaan saham pemerintah daerah di blok minyak itu,” ujar seorang 
sumber membisikkan.


Jika memang begitu, persaingan dan perkoncoan berebut aset tampaknya masih akan 
riuh.


MD, Heri Susanto, Retno Sulistyowati

http://alumnistan.blogspot.com

    

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke