http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=178126

Rabu, 29 Juni 2005,


Keadaan Darurat Korupsi
Oleh: Mohammad Yasin Kara


Perilaku korupsi di negeri ini telah menjalar ke seluruh lini kehidupan dan 
prosesnya berjalan secara sistematis serta terstruktur. Sehingga, tidak ada 
lagi ruang kekuasaan dan birokrasi yang tidak tercemar virus korupsi ini. 

Karena itu, realita sosial tersebut layak kita sebut sebagai keadaan darurat 
korupsi. Sebab, seperti yang diberitakan banyak media, bantuan kemanusiaan 
untuk pengungsi di Poso saja dikorupsi.

Misalnya, alokasi dana untuk pengungsi korban tsunami Aceh serta Nias sedang 
dipertanyakan Tim Pemantau dan Rehabilitasi Aceh DPR karena ternyata hingga 
kini bantuan keuangan yang seharusnya sudah turun enam kali itu baru diturunkan 
sekali. Belum lagi korupsi besar lainnya.

Lebih dari itu, meski negeri ini telah berganti presiden, hingga saat ini 
ternyata belum ada yang mampu mengungkap kejahatan korupsi yang sangat 
membahayakan tersebut.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, tampaknya, masih tertatih-tatih 
dalam menangani kasus korupsi. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa upaya 
pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah masih sangat dangkal, belum 
menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. 

Ibarat membunuh seekor ular, upaya pemberantasan korupsi baru mampu memukul 
ekornya. Begitulah, pemberantasan korupsi tersebut masih sangat parsial. 

***
Mengapa demikian? Coba kita amati secara lebih detail, gerak pemberantasan 
korupsi itu ternyata baru mencapai titik awal kesadaran kognitif dengan 
aplikasi yang sangat relatif dan minim. Dengan pengertian, upaya pemberantasan 
korupsi tersebut belum maksimal. 

Patut kita bertanya, mengapa pemerintah baru dan hanya terlihat serius 
menangani kasus korupsi yang baru dan nominalnya "sangat" kecil, sedangkan 
kasus lama yang nominalnya cukup besar tampak terlupakan? Atau, memang sengaja 
dilupakan seperti kasus BLBI, pembobolan bank BNI, serta pemberian bonus secara 
tidak wajar di PLN yang sangat berbelit-berbelit? 

Memang, kalau mau jujur, saya pikir tidak ada satu instansi pun di negeri ini 
yang bersih dari noda hitam korupsi, setidaknya adalah korupsi waktu, 
penggunaan telepon, dan ucapan terima kasih dengan amplop atas pemberian proyek 
oleh seorang pejabat negara dalam sebuah instansi. 

Bahkan, Presiden SBY pernah menegaskan bahwa pihaknya telah memperoleh data 
sejumlah korupsi di berbagai BUMN. Namun, hingga saat ini, presiden belum 
menyebutkan BUMN mana dan bagaimana penyelesaiannya. 

Hal tersebut terjadi karena para pejabat negara, dalam hal ini presiden beserta 
seluruh jajarannya, belum menganggap fenomena korupsi sebagai keadaan darurat. 

Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie lebih sibuk mendesak agar 
Menteri Negara BUMN Sugiharto memprivatisasi BUMN, meski akhirnya menampik dan 
setuju untuk tidak menjual saham BUMN karena harganya masih rendah daripada 
melakukan revitalisasi perekonomian nasional kita. 

Untungnya ada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang secara tegas menentang upaya 
penjualan saham atau privatisasi aset BUMN itu sekadar untuk mengejar setoran 
APBN dan mendapatkan pinjaman USD 250 juta dari Bank Pembangunan Asia (ADB). 

Dalam hal ini, perlu saya tegaskan, privatisasi itu secara substansial 
merupakan jelmaan lain dari proses kolonialisasi pada abad modern kini dan 
secara lebih substantif bisa didefinisikan sebagai pelanggaran konstitusi pasal 
33 UUD 1945. Sebab, privatisasi tidak akan menguntungkan rakyat. Lihat saja 
saham pemerintah di Indosat yang hanya tinggal 14 persen. 

Ironis bukan? Padahal, untuk mengejar setoran APBN, pemerintah bisa 
merevitalisasi perekonomian nasional, menangani pemberantasan korupsi secara 
sungguh-sungguh dan tegas. 

Dengan demikian, sejumlah uang negara yang dikorupsi dalam jumlah besar itu 
dikembalikan -dan memang demikian idealnya. Misalnya, kasus BLBI, pembobolan 
Bank BNI, bonus atau tantiem PLN yang sedang merugi, termasuk korupsi di KPU. 

Bahkan, menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP 
Organda) Uty Murphy Hutagalung, pungutan liar setiap tahun di seluruh Indonesia 
mencapai Rp 11 triliun. Itu jumlah yang sangat besar, tetapi hingga kini tidak 
pernah diberdayakan secara sungguh-sungguh. 


***
Harus kita akui, pemberantasan korupsi di Indonesia -umumnya di kawasan Asia- 
seperti yang ditengarai Syed Hussein Alatas memiliki hambatan. Namun, betapa 
pun berat dan besarnya hambatan tersebut, tidak ada sesuatu yang tidak bisa 
diatasi jika ada keinginan kuat untuk mengatasinya.

Juga, berbagai kasus korupsi di negeri ini. Dalam hal ini, jika aparat penegak 
hukum serius menangani, tidak ada yang tidak bisa karena pemerintah sebenarnya 
memiliki instrumen untuk menangani kasus-kasus seperti itu.

Persoalannya, apakah pemerintah betul-betul serius memberantas perilaku korupsi 
atau semata untuk membangun opini publik dengan kebijakan politik populis guna 
mempertahankan kekuasaannya atau tidak? 

*. Mohammad Yasin Kara, anggota Komisi II DPR RI





[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke