http://www.republika.co.id/berita/103419/kebebasan-agama-bukanl-masalah-di-indonesia

Kebebasan Agama Bukan Masalah di Indonesia

Ahad, 07 February 2010, 09:28 WIB
JAKARTA -- Kebebasan beragama di Indonesia selama ini tak menjadi masalah. 
Menurut Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, masalah muncul 
saat ada kelompok yang mengusung ajaran tertentu dan mengaku memiliki ajaran 
yang sama dengan agama yang sudah ada. 
Padahal, ujar Yunahar, keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran pokok agama 
tertentu. ''Saat umat beragama menentang kelompok itu, sebagian orang kemudian 
menyatakan bahwa langkah itu melanggar kebebasan beragama,'' katanya kepada 
Republika, Jumat (5/2). 

Yunahar mengatakan, pemahaman seperti itu perlu diluruskan. Sebab, kata dia, 
mestinya tak boleh orang menodai agama orang lain. Setiap orang seharusnya tak 
mengusung keyakinannya, namun kemudian menodai keyakinan agama yang dianut oleh 
orang lain. 

Menurut Yunahar, jika ada kelompok yang mengaku beragama Islam, namun 
menjalankan ajaran yang tak sama dengan pokok ajaran Islam, mestinya tak 
menganggap dirinya Islam. Sebab, apa yang mereka yakini bertentangan dengan 
keyakinan pokok dari ajaran Islam. 

Umat yang memeluk agama selain Islam, kata Yunahar, tentu juga akan tak sepakat 
dengan kelompok yang mengaku beragama tersebut. Karena, kelompok itu meyakini 
sesuatu yang tak sesuai dengan ajaran pokok agama bersangkutan. 

Di sisi lain, Yunahar berharap, umat Islam mampu mengatasi hal-hal seperti itu 
dengan baik. Artinya, umat Islam lebih mengedepankan argumentasi dalam 
menyelesaikan masalah semacam itu. ''Kita harus mampu secara tenang menghadapi 
hal-hal tersebut,'' katanya. 

Jangan sampai, ujar Yunahar, umat Islam melakukan tindakan kekerasan dan 
anarkis. Ia mengatakan, dalam masalah uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang 
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, umat Islam juga mesti tenang.

Menurut Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama Majelis Ulama Indonesia 
(MUI), Slamet Effendi Yusuf, penodaan dan penistaan agama bukanlah bagian dari 
kebebasan beragama. Jadi, jangan salah mengartikan kebebasan beragama. 

Kebebasan beragama, kata Slamet, tak mutlak, namun dibatasi oleh kebebasan dan 
hak asasi orang lain. Ia juga menyatakan, jika undang-undang yang mengatur 
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dicabut atau diubah, peluang 
penodaan agama kian besar. 

Slamet menyatakan, kelak yang menjadi korban justru agama-agama minoritas. 
Maka, ia berharap, Mahkamah Konstitusi (MK) berhati-hati dalam mengambil 
keputusan atas uji materi undang-undang tersebut. Apalagi, kata dia, saat belum 
ada penggantinya. 

Hal yang sama diungkapkan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail 
Yusanto. Menurut dia, tak adanya aturan soal penodaan agama akan menimbulkan 
dampak buruk. Aliran sesat tentu akan banyak bermunculan. 

Mereka, ungkap Ismail, akan merasa bebas mengusung aliran itu dengan dalih hak 
asasi manusia (HAM). Penghancuran Islam juga akan terjadi secara 
terang-terangan dan masif. Penghinaan dan penyerangan terhadap Islam akan 
bertebaran. 

Sekarang saja, hal semacam itu sudah banyak terjadi di Indonesia. Misalnya, ada 
kelompok yang mengatakan Islam melecehkan perempuan, Alquran kitab kekerasan 
dan paling porno, harus ada amendemen Alquran, dan penghinaan lainnya. 

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Hubungan Antaragama dan Kepercayaan 
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Romo Beni Susatyo, menyatakan, menganut 
agama dan melaksanakan ibadah sesuai agamanya merupakan hak asasi seseorang. 

Di sisi lain, Ketua Dewan Pembina Setara Institute, Hendardi, mengungkapkan, 
selama ini pemerintah memberikan jaminan setengah hati terhadap kebebasan 
beragama. Laporan pemantauan Setara Institute selama tiga tahun berturut-turut, 
yaitu 2007-2009, menunjukkan hal itu. 

Menurut Hendardi, politik pembatasan HAM yang diadopsi UUD 1945, yaitu Pasal 28 
J ayat 2, telah membuat jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan serta 
jaminan hak konstitusional warga negara lainnya terabaikan dan tak serius 
ditegakkan.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to