http://www.indomedia.com/poskup/2006/08/07/edisi07/opini.htm
Kekalahan petani mendorong revolusi Oleh Pius Rengka * MENGAPA para petani di Indonesia (cq. Manggarai, Flores) hari-hari belakangan ini kerap demonstrasi, tetapi selalu kalah dalam urusan hukum? Itulah pertanyaan inti tulisan ini. Artikel ini, tentu saja, ingin menjawab pertanyaan itu sambil merajut konteks politik yang bertiup sekitarnya. Petani dalam visi postmodernisme adalah subyek kultural, bagian dari identitas jender, etnis, regional dan nasional. Tetapi, pada kesempatan yang sama mereka telah menjadi bagian dari angkatan kerja industri global. Petani jauh dari kesadaran bahwa mereka telah terjebak dalam jaringan pukat rezim industri global. Yang disadari hanyalah bahwa apa yang dilakukannya tidak lebih dari menjawab naluri pemenuhan kebutuhan hidup hariannya agar survive di jagat raya ini. Petani (Noer Fauzi, 2003) adalah orang dan/atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Pemahaman ini tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Ada sedikitnya empat pilar asumsi pada konteks petani. Asumsi pertama, petani bekerja dengan cara ekonomi produksi tertentu. Petani bukanlah satu golongan homogen. Petani hidup dalam konteks struktur ekonomi dan politik agraria tertentu (Noer Fauzi, 1999). Struktur tersebut mengkondisikan bakal apa nasib mereka. Nasib petani dalam jebakan konstruksi feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam skema kapitalisme kolonial, dan berbeda pula nasib mereka dalam gurita kapitalisme pascakolonial. Asumsi kedua, tentang cara produksi. Petani selalu berhubungan dengan golongan lain atau menggantungkan nasibnya pada rezeki golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja. Mereka kerap bergantung pada kantung-kantung masyarakat suku asli (masyarakat adat yang terisolasi seperti suku Boti di Kabupaten TTS). Dalam struktur feodalisme, petani penggarap tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan oleh para penguasa tanah (raja dan aparatnya). Tetapi, di dalam lilitan jaring struktur ekonomi kapitalis kolonial, nasib petani ditentukan oleh program-program agraria penguasa kolonial. Culture stelsel pada rezim kolonial Belanda adalah satu contoh yang menyejarah. Para petani wajib menanam rempah-rempah karena pasar di negeri Belanda sangat menjanjikan. Karena itu, sejarah penjajahan politik kerap akrab dan beriringan jalan dengan sejarah kepentingan ekonomi. Begitu pun nasib petani pada rezim Orde Lama di Indonesia. Para petaniditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada rezim despotic Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara. Sekadar menyebut contoh. Petani cengkeh di Sulawesi sangat bergantung pada bisnis cukong cengkeh di tanah air (era Orde Baru). Tanah petani pun ditentukan sepihak oleh kepentingan negara terutama ketika UU Pokok Agraria terbit tahun 1960. Tatanan tanah mereka pun rusak oleh kepentingan rezim pembangunan yang mengklaim tanah sebagai sarana pembangunan nasional dan dikuasai oleh negara. Begitu pun nasib tanah di Manggarai, Flores. Pembagian tanah dengan sistem lodok (jaring laba-laba) di Manggarai, terpaksa terpasung masuk dalam skema terasering rezim justru karena demi memuliakan UU Pokok Agraria yang sarat dengan hegemoni kepentingan negara. Inovasi dalam skema hukum rezim adalah selalu bermakna rekayasa merusak kultur demi kepentingan akumulasi modal. Asumsi ketiga, ekonomi dan politik bukanlah dua entitas terpisah yang tak memiliki hubungan kausal apa-apa. Walau patut disadari, dua hal itu dapat dibedakan secara akademis. Ekonomi adalah mengenai unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari ekstasi surplus (penghisapan) dalam produksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan politik adalah tentang unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Dan, hukum biasanya dijadikan alat ampuh bagi mereka yang berkepentingan dalam eksploitasi itu. Dengan kata lain, dalam ikhtiar kuasa, hukum tidak lebih dari instrument politik untuk melindungi kepentingan rezim. Maka hukum pulalah sebagai alat legalitasi untuk mengalahkan pihak yang perlu dikalahkan dan memenangkan pihak yang "sebaiknya" dimenangkan. Karena itu urusan kalah menang dalam perkara dengan rezim, bukan soal diskursus hukum yang mewakili moralitas, melainkan praktek amoralitas kuasa melalui justifikasi hukum. Kerangka itulah yang membuat mantan Kapolres Manggarai, Boni Tampoi, bebas dari jeruji hukuman. Pertemuan ekonomi dan politik pada banyak kasus sangat jelas. Pendekatan ekonomi politik (political economy) berguna untuk melihat ekonomi dan politik sebagai satu-kesatuan. Dengan begitu, feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi sekaligus politik. Karena itu, mencermati sejarah gerakan petani tak mungkin dipisahkan dari sejarah ekonomi dan politik sekaligus. Memisahkan dua variabel sosial kehidupan ini dari gerakan petani, sama dengan menceraikan tubuh dari jiwanya. Asumsi keempat, petani selalu reaktif terhadap perlakuan (intervensi) yang datang dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani sulit berintegrasi dengan usaha-usahainovasi. Kesulitan itu ditunjukkannya melalui aneka rupa perlawanan (keras dan terbuka maupun yang lembut dan tertutup). Tingkat penolakan (resistensi) petani bisa berwujud menjadi gerakan berskala besar (kasus marmer di TTS, SoE), bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Dengan kata lain, jika kemarahan petani bersua dan ber-evolusi dengan konteks luar yang tepat, akan selalu memproduksi revolusi. Karena itu kemarahan selalu lahir dari ketidakadilan sikap. Bentuk pergerakan petani bukan hanya bersifat pemberontakan terbuka (petani Banten 1888), tetapi gelar perlawanan mereka pun bersifat tertutup atau tersembunyi atau diam-diam (sulit/tidak terdokumentasi), seperti yang ditulis James Scott. Perlawanan petani Colol di Manggarai, adalah satu contoh model resistensi terbuka setelah perlawanan diam-diam tak berbuah banyak. Bayangkan, jika semua petani di Manggarai melakukan perlawanan serupa, apakah rezim sanggup menahan badai gelombang perlawanan itu? Mencermati asumsi-asumsi itu, kiranya ditangkap sebuah makna bahwa petani bukanlah entitas sosial yang isolatif eksklusif yang tidak berinteraksi dengan entitas sosial lainnya. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang bukan petani. Kecuali itu, petani juga memiliki kultur khas yang dari waktu ke waktu mengalami adaptasi melalui aneka model resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari mana petani itu berinteraksi. Dengan demikian, petani bekerja dengan cara produksi tertentu, hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu (dinamika cara pandang) yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial itu mengubah petani secara khas pula. Memang, banyak kalangan mengakui, perubahan sosial (dari pra feudal hingga kapitalisme global dan postmodernisme) berlangsung begitu cepat dan bergemuruh. Tetapi toh, ada sesuatu yang selalu persisten pada realitas hidup para petani yaitu dinamika sosialnya cenderung degresif (Geertz menyebut involusi) dan para petani selalu saja akan menjadi satu unit entitas sosial yang tertindas atau yang dieksploitasi oleh kekuatan negara dan modal. Karena itu, tanah para petani merupakan arena bertemunya kekuasaan politik di satu pihak dan kepentingan modal di pihak lain. Kelakahan petani Colol, Manggarai, Flores, lagi-lagi satu bukti kontekstual tentang betapa sekutu kekuatan negara dan modal selalu menggilas petani dan pembela kebenaran petani. Hukum negara dan para cecunguk yang menggantang kuasa hukum bisa ditelikung demi kuasa dan harga diri para penindas. Tetapi yakinlah bahwa petani selalu pasti menyimpan energi perlawanan (revolutif) untuk sejarah mereka ke masa depan. Rezim yang kian ganas dipercaya banyak pihak sebagai tanda bahwa rezim tersebut akan segera tumbang, karena ia mengalami pembusukan pada dirinyasendiri justru karena perilakunya yang tidak manusiawi dan kurang sensitif konflik sosial. Kasus petani Colol yang kalah dalam wilayah administrasi hukum negara merupakan bukti kuat bahwa anasir-anasir dan kultur rezim Orde Baru belum tumbang tuntas hingga ke akar-akarnya. Tetapi, dia akan segera dituntaskan seiring dengan makin solidnya sekutu gerakan masyarakat sipil, dan aktor-aktor penegak hukum kian dikontrol oleh mekanisme demokrasi. Maka politik rezim ialah bagaimana agar solidaritas masyarakat sipil itu tumbang dan remuk berkeping-keping agar mereka luput dari teropong demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Sedangkan masyarakat sipil dan para aktor prodemokrasi akan selalu sinis dengan perilaku aparat hukum yang bebal dan menggunakan kuasanya untuk menindas rakyat. Coba perhatikan sejarah ini. Pada periode Orde Baru, petani yang tak memiliki tanah (buruh tani) berbeda nasibnya dengan petani yang memiliki tanah luas. Nasib mereka umumnya ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara. Sedangkan pada rezim kapitalisme global, nasib petani ditentukan oleh kaum kapitalis yang mengontrol dinamika pasar dan mereka bekerja sama dengan aktor-aktor politik dalam negeri yang menjadi kompradornya. Tetapi, Orde Baru dan kulturnya belum tumbang, kecuali hanya menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaan selama 32 tahun. Makna pasar dalam konteks ini pun bukan lagi sebagai tempat pertemuan suplay and demand (permintaan dan penawaran), melainkan pasar sebagai arena pertempuran power (kekuasaan atau kekuatan) politik dan modal. Sebagai akibat dari pertempuran itu, petani biasanya selalu terpinggirkan atau dikalahkan. Namun, percayalah pada saat kesadaran kian tumbuh, bahwa petani ternyata selalu dikorbankan demi kepentingan kuasa para penindas, pada saat itulah biasanya energi perlawanan kian tumbuh mekar menggumpal menjadi solidaritas kaum tertindas, lalu berubah menjadi revolusi. Karena itu, sumbangan terbesar revolusi sesungguhnya bukan pada apa dan siapa yang menggerakkannya, melainkan terletak pada bagaimana cara para penindas melakukan penindasan terhadap rakyat dengan regulasi dan kuasa yang mereka punya. Karena itu jika mencari siapa penggerak revolusi, maka jawabannya ialah bahwa revolusi sesungguhnya dibuat dan didorong oleh para penindas itu sendiri cq. aparat penegak hukum. Maka matinya tujuh petani di Colol pada kasus Rabu berdarah dua tahun lalu itu adalah satu bukti bahwa kuasa menyiram dan meminta hadirnya revolusi di wilayah itu. * Penulis, warga Kota Kupang, tinggal di Jalan Antarnusa, Liliba, Kupang [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/