http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104209
Kenaikan BBM Cekik Rakyat Kecil @ Kompensasi Gagal, Penduduk Miskin Collapse Oleh Ricky Rachmadi Rabu, (02-03-'05) Tepat pukul 00.00 WIB, 1 Maret 2005, pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Walaupun banyak kalangan keukeuh menentang, kenaikan tetap dilakukan rata-rata secara keseluruhan mencapai 29%. Tak pelak lagi, terjadi pro-kontra antara pemerintah dan masyarakat yang menolak kebijakan itu. Maka, pada hari-hari ini, pasca kenaikan harga BBM pun penuh diwarnai dengan aksi-aksi unjukrasa oleh berbagai elemen masyarakat. Kita berharap, aksi-aksi protes dan demonstrasi di berbagai tempat yang merata di seluruh Tanah Air itu tetap berada dalam koridor yang benar dan tetap murni menyuarakan jeritan hati nurani rakyat. Pemerintah harus sungguh-sungguh mendengar suara rakyat. Kenaikan harga BBM ini memang pil pahit dan sungguh pahit bagi masyarakat miskin di negeri ini. Untuk meminimalisasi dampak negatif atas kenaikan harga BBM ini, pemerintah melancarkan program pemberian dana kompensasi pengurangan subsidi BBM yang jumlahnya sebesar Rp 17,8 triliun yang dijabarkan dalam berbagai program, terutama bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Sebelum terjadi kenaikan harga BBM ini, sesungguhnya ada beberapa skenario kenaikan harga yang direkomendasikan. Pertama, kenaikan harga berdasarkan kecenderungan fluktuasi harga minyak internasional. Ini, antara lain, untuk menghindari potensi penyelundupan BBM ke negara tetangga. Skenario kenaikan harga BBM yang mungkin direkomendasikan adalah naik tiga kali lipat dari harga sekarang. Kedua, jika defisit anggaran dijadikan referensi maka skenario kenaikan harga BBM yang mungkin direkomendasikan adalah dua kali lipat dari harga sekarang. Ketiga, jika faktor dampak sosial, ekonomi, dan politik yang dipertimbangkan, maka kenaikan harga BBM yang mungkin masih dapat ditoleransi adalah kenaikan sebesar 40% dengan proses dua tahap kenaikan, yakni rata-rata 20% setiap tahapan. Kini pemerintah telah memutuskan kenaikan harga BBM rata-rata secara keseluruhan sebesar 29%. Padahal, kenaikan yang diperkirakan sangat wajar adalah bertahap sebesar 20%, bukan lebih dari itu, karena diperkirakan akan sangat mencekik rakyat kecil. Langkah menaikkan harga BBM ini merupakan keputusan yang berani dengan risiko yang tidak kecil. Sebab, apabila salah perhitungan dampaknya akan seperti tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan kehidupan dan perekonomian di dalam negeri, bahkan mungkin juga dapat "menjatuhkan" pemerintah (citra, kredibilitas, dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah). Collaps Tentang kenaikan harga BBM ini, mari kita tinjau berdasarkan faktor daya survival masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang berpendapatan 2 dolar AS dan 1 dolar AS per hari atau dalam konversi rupiah sekitar Rp 20.000,- dan Rp 10.000 per hari. Menurut World Bank Report dalam sebuah laporan berjudul "East Asia Update 20 April 2004," jumlah penduduk miskin di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian atas kenaikan harga BBM adalah penduduk yang berpendapatan 1 dolar AS per hari (standar garis kemiskinan World Bank) yang di Indonesia berjumlah 15.5 juta pada tahun 2002, 13.6 juta pada tahun 2003, dan 12.9 juta pada tahun 2004. Selain itu, penduduk yang berpendapatan 2 dolar AS per hari yang di Indonesia berjumlah 115.6 juta pada tahun 2002, 109.9 juta pada tahun 2003, dan 107 juta pada tahun 2004. Data-data itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang setiap tahun. Jika harga BBM tidak dinaikkan atau subsidi BBM tidak dicabut, maka diprediksikan penduduk yang berpendapatan 1 dolar per hari akan turun menjadi 12.3 juta pada tahun 2005. Sedangkan yang berpendapatan 2 dolar per hari akan turun menjadi 104 juta pada tahun 2005. Jadi jelas menunjukkan bahwa penduduk miskin berkurang sekitar 3.6 juta jiwa. Namun, apabila harga BBM dinaikkan lebih dari 20%, misalnya, sebesar 30-40%, dapat diprediksikan - melalui metoda simulasi melalui program komputer dari model ekonomi nasional - bahwa setiap bulannya pendapatan penduduk miskin akan berkurang sebesar 10%. Artinya, jika pada Maret harga BBM dinaikkan maka dapat diramalkan pada beberapa bulan ke depan, misalnya, bulan Juni 2005, penduduk yang tadinya berpendapatan 2 dolar AS per hari akan merosot menjadi penduduk miskin dengan pendapatan 1 dolar AS per hari. Situasi dan kondisi penduduk miskin ini akan makin berat manakala faktor kebutuhan biaya pendidikan akibat tahun ajaran baru yang akan berlangsung pada Juli-Agustus 2005 juga diperhitungkan dan dimasukkan sebagai faktor yang memerosotkan daya beli dan kemampuan pembayaran per individu kepala keluarga. Jika upaya-upaya "penyelamatan" penduduk miskin dengan terobosan lewat dana kompensasi BBM tidak tepat sasaran, maka diprediksikan beberapa bulan ke depan masyarakat miskin Indonesia akan makin menderita, bahkan mungkin collapse. Dari pengamatan lapangan (survey) dapat diketahui bahwa komposisi pengeluaran keluarga yang berpendapatan Rp 600.000 per bulan atau 2 dolar AS per hari adalah 80% untuk biaya makan dan kebutuhan pokok lainnya. Sedangkan yang 20% digunakan untuk biaya transportasi, kebutuhan anak sekolah dan kesehatan. Jika harga BBM naik 40%, dapat diprediksikan bahwa biaya transportasi meningkat, demikian juga harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Dengan demikian maka setiap bulannya kurang lebih 10% pendapatan akan ditelan oleh dampak kenaikan harga-harga itu. Atau, jika tidak, setiap keluarga harus melakukan program pengaturan jadual bepergian ke tempat kerja atau anak-anak harus menyesuaikan pengeluaran biaya transportasi dengan modus transport yang lebih murah atau berjalan kaki jika hendak ke sekolah atau ke tempat lainnya. Proses penyesuaian pengeluaran ini pada gilirannya akan melahirkan daya beli yang merosot dari kondisi sebelumnya atau secara bertahap terjadi proses pemiskinan kembali, sehingga yang miskin bertambah miskin. Demikianlah, apabila kalangan penduduk miskin tidak sungguh-sungguh terjangkau program kompensasi kenaikan harga BBM, mereka akan makin menderita hidup di bawah standar minimum, dan akhirnya menuju collapse. Karena itu, pengawasan yang ketat oleh semua pihak mutlak dilakukan agar program kompensasi yang dicanangkan pemerintah tepat sasaran. Untuk itu pula, sudah selayaknya DPR menggunakan hak konstitusinya, yaitu "Hak Angket" untuk mencari solusi politik terhadap masalah ini. Aneh, di tengah tingginya harga minyak dunia saat ini, produksi minyak kita kurang dari 1 juta barel per hari. Mengapa kita tidak berupaya meningkatkannya? *** (Penulis adalah Kepala Litbang Harian Umum Suara Karya) ++++ http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104153 Dampak Politis Kenaikan Harga BBM Oleh Thomas Koten Rabu, (02-03-'05) Ada sebuah persoalan serius bagi bangsa ini dan sangat ramai dipersoalkan oleh publik negeri ini, yaitu persoalan harga bahan bakar minyak (BBM). Bahwasanya, harga BBM di negeri ini masih terlalu rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri. Di samping itu, dikatakan, subsidi pemerintah terhadap BBM terlalu tinggi dan sangat membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), sehingga pengurangannya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan, konsekuensi dari itu adalah menaikkan harga BBM. Upaya menaikkan harga BBM ini dilakukan secara bertahap hingga mencapai target ideal dari berbagai aspek ekonomi. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 29% secara keseluruhan per 1 Maret 2005. Seperti dijelaskan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, kenaikan harga BBM ini akan diikuti dengan pemberian dana kompensasi pengurangan subsidi sebesar Rp 17,8 triliun lewat berbagai program bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan pokok. (Suara Karya, 1 Maret 2005). Yang jelas, kenaikan harga BBM kali ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan secara bertahap untuk mencapai target ideal dari berbagai aspek ekonomi. Namun, apa yang terjadi? Setiap kali tatkala rencana kenaikan harga BBM itu digulirkan, langsung menunai protes keras di mana-mana. Sekarang pun, ketika pemerintah berencana hendak menaikan harga BBM pada awal pekan bulan Maret 2005 ini, aksi penolakan sudah mulai terlihat dan terdengar di mana-mana. Aksi demonstrasi pun sudah mulai marak digelar, baik di gedung DPR di Senayan, maupun di Istana Negara. Kini, setelah kenaikan BBM benar-benar diumumkan, berbagai aksi protes dan demo merebak kian keras di hampir seluruh bumi Nusantara. Pertanyaannya, bagaimana jika kenaikan harga BBM kali ini memicu aksi penolakan lewat demonstrasi yang berkembang menjadi aksi massal yang sangat serius? Bagaimana kita melihat dan menelaah persoalan ini secara lebih menyeluruh sambil menimbang apa yang seharusnya dilakukan? * * * Inti penolakan itu adalah mengurangi subsidi BBM yang secara langsung menaikkan harga BBM tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini yang masih megap-megap. Jadi, keputusan pemerintah mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM sama saja dengan aksi "bunuh diri ekonomi". Sebab, social cost yang harus ditanggung oleh bangsa dan masyarakat terlalu tinggi. Misalnya, sebagai komoditas dengan sifat price leader, BBM tentu akan menyeret harga-harga barang dan jasa, seperti kenaikan harga sembilan bahan pokok (sembako) dan kenaikan biaya transportasi. Semua itu, bagi rakyat kecil berarti, harus menambah lobang ikat pinggangnya untuk dapat mengikat perutnya yang semakin lapar. Alasan pemerintah sangat klise setiap kali hendak menaikkan harga BBM, misalnya, terhadap beban subsidi yang kini Rp 73,55 triliun setahun. Jadi, pemerintah mengajak rakyat seluruhnya untuk ikut meringankan beban APBN 2005 yang sedang payah. Ini untuk melanjutkan pembangunan nasional yang kini sudah mati suri. Dan, untuk itu, rakyat miskin yang selama ini dianggap dirugikan dengan adanya subsidi BBM diberikan kompensasi khusus untuk meringankan beban dari efek domino kenaikan harga BBM. Misalnya, pemerintah menetapkan delapan program kompensasi kenaikan harga BBM itu. Dalam APBN 2005 dicantumkan dana kompensasi itu Rp 7,3 triliun, dan masih akan ditambah lagi hingga Rp 17,9 triliun. Antara lain pemberian beasiswa, jaminan pelayanan kesehatan, pemberian beras rakyat miskin dan sebagainya. Menggunakan logika dan tafsir awam, kita dapat mempertanyakan bobot kebijakan tersebut. Apakah sudah tepat kebijakan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara itu? Apakah pendidikan yang katanya gratis dalam program wajib belajar 9 tahun, dan beasiswa bagi rakyat miskin, dan biaya kesehatan/pengobatan gratis pada kelas ekonomi setiap rumah sakit seperti yang pernah dikatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Mulyani Indrawati, benar-benar terwujud? Ingat bahwa rakyat hingga saat kini terus-menerus merasa dicekoki dengan berbagai janji manis alias janji gombal dari pemerintah. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tentang perubahan yang sudah dapat terlihat pada 100 hari pertama masa kekuasaannya, khususnya mengenai pemberantasan korupsi, yang pernah disampaikannya pada masa kampanye pemilihannya, hingga saat ini belum direalisasikannya pula. Belum lagi janji kosong pemerintah setiap kali hendak menaikkan harga BBM, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil lewat dana kompensasi kenaikan harga BBM, tetapi dalam kenyataannya rakyat kecil semakin terbebani hidupnya dengan kenaikan harga BBM itu. Jadi, menurut hemat kita, menaikkan harga BBM memang perlu, namun tidak diharuskan sekarang ini saat di mana pemerintah belum mengatakan secara jujur dan penuh tanggung jawab bersedia menanggung konsekuensi politik. Misalnya, pemerintah termasuk presiden harus mundur atau turun dari kekuasaannya bila kembali membohongi rakyat. Jadi, pemerintah melakukan kontrak politik dengan rakyat. Mengapa? Sebab, di samping rakyat tidak mau dibohongi lagi, perlu dicatat bahwa "wajah" APBN bukan rakyat penyebabnya, namun penyelenggara dan pengelola negara. * * * Perlu dicatat bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, akan mendapat implikasi sosial-politik yang sangat tinggi. Ia akan semakin membuka mata kita bahwa tafsir aksiomatis tentang sifat kekuasaan yang selalu menekan, tidak dapat terbantahkan lagi. Gaung tentang pemerintahan yang otoriter yang selama ini melekat pada "kening" Orde Baru pun kini muncul lagi pada kening Pemerintahan Yudhoyono. Dengan demikian, kenaikkan harga BBM dapat dipastikan akan lebih memanaskan suasana demonstrasi yang dilakukan secara simultan oleh masyarakat. Apabila masyarakat sudah mengalami keresahan secara kolektif, kemudian terjangkiti pada apa yang oleh Ted Guur (1979) sebagai collective relative deprivation, maka bukan mustahil masyarakat yang resah itu akan bergabung melakukan aksi demonstrasi secara besar-besaran. Sebenarnya, setelah Presiden Yudhoyono terpilih dengan legitimasi yang tinggi lewat pemilu langsung, rakyat tidak lagi melakukan aksi demonstrasi secara besar-besaran. Ada aksi demonstrasi tetapi secara sektoral. Ini barangkali mengikuti alur teori sastra bahwa untuk tahap tertentu aksi demonstrasi dapat mencapai titik jenuh atau tingkat peleraian dan antiklimaks ketika aktivitas itu kehabisan energi atau karena mengalami masa jenuh sambil ingin melihat perkembangan lebih lanjut. Tetapi, kenekadan pemerintah tetap menaikkan harga BBM, bukan tidak mungkin, mengakibatkan rasa jenuh itu menjadi hilang dan energi masyarakat untuk berdemo dapat muncul lagi. Pemicunya adalah perilaku pemerintah yang nekad itu. Artinya, sikap nekadnya pemerintah merupakan titik awal bagi maraknya kembali unjuk rasa untuk mengkritisi pemerintahan Yudhoyono. Jadi, apa yang semestinya dilakukan? Rencana menaikkan harga BBM dalam waktu dekat seharusnya ditunda dulu mengingat beberapa alasan. Pertama, selama belum ada jaminan apa pun dari pemerintah bila pemerintah kembali gagal memenuhi janjinya mensejahterakan rakyat lewat dana kompensasi kenaikan harga BBM. Kedua, selama sosialisasi secara intensif belum dilakukan, khususnya terhadap segmen masyarakat yang melakukan resistensi. Ketiga, selama belum dilakukan kontrol efektif terhadap berbagai penyelewengan yang berhubungan dengan keberadaan BBM seperti penimbunan BBM, jaringan penyalur dana kompensasi dan sebagainya. Keempat, selama belum dilakukan distribusi subsidi langsung kepada rakyat yang berhak dengan mekanisme yang baik, tepat sasaran dan transparan. Kelima, selama pemerintah belum melakukan kontrak politik bahwa mereka bersedia menanggung akibatnya secara politis bila kembali membohongi rakyat. Tetapi, apakah pemerintah sanggup melakukan ini? Barangkali tepat bila kita "tanyakan pada rumput yang bergoyang!" mengikuti syair sebuah lagu dari Ebiet G Ade. *** (Penulis adalah Direktur The Justice Advocates Indonesia). [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/