http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/02/opini/1358403.htm

Kesadaran Baru Tentang Peran Pers
Oleh Agus Sudibyo

DALAM lima tahun terakhir, ada begitu banyak fakta yang menunjukkan betapa 
sulitnya unsur-unsur pemerintah bersikap proporsional terhadap pers. Kritik 
pers hampir selalu ditanggapi secara emosional dan reaktif oleh pejabat 
pemerintah.
Jika mereka terpojokkan oleh pemberitaan media, berbagai tuduhan balik pun 
dilontarkan, pers telah kebablasan, menyebarkan fitnah, mencemarkan nama 
baik, tidak nasionalis, dan lain-lain. Jika terjadi sengketa dengan media, 
mereka lazim menggunakan kekuatan massa untuk meneror kantor pemberitaan 
media, atau menuntut media ke pengadilan dengan mengabaikan mekanisme yang 
ada yaitu penggunaan hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers.
Unsur-unsur Pemerintah tampak tidak sensitif terhadap kepentingan besar di 
balik praktek-praktek jurnalistik. Bahwa seorang jurnalis menulis berita 
bukan hanya atas nama dirinya sendiri, namun juga atas nama kemaslahatan 
umum. Praktek-praktek jurnalistik secara faktual bersentuhan langsung dengan 
hajat hidup orang banyak: hak-hak publik atas informasi, hak tiap warga 
negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Tanpa pers yang bebas, sulit 
membayangkan kelompok marginal: buruh, petani, kaum miskin kota, kelompok 
perempuan dan lain-lain dapat mempengaruhi proses-proses pengambilan 
kebijakan. Tanpa pers yang bebas, pemerintah juga sulit menangkap realitas 
dan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Vonis penjara satu tahun yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 
terhadap Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Bambang Hary Murti beberapa saat 
yang lalu kian mempertegas fakta betapa lemahnya apresiasi pemerintah 
terhadap signifikansi kebebasan pers. Dalam kasus ini, seorang jurnalis 
dipidanakan sebagai konsekuensi dari kerja jurnalistiknya. Pengadilan tak 
mempertimbangkan kepentingan umum di balik praktek-praktek pemberitaan, dan 
memperlakukan jurnalis layaknya para kriminal yang lain.
FAKTA-fakta itu menunjukkan, hukum belum sepenuhnya melindungi kerja-kerja 
jurnalistik. Namun problem yang tak kalah serius terletak pada cara-pandang 
unsur-unsur pemerintah dalam melihat fungsi dan kedudukan pers. Zaman sudah 
berubah. Kondisi politik sudah jauh lebih terbuka. Namun tidak demikian 
dengan persepsi dan ekspektasi kalangan pemerintah terhadap pers.
Belum terjadi transformasi kultural yang membuat orang-orang pemerintah 
lebih apresiatif terhadap hak-hak publik atas informasi, perbedaan pendapat, 
dan fungsi kritik yang sejauh ini identik dengan praktek kebebasan pers. 
Kita patut waspada, jangan-jangan mereka masih memandang pers dengan 
paradigma lama, sebagai alat pemerintah. Jangan-jangan alam mereka, masih 
bertahan ilusi tentang pers sebagai "mitra" pemerintah, perangkat 
pembangunan nasional, perekat kesatuan bangsa dan lain-lain.
Sementara pada saat sama gerakan reformasi di bidang pers justru hendak 
dimaknai sebagai transformasi menuju pers yang profesional. Jati-diri pers 
profesional kurang-lebih tidak berpihak kepada siapa pun kecuali kepada 
kebenaran, tidak menjadi alat siapapun kecuali menjadi alat bagi publik 
untuk mengontrol kekuasaan. Pers profesional senantiasa menjaga jarak kepada 
siapapun dan berusaha mengembangkan prinsip-prinsip imparsialitas. Pers 
profesional senantiasa kritis terhadap keadaan dan peka terhadap segala 
bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Reformasi bidang pers juga hendak dimaknai sebagai upaya mengembalikan 
urusan publik kepada publik, yang berarti keharusan meminimalisir 
campur-tangan pemerintah pada ranah kebebasan bereskpresi dan kebebasan 
pers. Lembaga independen seperti Dewan Pers dan KPI lalu akan mengambil-alih 
peran pemerintah sebagai regulator atau lembaga kontrol di bidang media dan 
penyiaran.
Konservatisme dalam memandang peran pers akan menimbulkan implikasi serius. 
Cara pandang itu akan menentukan kebijakan dan keputusan macam apakah yang 
hendak diambil pemerintahan baru di bidang pers. Apakah regulasi di bidang 
pers akan mencerminkan hukum sebagai medium bagi pemerintah untuk melakukan 
kolonisasi terhadap urusan publik (meminjam istilah Habermas)? Atau 
sebaliknya, hukum sebagai sistem hak, dimana pengakuan atas hak asasi 
manusia dan kedaulatan publik lebih dikedepankan daripada hasrat untuk 
mendisiplinkan publik di bawah otoritas tunggal yang dipegang pemerintah?
Kita juga perlu memperhatikan apakah kebijakan pemerintah (termasuk 
keputusan lembaga peradilan) di bidang pers menunjukkan bekerjanya 
rasionalitas kognitif instrumental, dimana pejabat pemerintah diberi 
wewenang menentukan aneka kebijakan secara sepihak. Sebagai mahkluk 
rasional-bertujuan, hampir pasti mereka akan bias kepentingan sendiri dalam 
merumuskan kebijakan. Apalagi sejauh ini para pejabat pemerintah notabene 
mempunyai kompleks tersendiri dalam relasinya dengan pers (anti-kritik, 
dendam, paranoid) sehingga sulit diharapkan bisa bersikap jernih dan 
obyektif.
Tentu kita berharap kebijakan di bidang pers akan menunjukkan bekerjanya 
rasionalitas komunikatif, dimana kebijakan hanya bisa terlahir jika ada 
saling pengertian dan persetujuan dari unsur-unsur yang hendak menanggung 
konsekuensi-konsekuensi dari pemberlakuan hukum itu. Konsekuensinya, 
perumusan kebijakan dilakukan secara transparans, partisipatif dan 
memperhatikan kepentingan publik.
PERSEPSI tentang pers sebagai mitra pemerintah atau pemerintah sebagai 
pembina kebebasan pers tersirat dalam peran Kementerian Komunikasi dan 
Informasi (kominfo). Pemerintahan Megawati bersikeras membentuk Kementerian 
Kominfo dengan alasan dibutuhkan PR yang baik untuk menyosialisasikan aneka 
program dan keputusan pemerintah.
Namun, akhirnya terlihat Kementerian Kominfo lebih sibuk dengan upaya 
mengembalikan otoritas pemerintah di bidang media dan penyiaran yang secara 
konstitusional telah dialihkan ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. 
Kementerian Kominfo terus mempersoalkan keabsahan KPI sebagai lembaga 
regulator penyiaran, serta tidak kooperatif dalam proses realisasi alokasi 
dana APBN untuk KPI dan Dewan Pers. Muncul kesan, Kominfo berusaha 
memperlemah eksistensi KPI dan Dewan Pers.
Pertanyaannya, apakah konservatisme dalam memandang peranan pers itu akan 
dipertahankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Apakah mereka 
akan membayangkan dirinya sebagai "pembina" kehidupan pers ?
Kemunculan SBY sebagai tokoh nasional tak lepas dari kontribusi pers. Media 
massa adalah faktor determinan dalam mengatrol popularitas SBY. Apa-jadinya 
jika beberapa tahun terakhir media tidak mencitrakan SBY sebagai pemimpin 
alternatif? Apa jadinya jika media tidak menggunakan figur SBY sebagai 
medium kritik atas kinerja pemerintahan Megawati dan Abdurrahman Wahid? 
Popularitas SBY mungkin tidak sefenomenal sekarang ini.
Dalam konteks ini, SBY dan pembantunya semestinya menyadari benar bagaimana 
pers yang profesional bekerja. Jika dulu pers kritis terhadap pemerintahan 
Megawati, wajar jika ke depan pers akan kritis terhadap pemerintahan SBY. 
Jika dulu pers menempatkan SBY sebagai figur alternatif dari Megawati, tak 
lama lagi pers akan menampilkan figur lain sebagai alternatif dari SBY.
Namun bukan berarti pers tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada 
pemerintah. Pers akan berperan dalam program pemberantasan korupsi 
sebagaimana telah dicanangkan presiden SBY. Pers akan membantu presiden 
dalam memantau pelaksanaan kontrak sosial yang telah dibuat para pejabat 
tinggi negara. Pers juga akan membantu pemerintah menangkap 
realitas-realitas yang berkembang di masyarakat sebagai dasar perumusan 
kebijakan-kebijakan publik.

Agus Sudibyo Peneliti ISAI Jakarta; Koordinator Koalisi Untuk Kebebasan 
Informasi 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke