http://www.mediaindonesia.com/read/2009/10/15/100248/68/11/Kesejatian-Politikus-dalam-Jaring-Kekuasaan
Kesejatian Politikus dalam Jaring Kekuasaan Kamis, 15 Oktober 2009 00:01 WIB Potret panggung politik Indonesia mutakhir, dalam kaca mata publik, masih diapresiasi secara negatif, yakni bukan menjadi tempat untuk menunjukkan perilaku kenegarawanan seorang politisi dalam memberikan pencerahan politik dan pelayanan bagi rakyat, melainkan menjadi bursa lowongan pekerjaan. Menjadi politisi di negeri ini dinilai bukan untuk menjalankan nilai-nilai agung politik, melainkan untuk meningkatkan karier, menambah prestis, menumpuk harta, dan arena untuk merengkuh kepuasan di balik nikmatnya kekuasaan. Gelagat politik dari para politisi seperti dalam penilaian publik tersebut terbaca pada drama-drama politik Indonesia mutakhir, baik dalam perhelatan pemilu maupun dalam perebutan kekuasaan di ranah parpol. Perihal terakhir itulah secara cukup telanjang dapat terlihat dari pemilihan ketua umum Golkar yang kebanyakan politisinya lebih memilih figur yang menyatu dengan kekuasaan daripada figur yang ingin mengarahkan partai menjadi partai oposisi yang militan, yang berada di luar pagar kekuasaan. Sementara itu, dari perhelatan pemilu, aroma kekuasaan itu dapat tercermin pada ranah koalisi yang dibangun parpol, yakni untuk meraih kursi-kursi kabinet yang diincarnya. Maka yang terlihat adalah hakikat dan tujuan luhur pemilu sebagai jembatan emas menuju terciptanya kekuasaan yang menyejahterakan rakyat dapat tergiring keluar dari gerbongnya. Idealisme agung para politisi yang semata memperjuangkan perbaikan nasib bangsa semakin tersingkir dari ruang pertarungan politik. Singkatnya, pemilu dan perhelatan politik lainnya seolah kian memaklumkan rontoknya 'rasionalitas' dari urusan kenegaraan dan rakyat. Lalu urusan negara dan rakyat semakin terbuang oleh urusan-urusan kekuasaan. Maka, benar sinyalemen para ahli politik seperti Vaclav Havel dan Sam Harrys bahwa 'rasionalitas' dan idealisme politik kian terjerembab di pembuangan. Kekuasaan dan kesejatian politikus Kentalnya orientasi kekuasaan dari parpol dan politisi membuat kita dapat memahami betapa kecewanya jika kursi-kursi kabinet yang diincar selama ini tidak dipenuhi Presiden Yudhoyono ketika menyusun komposisi kabinetnya yang dilantik 20 Oktober 2009. Jika kekecewaan politik itu benar-benar terjadi, hilanglah kemurnian berpolitik yang bertujuan tunggal untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, atau seperti dikatakan sebelumny, tujuan luhur pemilu, idealisme dan keagungan serta cita-cita suci politik semakin terpinggirkan. Maka semua fenomena ini kembali memperjelas citra lama tentang demokrasi, entah dalam bentuk dan sistem mana pun, sebenarnya tetap saja diciptakan dan dikelola demi mempermudah pemenuhan syahwat kekuasaan para elite politik. Praksis politik seperti dalam perhelatan parpol dan pemilu yang dilakoni pascademokrasi pun tidak jauh beda dengan pola oligarki Orba. Bedanya hanya bahwa dalam politik Orba, demokrasi dikemas satu orang, yaitu sang penguasa rezim. Sementara itu, di era reformasi, demokrasi dikemas banyak politikus dan kekuasaan disebarkan di antara kaum elite. Lebih daripada itu, kentalnya orientasi politik terhadap kekuasaan kerap mencitrakan pula tentang wajah politik kita yang kurang mengedepankan etika. Kata Vaclav Havel, politik yang mengidentikkan diri atau terjebak dalam jaring kekuasaan bertentangan dengan moral politik. Padahal, seorang politikus yang mengabaikan etika dan moral politik sebenarnya bukanlah seorang politikus sejati. Sebab politikus sejati adalah orang yang mengemban amanat penderitaan rakyat yang diperjuangkan dalam tata kelola negara. Jadi jika seorang politikus mengutamakan kekuasaan, ia telah menggiring politik keluar dari koridor etika dan keluhuran politik. Seorang politikus sejati perlu terus memahami bahwa dia adalah pihak yang didelegasikan kepercayaan rakyat untuk mengutamakan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat adalah pijakan, sekaligus orientasi luhur dan etis politik. Karena etika politik harus berpihak pada korban. Rakyat adalah pihak yang selalu menjadi korban dalam setiap kebijakan politik kekuasaan. Seperti rakyat yang selalu ditinggalkan dalam lilitan kesulitannya oleh elite politik setelah kekuasaan diraih. Jadi derita rakyat pascapilpres adalah berita duka bagi keluhuran politik dan sinisme pedih bagi karya-karya politik. Namun, apakah pemahaman seperti itu menyerap dalam pemikiran para politikus kita? Jika tidak, sulit dibayangkan melihat mereka berani mencitrakan dirinya sebagai seorang politikus sejati. Menyitir Haryatmoko, politikus yang menjalankan etika dan keluhuran politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Moralitas dalam relevansinya dengan etika politik adalah keterbukaannya dalam mengatur kepentingan semua kelompok dalam masyarakat demi terbangunnya institusi-institusi yang adil. Untuk itu, dalam berpolitik, entah apa pun godaan kekuasaan yang menyertainya, sang politikus mesti tetap berpijak pada kesejatian cita-cita politik dengan tetap mengembangkan watak etis perjuangan. Sebenarnya kita yakin bahwa sejelek apa pun perilaku seorang politikus, dalam nuraninya tetap terselip naluri-naluri etis dan kehendak-kehendak luhur untuk berbuat baik bagi rakyat. Seperti betapa pun egoistisnya seseorang, ia tetap memiliki kepedulian, menghargai orang lain, menerima pluralitas, dan memiliki keprihatinan terhadap orang yang menderita. [Non-text portions of this message have been removed]