http://www.suarapembaruan.com/News/2006/08/29/Editor/edit01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Kita Masih Makan Tiwul? 
 

Kaman Nainggolan 

Judul tulisan di atas (tambahan tanda? dari penulis) adalah Tajuk Rencana Suara 
Pembaruan Rabu, 16 Agustus 2006. Isi tajuk tersebut, walaupun tujuannya pada 
dasarnya baik, namun dapat menyesatkan bagi masyarakat. Apa yang kita tangkap 
dari tajuk itu adalah antara lain seolah-olah menggambarkan bahwa, pertama, 
tiwul bukan makanan yang layak dikonsumsi, kedua, tiwul makanan orang miskin, 
ksdvvvvetiga, tiwul makanan yang dikonsumsi karena terpaksa akibat persediaan 
beras habis. 

Pandangan seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan menghambat 
diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat akan malu kalau 
tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan banyak lagi sumber 
karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi. 

Pemenuhan kebutuhan karbohidrat masyarakat kita saat ini memang masih 
didominasi oleh beras. Indonesia merupakan salah satu negara pemakan beras 
tertinggi di dunia. Tidak mengherankan bahwa hampir 60 persen konsumsi 
karbohidrat kita, didominasi oleh padi-padian. Padahal menurut ahli gizi, 
harusnya seimbang antara padi- padian dan umbi-umbian dan lainnya. Hal inilah 
yang harus dikoreksi agar tercipta sumberdaya manusia yang sehat. 

Masalah pangan bukan hanya soal ketersediaan, seperti pemikiran tahun 1960an. 
Walaupun ketersediaan cukup, apabila sulit didistribusikan dengan harga 
terjangkau, maka pangan tidak akan merata diakses oleh keluarga. Maka aspek 
distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan dan asupan gizi bagi anggota 
keluarga. NTB misalnya selalu mengalami surplus beras setiap tahunnya, namun 
rawan pangan juga terjadi. 

Faktor lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi 
konsumsi yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang 
ada sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi 
kebutuhan. Namun, sebahagian masyarakat kita masih kekurangan kalori dan 
protein, karena daya beli yang rendah, dan kurang memahami keberagaman sumber 
pangan yang ada. 

Budaya Lokal 

Kekeliruan mendasar dalam ketahanan pangan kita adalah persepsi masyarakat 
bahwa pangan itu identik dengan beras. Padahal sebenarnya sejak dahulu telah 
tumbuh budaya lokal (local wisdom) mengkonsumsi non-beras dalam pola makannya 
yang terbentuk dari keyakinan, tata-nilai, dan perilaku masyarakat. 

Untuk Papua dan Irian Jaya Barat misalnya, mereka makan umbi-umbian dan sagu. 
Toh pemuda- pemuda Papua/Irian jagoan dalam sepak bola. Ubi jalar ternyata 
punya kelebihan dibanding beras. Ubi jalar lebih unggul vitamin A, karotenoid, 
vitamin C serta serat dibandingkan dengan beras. Tidak mengherankan mengapa 
orang Jepang gandrung mengkonsumsi ubi jalar yang merupakan salah satu komponen 
tempura. Jadi malah konsumsi ubi jalar sepatutnya kita dorong. 

Di berbagai daerah di Indonesia makanan pokok masyarakat adalah tiwul. 
Contohnya di Jawa timur, yaitu Kabupaten Nganjuk, Kediri, Trenggalek, 
Tulungagung, Pacitan, Lumajang, Malang Selatan, dan Kabupaten Gunung Kidul DIY. 

Di beberapa daerah tersebut tanpa tiwul dalam satu hari serasa belum 
kenyang-merasa tenaganya kurang. Artinya mengkonsumsi tiwul bukan berarti 
keadaan masyarakat itu miskin, rawan pangan, kelaparan, tetapi merupakan 
budaya/perilaku pola makan masyarakat setempat. 

Kalau kita mengunjungi kampung Cirendeuy di Cimahi Jawa Barat yang seluruh 
masyarakatnya penganut ajaran Penghayat, mereka sangat menjunjung ajaran nenek 
moyangnya dalam mempertahankan pola konsumsi non-beras yaitu limbah aci atau 
ampas singkong yang mereka sebut nasi. 

Emen Sunarya-sesepuh kampung tersebut mengatakan bahwa budaya itu telah dimulai 
tahun 1924 sebagai wujud cinta kepada tanah Pasundan. Mereka percaya bila 
kepercayaan itu dilanggar akan mengakibatkan bencana. Dalam kesehariannya 
mereka sudah mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya, dan tidak pernah 
terjadi gejolak. Mereka tidak perduli dengan pro-kontra impor beras, soal 
kebijakan raskin dll. 

Masyarakat Kecamatan Tempilang di Kabupaten Bangka Barat biasa mengkonsumsi 
beras aruk yang terbuat dari singkong berbentuk butiran-butiran kecil dengan 
rasa khas. Beras aruk bisa tahan simpan sampai 1 tahun. 

Harus diakui bahwa bahan pangan dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, garut, 
talas, gadung, ganyong, gembili dan suweg) dalam bentuk segar memiliki 
kandungan kalori dan protein yang rendah. Karakteristik rendah kalori ubi segar 
dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau 
tepung dengan kadar air setara beras aman simpan. 

Kandungan protein tepung ubi dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung 
kacang-kacangan sehingga menjadi tepung komposit. Tiwul merupakan salah satu 
bentuk olahan pangan dengan bahan baku ketela pohon yang dikeringkan, kemudian 
ditepung. 

Penganekaragaman pangan antara lain melalui pengembangan tiwul instan merupakan 
alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan 
(khususnya karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu 
sumber pangan (beras), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan kelu- arga yang 
pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. 

Secara sederhana apabila dalam 1 hari kita makan nasi (beras) 2 kali, dan makan 
umbi-umbian 1 kali, dengan asumsi per orang 0,1 kg beras sekali makan, maka 
untuk 220 juta rakyat Indonesia kita bisa meng- hemat konsumsi beras 220 x 365x 
0,1 juta kg atau setara 8 juta ton per tahun! 

Suatu jumlah yang luar biasa besar, dan kita bisa ekspor surplus produksi beras 
itu! Bila dilakukan sekali seminggu saja maka kita bisa menghemat beras 1,2 
juta ton per tahun. 


Pangan Non Beras 

Apa yang diperlukan ke depan adalah kebijakan mendorong tumbuh-kembangnya 
industri pengolahan pangan non-beras khususnya umbi-umbian ini agar punya daya 
simpan seperti beras. Agar supaya tidak terkesan inferior, maka harus 
diupayakan agar dirubah menjadi tepung. 

Dengan tepung maka masyarakat dapat membuat berbagai makanan dari umbi-umbian 
semisal mie, tiwul, combro, kripik dan lain sebagainya. Mie Bendo misalnya, 
terbuat dari singkong, diproduksi orang Dusun Bendo di Bantul, dengan kandungan 
energi hampir setara beras. 

Industri-industri semacam ini sebaiknya berlokasi di perdesaan untuk 
menciptakan lapangan kerja, sekaligus menciptakan nilai tambah produk. Ini akan 
mendorong keberagaman konsumsi pangan kita. 

Dan manakala pasar telah tercipta, proses produksi umbi-umbian untuk 
menghasilkan bahan baku akan lebih mudah dilakukan. Yang lebih penting lagi 
umbi-umbian tidak dipandang sebagai komoditi kelas dua-bukan simbol kemiskinan, 
walaupun negara kita sudah makin dewasa! 


Penulis adalah Kepala Badan Ketahanan Pangan Deptan, Sekretaris Dewan Ketahanan 
Pangan, dan Dosen Pascasar jana di beberapa Perguruan Tinggi 


Last modified: 29/8/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke