Refleksi : Negara kleptokratik harus mempunyai fasilitas sebaik-baiknya kepada kawan-kawan seperjuangan yang keseleo diistirahatkan dari profesi bandit koruptor atau tukang copet gede, sebab nanti kalau yang di luar gilaran masuk sudah tersedia fasilitas untuk beristirahat dengan aman dan nyaman. Monggo terus korupsi, kalau tertangkap tidak menjadi soal, hanya diistirahatkan. Dirgahayu NKRI!!!
Jawa Pos [Selasa, 12 Januari 2010 ] Korupsi di ''Hotel Prodeo" Oleh: Emerson Yuntho SEJUMLAH fasilitas mewah yang dinikmati Artalyta Suryani, terpidana kasus korupsi, selama di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu menimbulkan pertanyaan banyak kalangan. Benarkah dia ditahan? Seperti diberitakan, Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada Minggu lalu (10/1) melakukan inspeksi mendadak ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Mereka menemukan sejumlah narapidana (napi) yang mendapatkan perlakuan khusus, seperti Ayin, terpidana dalam kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan, dan terpidana seumur hidup kasus narkoba, Aling. Ayin memiliki ruang ber-AC, lemari es, tempat tidur spring bed, dan treatment kecantikan. Sementara Aling memiliki ruang untuk karaoke dan memakai BlackBerry. Pemberian fasilitas khusus terhadap narapidana sesungguhnya bukan cerita baru. Sebelumnya, sejumlah pemberitaan media dan kesaksian banyak mantan napi menyebutkan adanya indikasi korupsi suap-menyuap untuk memperoleh fasilitas khusus di rutan atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Inspeksi mendadak yang dilakukan satgas dan liputan langsung sejumlah media cetak dan elektronik seakan menyadarkan masyarakat bahwa informasi memalukan ini bukanlah isapan jempol belaka. Praktik korupsi di rutan atau lapas juga dapat dilihat dari riset ICW tentang pola-pola korupsi di peradilan pada 2001. Dari segi aktor, mereka yang terlibat dalam korupsi ini adalah terpidana atau narapidana (napi), petugas lapas, kepala lapas, pejabat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM, serta perantara maupun advokat. Faktor keterbatasan, ketidaknyamanan, tidak aman, dan lemahnya pengawasan serta rendahnya kesejahteraan para petugas lapas dinilai menjadi faktor pendorong transaksi suap menyuap ini. Akibat praktik korupsi, istilah penjara sebagai hotel prodeo (gratis) sudah tidak tepat dalam kondisi saat ini. Sebab, tidak ada yang gratis selama dipenjara. Hasil riset dan pemantauan ICW di 6 (enam) kota besar di Indonesia juga menemukan sedikitnya 5 (lima) pola korupsi yang terjadi di lapas atau rutan. Pertama, pemberian perlakuan dan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan membayar sejumlah uang kepada oknum petugas, napi akan mendapatkan perlakuan berbeda dengan napi lain. Fasilitas khusus juga dapat diberikan, misalnya, sel tersendiri yang terpisah dengan napi lain, makan dan minuman yang bergizi, perabotan televisi, kulkas, pendingin ruangan, handphone, dan sebagainya. Jika disepakati, bahkan, ruang sel juga dapat disulap menjadi kantor sementara dari napi yang notabene seorang pengusaha. Kedua, pemberian jasa keamanan. Secara umum kondisi rutan atau lapas di Indonesia tidak aman seperti yang dibayangkan. Tidak sebandingnya jumlah sipir dengan napi menjadikan tindak kekerasan marak terjadi di penjara. Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah oknum di lingkungan lapas dan napi yang dipelihara petugas untuk meminta uang jasa keamanan. Jika uang keamanan tidak diberikan, sudah dipastikan ancaman kekerasan akan dialami napi. Ketiga, pemberian izin keluar dari penjara. Sebenarnya tidak ada salahnya napi keluar dari lapas. Misalnya, untuk berobat atau cuti mengunjungi keluarga. Namun, prosedur yang harus dipenuhi yaitu adanya izin yang diberikan oleh kepala lapas dan Kakanwil Departemen Hukum dan HAM. Hak keluar napi itu diatur secara jelas dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Pasal 14 huruf d mengatur hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pasal 14 huruf j mengatur hak cuti mengunjungi keluarga. Misalnya menikahkan anak, menikah atau melayat keluarga dekat. Sayangnya, hak-hak tersebut sering disimpangi. Mungkin kita masih ingat kasus tertangkapnya Ramadhan Rizal, terpidana korupsi dalam pesta narkoba di sebuah hotel di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada 27 Agustus 2006 lalu. Padahal, seharusnya mantan panitera PT DKI itu menjalani hukuman di Lapas Cipinang. Modusnya dengan beralasan sakit dia menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto. Keempat, pemberian remisi. Salah satu jalan cepat yang dapat digunakan napi agar segera menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi (pengurangan hukuman). Remisi merupakan salah satu hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Jika seorang napi berkelakuan baik selama di tahanan, kepala lapas dapat mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan remisi kepada napi yang bersangkutan. Sayangnya, tidak banyak napi yang tahu mengenai hak ini. Pemberiannya juga sangat bergantung pada penilaian subjektif kalangan lapas atau rutan. Hal ini sangat rentan disalahgunakan dan menjadi komoditas antara oknum petugas dan napi berduit. Berkelakuan baik diterjemahkan sebagai "tindakan napi memperlakukan petugas dengan baik". Misalnya, memberikan sejumlah uang atau barang. Akibatnya, sering terjadi ketimpangan jumlah remisi antara satu napi dan napi lain. Kelima, pungutan untuk tamu atau pengunjung. Sudah menjadi rahasia umum ketika ada keluarga atau tamu ingin mengunjugi napi, ternyata ada pungutan "tidak resmi" yang seolah-olah telah terstandardisasi. Untuk satu kali kunjungan, pengunjung yang akan menjenguk sanak saudara dalam tahanan dikenakan biaya antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. Bagi terpidana sendiri, petugas lapas juga sering mengutip uang, terutama bagi mereka yang diketahui menerima sejumlah uang dari sanak saudaranya. Tidak hanya uang, makanan pun sering diminta oleh penjaga. Dengan membayar sejumlah uang suap yang lebih besar, bahkan tamu dapat mengunjungi napi tanpa terikat jam kunjungan. Peristiwa yang terjadi di Rutan Pondok Bambu setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi jajaran Departemen Hukum dan HAM untuk membersihkan praktik korupsi sekaligus mendorong reformasi di lingkungan pemasyarakatan. Pada aspek sistemik, perbaikan regulasi, penguatan pengawasan dan pembinaan, serta pendanaan yang cukup harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar juga harus berani mengambil tindakan tegas untuk memberhentikan sejumlah pejabat yang dinilai bertanggung jawab dan lalai dalam melakukan pengawasan. Langkah ini penting agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang. *). Emerson Yuntho, wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch [Non-text portions of this message have been removed]