Penerapan Syariat Islam dalam Kebangsaan Kita: Bisakah mewujudkan
Persatuan Indonesia ?
-----------------------

Diskusi mahasiswa bulan ini berlangsung pada hari Sabtu, 9 April 2005 di One 
Earth, Ciawi. Diskusi yang dikhawatirkan menjadi ajang perdebatan antara 
yang pro-syariat dengan yang kontra-syariat akhirnya tereduksi menjadi 
diskusi antara yang optimis dengan yang pesimis dengan Agenda Syariat Islam 
(SI) berhasil disusupkan ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena 
tidak ada satu pun pembicara maupun peserta yang setuju syariat islam 
diterapkan.

Diskusi kali ini menghadirkan Mas Burhan dari Jaringan Islam Liberal, Bang 
Abd Rohim Ghazali salah satu pendiri Ma'arif Institute dan Bpk. Abrory Abd 
Jabbar- pengacara dan eks fundamentalis Islam.

Sebagai pembicara pertama, Mas Burhan memaparkan hasil survey Freedom House 
di Amerika bahwa pasang naik-surutnya tuntutan mengimplementasikan SI 
berhubungan dengan terlepasnya suatu negara dari rezim pemerintahan 
otoriter. Dan gejala ini merupakan gejala global yang terjadi hampir di 
seluruh negara-negara dengan mayoritas muslim yang baru saja mengalami 
kemerdekaan maupun terlepas dari rezim otoriter.

Sistem demokrasi yang terwujud ketika sebuah negara terlepas dari rezim 
otoriter, membuka peluang bagi semua paham termasuk radikalisme agama untuk 
masuk ke dalam sistim ketatanegaraan. Paradox terjadi karena kelemahan 
sistem demokrasi adalah tak adanya self defense mechanisme untuk menghalau 
kekuatan yang menentang demokrasi itu sendiri.

Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya kelompok Hizbut Tharir-kelompok 
islam lintas negara (trans-nasional) yang sangat pro-SI dan anti demokrasi 
tapi punya pusat kegiatan dan kantor yang sangat megah di kota London, 
Inggris yang merupakan salah satu  negara yang mungkin paling demokratis di 
dunia.

Kekhawatiran lain yang disoroti Mas Burhan adalah meningkatnya kecenderungan 
mendukung agenda islamisme (pro-SI) di kalangan akademis maupun masyarakat 
sosial kelas atas di Indonesia. Hasil survey menunjukan bahwa semakin tinggi 
pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin ekslusifnya orang tersebut. 
Sifat ekslusif dan paham radikalisme ini muncul di kampus-kampus nasional 
dan banyak tokoh-tokoh fundamentalis yang bersedia mengajar di kampus-kampus 
tanpa dipungut bayaran dalam rangka menyebarkan ideologi meraka pada 
masyarakat luas. Hal ini jelas adanya kesalahan dalam sistem pendidikan 
nasional selama ini karena kenapa hal ini dibiarkan dan kenapa seseorang 
yang berpendidikan tinggi yang mestinya berwawasan luas tapi malah berujung 
pada pikiran/ideologi sempit yang mengarah pada radikalisme ?

Bagi Mas Burhan, Agama bagaikan dunia metafor, yang tidak bisa dipandang 
dari satu kacamata saja. Ayat-ayat Kitab Suci jangan ditafsirkan secara 
literal karena akan kehilangan nilai universal dan humanisnya. Beliau pun 
melihat bahwa radikalisme yang terjadi di kampus juga menjangkiti para dozen 
terutama dozen-dozen ilmu eksata daripada yang non-eksata karena mungkin 
sudah menjadi logika ilmu eksata untuk menganggap dunia ini dengan kepastian 
dan kemutlakan. Padahal bila mengacu pada fisika quantum, jelas bahwa segala 
sesuatu di dunia ini adalah relatif. Bang Rohim Ghazali, yang mendapat gelar 
S1 dari IAIN dan S2 dari UI ini, tidak sepesimis Mas Burhan dalam 
keberhasilan golongan fundamental menuntut SI di Indonesia. Beliau melihat 3 
alasan kenapa tuntutan formalisasi agama -SI- makin menguat.

Pertama adalah tuntutan politikus Islam dalam menaikkan bargain politik di 
tengah percaturan politik Indonesia. Misalnya, Din Syamsudin dulunya seorang 
pluralis tapi karena punya ambisi politik yang besar, pandangan beliau 
kemudian berubah menjadi cenderung ekslusif. Kedua adalah situasi amburadul 
yang terjadi di Indonesia di mana hukum tidak bisa ditegakkan secara adil. 
Kekecewaan dari masyarakat menimbulkan harapan bahwa keadilan dan ketertiban 
akan tercipta bila hukum agama diterapkan secara langsung dalam kehidupan 
masyarakat sehari-hari. Dan ketiga, proses demokratisasi di Indonesia 
berlangsung terlalu cepat tanpa sempat untuk konsolidasi dengan baik 
sehingga hanya menjadi semacam euphoria semata tanpa memaknai arti 
sebenarnya dari demokrasi itu sendiri.

Karena itulah Bang Rohim sangat optimis bahwa tuntutan penerapan SI di 
Indoensia  tidak akan berhasil karena (1) akhirnya masyarakat akan sadar 
bahwa SI hanya menjadi alat bargain politik bagi segelintir politikus dan 
(2) SI akan berhadapan dengan syariat itu sendiri. Syariat Islam yang mana, 
menurut pemahaman siapa, yang akan diterapkan nantinya. Inilah tantangan 
terberat bagi penerapan SI itu sendiri. Optimisme Bang Rohim ini tentu saja 
dianggap sedikit berlebihan  oleh Mas Wandy, yang hari ini kembali menjadi 
moderator. "Apakah kita akan membiarkan politikus memanfaatkan isu agama ini 
dan akhirnya memakan korban ?" ungkap beliau.

Sebagai pembicara terakhir, Pak Jabbar berpendapat bahwa ekstrim Islam itu 
lagi `genit', seperti remaja yang mengalami masa puber. Melihat dari 
kehidupan pribadi para ekstrimis Islam di Indonesia, beliau mengungkapkan 
keheranannya atas tuntutan SI. Apalagi menurut pengalaman beliau dengan 
melihat penerapan SI di Arab Saudi, keadaan masyarakat tidak lebih baik 
daripada keadaan masyarakat yang tidak menerapkan SI. Malah penerapan SI 
hanya membuat kaum wanita kehilangan haknya untuk setara dengan pria. Bagi 
beliau, penerapan SI seperti memasuki area private seseorang dan memaksakan 
kehendak pada orang tersebut. Agama itu bukanlah suatu paksaan tapi sebuah 
kesadaran. Bila dipaksakan yang dihasilkan hanyalah kemunafikan. Jadi untuk 
membereskan bangsa Indonesia bukanlah menerapkan SI, tapi meningkatkan 
kesadaran Islam.

Pada Acara sesi tanya-jawab, terlontar pertanyaan dan komentar dari peserta. 
Nini dari UI misalnya menanyakan tentang hubungan tingkat pendidikan dengan 
sistem pendidikan dan radikalisme. Oji dari UIN menanyakan sistem pemerintah 
seperti apa yang layak untuk Indonesia. Priyatno dari IPB menanyakan 
bagaimana cara mengembalikan IPB menjadi Institusi Pendidikan yang pluralis 
dan inklusif.

Maya Safira Mochtar mengomentari bahwa secara pribadi menolak SI karena 
penerapan SI hanya menempatkan kaum wanita sebagai warga kelas 2. Dan, 
sesuatu yang aneh bahwa kehidupan beragama yang bersifat pribadi harus 
diatur oleh negara. Belum lagi SI diterapkan, sudah timbul peraturan tidak 
logis dikeluarkan lembaga agama seperti MUI berkaitan dengan label halal, 
makin membuat beliau yakin bahwa penerapan SI hanyalah demi kepentingan 
segelintir orang. Beliau mengharapkan bahwa Mas Burhan dan Bang Rohim bisa 
mengajak NU dan Muhammadiyah untuk keluar dari MUI untuk mencegah lembaga 
tersebut membuat kesalahan serupa di masa mendatang. Ibu Norma juga berbagi 
keheranan bahwa seorang yang terlatih otak kirinya (terpelajar) mampu 
menjadi seorang teroris atau pembom. Dan seorang guru yang semestinya 
`menghilangkan kegelapan', malah sering kali memicu tindakan `gelap' seorang 
murid atas nama agama. Beliau menanyakan upaya apa yang harus ditempuh untuk 
mengatasi perdebatan SI agar tidak berlarut-larut.

Sebelum mengomentari pertanyaan dari para peserta, Mas Burhan menyatakan 
bahwa Islam telah menjadi makna yang sedang diperebutkan. Hak patentnya 
sebenarnya ada di Tuhan, tapi ada kelompok-kelompok yang mencoba mengklaim 
`hak patent' tersebut. Beliau memaparkan bahwa tidak ada contoh keberhasilan 
dari negara dengan sistem dengan SI di dunia ini. Sistem pemerintahan 
taliban (pilihan favorit uztadz Baasyir) ketika masih berkuasa di 
afganistan, misalnya, hanya dikenal karena kekerasan dan hasil opiumnya. 
Apalagi SI memang hanya menang di jargon tapi sangat susah bila diterapkan.
Bagaimana pun Mas Burhan mengagumi efisikasi atau keyakinan tinggi dari para 
ekstrim Islam dalam memperjuangkan penerapan SI dalam sistem pemerintahan. 
Beliau mengkhawatirkan efisikasi ini mampu memberi kekuatan bagi terwujudnya 
SI di Indonesia. Beliau juga mengungkapkan survey yang menunjukan 
kecenderungan orang yang radikal menjadi lebih bodoh dibandingkan ketika 
belum menjadi radikal. Hasil survey ini diakui oleh salah satu pentolan PKS. 
Beliau juga sempat memberitahukan bahwa di Indonesia kini sudah ada 80-an 
perda/surat keputusan bupati yang berbau SI. Pengharapan beliau adalah 
Syariat Islam mestinya bicara tentang keadilan bukan sekedar
peraturan belaka.

Bang Rohim dalam kesempatan ini menambahkan bahwa strategi para ekstrim 
untuk mentransformasikan nilai-nilai islam ke dalam hukum positif bisa 
di-outmanuver dengan strategi politik dari para pluralis. Strategi politik 
dibalas dengan strategi politik yang lebih jitu. Sikap seperti ini jauh 
lebih baik daripada sikap alergi pada politik atau bahkan Anti SI yang dapat 
menimbulkan militansi baru. Acara yang sudah lewat 40 menit dari jadwal 
semula pk. 18:00 diakhiri dengan kata penutup dari Guruji Anand Krishna. 
Beliau
menjelaskan bahwa Budaya itu berasal dari kata Budi Pekerti yang berarti 
intelektual dan Hridaya yang  berarti rasa/EQ. "Rohim adalah Budhi, dan 
Burhan adalah Hridaya. Dan ketika mereka bertemu, Indonesia selamat" ujar 
beliau sambil mengharapkan Mas Burhan dan Bang Rohim sebagai simbol generasi 
muda NU dan Muhammadiyah keluar dari MUI, sehingga MUI `tidak bergigi' dan 
bubar. Beliau sangat mengkhawatirkan gabungan ambisi politik dari politikus 
seperti Din Syamsudin dan Amien Rais bagaikan `tempayan
tanpa pantat' bisa berputar ke mana saja bagi yang mampu mewujudkan ambisi 
pribadi mereka. Untuk itu peranan generasi muda seperti JIL dan JIMM 
(Jaringan Intelek Muda Muhammadiyah) sangat besar untuk meredam 
manuver-manuver dari para politisi oportunitis, apalagi dengan jargon 
penerapan SI.

Tujuh tahun Taliban berkuasa di Afganistan, negeri yang dulu indah sekarang 
hancur dan hari ini Afganistan meminta-minta bantuan dari negara-negara lain 
di dunia. Iran menjadi sedemikian miskin sejak rezim Islam berkuasa di 
negeri ini. Khoemeni, misalnya, menggunakan demokrasi untuk mencapai kursi 
kepresidenan, tapi dalam waktu 3 bulan  masa kepemimpinannya, lebih dari 
6000 intelektual dibunuh dan diganti dengan ulama-ulama yang bahkan tidak 
lulus SD. Mereka asal dicomot saja dan diberi gelar ayatollah dan diberi 
kedudukan di dalam pemerintahan. Hasilnya hanya kemiskinan dan 
keterbelakangan. Contoh lain yang diungkapkan beliau adalah Pakistan dan 
India. Di tahun 1997, 50 tahun setelah kemerdekaan ke-2 negara ini, majalah 
Times mengungkapkan wawancara terakhir mereka dengan M. Ali Jinnah yang 
dengan sedih mengatakan bahwa kesalahan terbesar yang pernah dilakukannya 
adalah mendirikan negara pakistan. Dua hari setelah Pakistan merdeka, M Ali 
Jinnah sempat memberikan speech bahwa setelah republik islam pakistan 
didirikan, semua rumah ibadah dari agama lain bisa berdiri bersama, 
berdampingan dan mendapat perlindungan yang sama dari pemerintah. Sore itu 
juga, pendiri Pakistan ini dilempari bom. Dan selama 50 tahun kemudian, 
pakistan `disandera' oleh ulama-ulama radikal sampai-sampai presiden 
Musharaf pernah mengatakan `kita seperti punya negara di dalam negara'. "Apa 
kita mau seperti itu? "tanya Guruji.

Guruji juga menjelaskan bahwa  dunia pun tak luput dari pengaruh baik dan 
buruk di mana keduanya tak dapat dipisahkan, seperti Yin-Yang. Saat ini 
pengaruh kejahatan dunia mulai mengalami pergeseran dari timur tengah ke 
dunia bagian lain. " Apapun yang jelek itu sedang berpindah tempat. Apa kita 
mau menampung kejelekan itu ?" Syariat dalam bahasa sanskrit berarti dharma 
dan kita tidak mampu menentang dharma. Tapi siapa yang menentukan dharma itu 
adalah kita sendiri. Dalam Islam, ada istilah istjihad, yaitu merenungkan 
dharma tiap individu sendiri. Dan juice dari penjabaran syariat ini adalah 
Tauhid seperti ungkapan para ulama-ulama dari India. ` Bila kau bisa tidur 
nyenyak sedangkan tetanggamu kelaparan, kau belum muslim ` kata guruji 
mengutip perkataan Nabi.

Pemahaman untuk menghayati agama ada 2 versi sejak jaman dulu, yaitu versi 
Lao Tze dan versi Khong Hu Cu. Lao Tze mengajarkan kesadaran beragama 
sedangkan Khong Hu Cu mengajarkan ketaatan pada peraturan agama. Versi Khong 
Hu Cu ini tidak pernah berhasil sekalipun di negara yang taat hukum seperti 
Singapura. Rakyat negeri ini kelihatan luarnya `benar'. Mereka bisa taat di 
negeri sendiri tapi mengotori Batam dan Riau. Demikian juga para syeikh dari 
negara-negara Arab yang alim tapi mudah ditemukan bersama pelacur di 
hotel-hotel bintang lima di Bombay.  Inilah kekacauan yang terjadi bila 
peraturan agama dibakukan dan diberlakukan secara paksa  Atau ketika para 
ulama kewalahan mengatasi ketidaksadaran dan ketidaktertiban, mereka mencari 
jalan pintas dengan penerapan SI. Guruji juga mengingatkan pentingnya 
penguasaan bahasa Inggris sebagai alat untuk meluaskan pandangan dan wawasan 
karena kurang baiknya terjemahan dari buku berbahasa lain dan kurangnya 
buku-buku berbahasa Indonesia. Kedua adalah kesadaran bahwa tidak ada 
pemahaman absulut, baik dalam ilmu pengetahuan maupun agama. Ketiga, epikasi 
sebenarnya sudah ada dalam diri Bang Rohim yang secara teguh berpendirian 
bahwa SI tak mungkin terjadi. Keempat adalah upaya menyebarkan Islam sebagai 
`agama  yang sejuk'. Dan kelima, untuk selalu berhati-hati dengan ambisi 
politik pribadi seseorang yang mampu memecah belah suatu negara besar 
seperti perpecahan yang terjadi pada India dan Pakistan akibat ambisi M. Ali 
Jinnah dan Nehru. Bahkan seorang Gandhi pun tak mampu menahan perpecahan 
akibat ambisi pribadi ke-2 orang tersebut.

Guruji yakin bahwa bila SI yang dipahami PKS dan Hizbut Tharir diterapkan di 
Indonesia, niscaya papua dan bali akan segera terpisah dari nusantara. 
Kemudian sulawesi akan terpecah menjadi 3 negara dan Indonesia menjadi 
tinggal Sumatera, Jawa dan Kalimantan di mana 70% penduduk bermukim tapi 
tanpa sumber daya alam yang memadai. Inikah yang kita harapkan ?

PKS diharapkan Guruji untuk diselamatkan karena banyak orang sadar tapi 
sedang kehilangan arah di sana. Caranya dengan merendahkan diri kita untuk 
memahami mereka dan selalu mengingatkan mereka akan tujuan mula kita menjadi 
suatu bangsa yang merdeka. Tuntutan SI muncul ketika masyarakat muslim 
Indonesia merasakan inferior complex terhadap bangsanya sendiri. Ini 
penyakit dan harus diobati. Akhirnya Guruji mengingatkan kembali bahwa 
manusia hanya bisa berjihad untuk menjadi muslim karena akhirnya Tuhanlah 
yang menentukan seberapa muslim tiap manusia itu. Guruji juga menghimbau 
masyarakat Indonesia untuk bersatu, mempersatukan konsep kebangsaan. Syariat 
Islam tidak masalah tapi pemaksaan pada pemahaman itu yang salah. "Syariat 
Islam harus dibuat begitu kuat dan dinamis sehingga orang akan mengikuti 
syariat karena kesadaran sendiri, atas istjihad sendiri" demikian Guruji 
menutup acara malam ini.

Laporan oleh The Torchbearer
Ditulis oleh Johanes






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke