RUU Pornografi: Lima Argumen Mengapa Harus Ditolak

Saya baru saja membaca bocoran RUU Pornografi yang akan diserahkan DPR kepada 
pemerintah untuk dibahas. Dokumen itu mengerikan. Simak bagian-bagian yang 
mencakup definisi “peran serta masyarakat” yang pada praktiknya memberikan izin 
untuk main hakim sendiri (pasal 23); definisi “upaya pencegahan” sebagai kartu 
hijau untuk premanisasi (pasal 20), dan, ini yang paling mencengangkan, bagian 
yang mencakup hukuman pengasingan ke tempat terpencil selama 1 sampai 15 tahun 
(ingat Digoel, Buru ?) bagi para pelaku pornografi!
 
Juga, seperti rancangan terdahulu, tak ada kriteria yang jelas tentang 
“pornografi” dan “pornoaksi.” Dan apabila kriteria itupun ada, ia akan sudah 
pasti mewakili seperangkat nilai tunggal yang tak mencerminkan kemajemukan 
Indonesia .

Apalagi “membangkitkan hasrat seksual”: siapa yang sanggup, lepas dari apakah 
ia berwenang atau tidak, mengetahui hal itu kecuali para individu yang 
bersangkutan? Dan apabila kita hendak jujur, takkah mesti kita akui, bahwa 
berapa jam, berapa hari dalam hidup kita, apakah sekadar numpang lewat atau 
singgah sesaat, kita lalui, seperti kata Susan Sontag, dalam “imajinasi 
pornografi?” Meskipun ia sesuatu yang kita lakukan buat kenikmatan kita 
sendiri, takkah ia tetap sesuatu yang berharga untuk diketahui karena ia 
merupakan bagian dari manusia?

Tahun lalu, ketika perlawanan terhadap RUU  ini sedang marak dan 6.000 orang 
turun ke jalan dalam sebuah pawai yang damai dan bhineka, saya menerbitkan 
sebuah esai panjang berjudul “Kisah si O: Perempuan dan Pornografi” yang dimuat 
dalam dua bagian di Koran Tempo. Saya hanya ingin menyatakan ulang sejumlah 
argumen saya dalam tulisan itu:

Yang belum tentu berguna, dan malah jauh lebih berbahaya (ketimbang 
pornografi), adalah sensor. Pertama, sensor adalah kejam. Ia kejam terhadap 
kompleksitas, terhadap warna dan nuansa, dan terhadap kemajemukan. Ia memang 
efektif dalam melindungi anak-anak, tapi, seperti kita tahu, susah sekali 
membedakan mana yang porno mana yang bukan, mana yang seni mana yang bukan. Ia 
kejam karena ia bisa kemana-mana: ia bisa melarang majalah Playboy atau 
menghentikan tabloid tentang poligami, tapi ia juga bisa memberangus seorang 
Agus Suwage, membungkam sejumlah karya sastra Indonesia .

Pada saat yang sama, bagaimana ia bisa menjamin bahwa nilai-nilai yang 
digunakannya mengakui keragaman penilaian seperti yang terkandung dalam 
kebhinekaan sebuah bangsa seperti halnya Indonesia? Tak heran apabila 
masyarakat Afrika Selatan takut terhadap sensor atas pornografi, karena mereka 
mengaitkan sensor dengan nilai-nilai Kristen yang dulu diusung rezim kulit 
putih yang tak membiarkan nilai-nilai lain berlaku.

Juga terkait adalah fakta bahwa nilai-nilai itu sendiri kapan saja bisa 
berubah. Pada suatu masa, Belenggu-nya Armijn Pane, Tropic of Cancer-nya Henry 
Miller dan Lady Chatterley’s Lover-nya D.H. Lawrence pernah dianggap tak 
bermoral dan oleh karenanya harus dilarang, tapi tidak lagi sekarang.

Kedua, seperti yang terjadi dalam banyak hal, apa yang dilarang akan dicari 
orang. Kiranya tak perlu banyak contoh di sini. Yang ironis, tentu, adalah 
apabila yang dicari justru karena dilarang adalah yang betul-betul merupakan 
pelecehan terhadap perempuan, seperti kasus majalah Playboy.

Ketiga, bagaimana aparat negara bisa berasumsi bahwa ia bisa menghentikan arus 
pornografi, dengan adanya teknologi komunikasi modern seperti internet atau 
video bajakan? Bahkan dari dulupun, pornografi tak bisa dibendung—ia hadir, 
misalnya, dalam bentuk stensil yang disebarluaskan—karena kekuasaan selalu 
membuahkan perlawanan.
 
Keempat, sensor terhadap pornografi ternyata tak juga  menghapus penindasan dan 
ketakadilan terhadap perempuan di dalam hidup yang nyata. Kekerasan ada sebelum 
pornografi. Justru di negara-negara dengan undang-undang anti pornografi yang 
paling ketat ketakadilan dan kekerasan terhadap perempuan paling marak. Di 
Timur Tengah tak ada pornografi, tapi kita tahu perempuan tetap saja menderita.

Kelima, seberapa jauhkah kerusakan yang dihasilkan oleh pornografi? Pernah 
adakah sejarah sebuah masyarakat, baik di Timur atau Barat, yang ambruk oleh 
pornografi? Bukankah kampanye “hate-speech”—menyebar-luaskan kebencian kepada 
suku lain dan agama lain, seperti  yang dialami Yugoslavia —lebih destruktif, 
baik dari segi psike maupun jumlah jiwa yang hilang?
 
Pada akhirnya, bukankah tak sebaiknya kita memusatkan energi terhadap 
pemberantasan korupsi, misalnya, atau pengadaan lapangan pekerjaan bagi 
saudara-saudara kita? Saya jadi ingat kata-kata teman saya Siti Musdah Mulia 
dalam pertemuan setelah Deklarasi Masyarakat Bhineka Tunggal Ika 13 Mei yang 
lalu, yang menyebut kekuasaan yang ada sekarang “rezim kesusilaan”. 
Peraturan-peraturan daerah yang keluar akhir-akhir ini hanya mengurusi 
kesusilaan, seakan kita tak punya masalah-masalah lain yang lebih penting.

Laksmi Pamuntjak
e-mail: [EMAIL PROTECTED]


Draft RUU Porno selengkapnya bisa diklik di:

http://artculture-indonesia.blogspot.com/2007/12/draft-ruu-pornografi.html



       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to