Ada Apa Di Balik Sertifikasi Halal ?

 

            “Teman-teman, perkawinan antara Nabi Muhammad dan Khadijah halal
atau haram, karena waktu itu ‘agama’ islam belum ada?” tanya Bapak Anand
Krishna ketika menyampaikan kata-kata penutup pada bagian terakhir Diskusi
Mahasiswa Bulanan The Torchbearer yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Mei
2005 pada pukul 16:00 WIB di One Earth, Ciawi.

            

            Diskusi bulan ini, yang mengangkat tema : Ada Apa Di Balik
Sertifikasi Halal?, menghadirkan 3 orang pembicara, yaitu (1) Ahmad Yulden
Erwin – Koordinator Nasional Gerakan Rakyat Anti-Korupsi, (2) Bapak Suroso –
Forum Komunikasi Pangan Indonesia, dan (3) Mujtaba Hamdi – Pemimpin Redaksi
Majalah Syi’rah. 

 

Sebenarnya masih ada pembicara satu lagi, yaitu dari bagian Sertifikasi MUI
yang diundang, tetapi karena satu dan lain hal berhalangan untuk hadir.

 

            Acara dimulai dengan pembacaan doa bersama dari 4 agama besar di
Indonesia dan kemudian Mas Wandy sebagai moderator membuka diskusi dengan
memberikan pengantar tentang RUU Produk Halal yang sedang digodok oleh elite
kekuasaaan. RUU ini berusaha mengatur seluruh produk-produk makanan, minuman
dan obat-obatan yang beredar di Indonesia baik produksi dalam negeri maupun
luar negeri untuk ditelaah oleh Badan yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Dengan demikian apapun yang beredar haruslah mendapatkan ijin dari Badan
tersebut.

 

            Erwin sebagai Pembicara Pertama berusaha melihat RUU ini dari
aspek persyaratan berlakunya suatu Undang-Undang di Indonesia. Setiap RUU
yang akan diberlakukan di Indonesia harus memenuhi 4 aspek filosofis,
sosiologis, politik dan formal. Kebanyakan UU di Indonesia hanya melewati
proses politik dan formalisasi tanpa memenuhi aspek filosofis dan sosiologis
secara semestinya. Jadi banyak produk UU di Indonesia, tiba-tiba, berlaku
dan tiap warga Indonesia baik di dalam maupun luar negeri harus mematuhi UU
itu tanpa kecuali.

 

            Yang menarik dari RUU Produk Halal ini sebagaimana yang tertuang
pada bagian pembukaannya adalah bertujuan untuk melindungi orang Islam di
Indonesia dari produk-produk makanan, minuman, kosmetik yang haram. Tapi
bila RUU ini menjadi UU yang ditetapkan, UU akan berlaku mengikat untuk
seluruh rakyat Indonesia, baik Islam maupun non-Islam. Ini konsekwensi dari
suatu UU yang diterapkan kecuali ada TAP MPR yang memberikan perbedaan
seperti UU Syariat Islam di Aceh.

 

            Kemudian bila dilihat dari aspek filosofisnya, apakah RUU ini
tidak bertentangan dengan dasar negara ini berdiri, yaitu Pancasila ? Dari
aspek sosiologisnya, apakah RUU ini akan mencapai ketertiban dan keadilan
bagi masyarakat atau malah menimbulkan gejolak ketidakpuasan di dalam
masyarakat ?

 

            Aspek politis biasanya terjadi di lembaga seperti DPR. Apakah
RUU ini menyentuh substansi dari Islam atau sebenarnya sekedar formalisasi
hukum Islam ? Seorang Professor Deliar Noer menolak ikut dalam parpol-parpol
Islam karena beliau menyadari bahwa para parpol Islam ini  hanya mencari
formalisasi hukum Islam sebagai bargain politik dan bila ini terjadi
hancurlah negara ini.

 

            Aspek terakhir adalah formal hukum. Apakah antara UU yang baru
tidak bertentangan dengan UU yang sudah ada ? 

 

            “Yang jadi pertanyaan, apakah RUU Produk Halal ini sudah
memenuhi ke-4 aspek dasar ini? Kalo belum ini akan menjadi masalah” kata
beliau menambahkan bahkan bila belum berarti UU akan melanggar keabsahan
berlakunya suatu UU dan bisa dipermasalahkan di kemudian hari di Mahkamah
Konstitusi.

 

            Kemudian beliau juga melihat RUU lebih fokus pada pasal per
pasal. Ternyata banyak pasal yang ‘tidak jelas’ sehingga beliau khawatir
bahwa pasal ini akan menjadi pasal ‘karet’ yang bila semakin tidak jelas
akan makin enak ‘dipermainkan’ oleh penguasa. 

 

            Praktek penerapan UU ini pun akan menjadi rumit karena semua
produk harus diteliti satu per satu oleh laboratorium penguji yang semua
biayanya harus dikeluarkan dari APBN yang sekarang ini pembiayaannya lebih
didominasi oleh hutang daripada penerimaan pajak. Jadi apakah biaya akan
lebih besar dari manfaat yang diperoleh atau sebaliknya ?

 

            Secara substansi, sebagai orang Islam, beliau juga sering
mendiskusikan dengan para teman tentang kenapa daging babi dan minuman keras
dilarang oleh Nabi. Kesimpulannya bahwa pasti ada pikiran rasional yang
melatar belakangi semua larangan-larangan tersebut. Dan bila peraturan dari
Tuhan dirasakan tidak rasional, Nabi pun bisa protes seperti yang terjadi
pada hukum Islam tentang sholat 50 kali sehari menjadi hanya 5 kali sehari.
Sehingga jika ada aturan yang tidak jelas dari lembaga manapun, sebagai umat
beriman dan taat kepada Negara, berhak mengajukan pertanyaan dan protes.

 

            Sebagai pembicara ke-2, Bapak Suroso menerangkan peraturan Label
Halal yang sekarang sudah berlaku dan kisah di balik masalah kenapa Label
Halal diperlukan. Secara ringkas, beliau menerangkan bahwa sekarang ini
peraturan tentang Halal diatur berdasarkan UU No.7/1996 tentang Pangan, yang
dikeluarkan oleh Kantor Menteri Urusan Pangan melalui Peraturan Pemerintah
tentang Label dan pengaturannya yang dituangkan ke dalam Surat Keputusan
Menteri Bersama – Menteri Agama dan Menteri Kesehatan  bersama MUI.

            

            Label Halal ini diberlakukan karena pada tahun 1988 seorang
dosen, Tri Susanto dari Univ. Brawijaya menemukan lemak babi dari berbagai
produk makanan yang dianalisa  di Malang. Peristiwa ini menjadi heboh dan
meluas pada hampir semua produk makanan dan membuat masyarakat menolak untuk
membeli produk makanan yang termasuk dalam daftar yang entah siapa yang
membuatnya. 

 

            Akibatnya masyarakat menuntut kepastian halal dan haram dan
tahun 1989, MUI berinisiatif untuk membuat Lembaga Pengajian Pangan Obat &
Kosmetika (LPPOM). Dan pada awalnya MUI hanya mengeluarkan sertifikat Halal.
Baru tahun 1996, produsen yang sudah mendapatkan sertifikat Halal dari MUI,
diwajibkan mengeluarkan Label Halal dan bertanggung jawab penuh atas
kebenaran pernyataan halal tersebut.

 

            Penganalisaan dan pemeriksaan produk halal dilakukan oleh LPPOM
UI, sebagai lembaga yang berwenang menguji,  yang hasilnya akan diteruskan
kepada Komisi Fatwa MUI sebelum dikeluarkan pernyataan halal. Kriteria
pemeriksaan produk halal termasuk bahan baku, bahan tambahan dan proses
pembuatan bahan menjadi produk jadi. Ada sanksi pidana dan denda atas
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

 

            Kemudian PP 69/1999 adalah peraturan tambahan yang mengatur
Label dan Iklan. Pencantuman halal harus merupakan bagian dari label dan
produk dan harus diuji oleh Lembaga Pemeriksa yang sudah terakredisasi.
Sedangkan pedoman dan tata cara pemeriksaan ditentukan oleh Menteri Agama.

 

            Kemudian Mas Mujtaba membahas halal-haram dari kapasitas beliau
sebagai seorang muslim. Menurut pemahaman beliau, di Al-quran dikatakan
bahwa hal-hal yang baik adalah halal. Dan Halal itu bukan hanya
substansi/materinya, tapi juga bagaimana substansi/materi itu diperoleh.
Sesuatu yang dihalalkan oleh MUI atau Kementerian Agama tapi diperoleh
dengan cara tidak baik adalah haram hukumnya bagi seorang muslim.

 

            Jadi bila menentukan Label Halal/Haram secara materi/substansi
cenderung sedikit lebih mudah, tapi bagaimana menentukan Label Halal/Haram
dari cara memperolehnya ?

 

            Mas Mujtaba juga merasakan sesuatu problematik bila
halal-haramnya suatu produk ditentukan oleh suatu lembaga yang dianggap
paling otoritatif seperti MUI. Apakah kehendak Tuhan atau kehendak MUI dalam
menentukan sesuatu halal atau haram ? Apakah hanya MUI yang paling berhak
menafsirkan ayat-ayat Al-quran ?

 

            Dan menurut beliau, bukankah di Islam melarang memakan sesuatu
yang haram ? Jadi mestinya yang diidentifikasikan adalah produk-produk yang
haram bukan malah membuat label halal bagi suatu produk.

 

            Sesi berikutnya, Mas Eko ketua Gerakan Moral Rekonsiliasi
Indonesia mengingatkan bahwa yang benar tidak selalu yang umum dan yang
paling banyak. Beliau mengajak bangsa Indonesia untuk tidak terprovokasi
dengan issu label halal/haram ini.

 

            Budayawan Soetanto Mendut malah mempertanyakan batasan halal
atau haram ini. Beliau mengambil contoh merokok di One Earth itu haram, tapi
ketika beliau keluar pintu gerbang One Earth, merokok menjadi halal. Jadi
batasannya merokok halal-haram di One Earth adalah pintu gerbang. Apakah itu
yang dicari dari Label Halal-Haram ini ?

 

            Nini, seorang mahasiswi Pasca Sarjana UI, mengungkapkan bahwa
label halal akan memberikan rasa nyaman kepada umat muslim, jadi kenapa
‘status quo’ yang sudah memberikan kenyamanan dan kepastian mesti dirubah ? 

 

            Agung, seorang mahasiswa UIN, mempertanyakan kemana saja dana
yang didapatkan MUI dari praktek mengeluarkan label halal-haram? 

 

            Ibu Norma sharing tentang pengalaman beliau bekerja pada sebuah
perusahaan yang mengimpor makanan dari luar negeri dan salah satu cara
perusahaan memenuhi prosedur sertifikasi halal adalah dengan menggunakan
radio tape yang memutar kaset “Bismillah” berulang-ulang pada produk impor.
Dan menurut beliau, rumah pemotongan hewan di luar negeri jauh lebih bersih
daripada pemotongan hewan di dalam negeri. Padahal dalam Islam, kebersihan
dalam memotong hewan sangat diharuskan.

 

            Erwin menjelaskan bahwa halal di Islam memang harus dilihat dari
segi rohani dan jasmani. Tidak bisa salah satunya saja. 

 

            Pak Suroso menjelaskan bahwa bila pangan untuk dikonsumsi
sendiri memang tidak ada aturan yang mengatur tapi bila pangan
diperjual-belikan atau didistribusikan dari satu daerah ke daerah lain,
selalu ada aturannya yang disebut Codex Elementary Commission – suatu aturan
standar International di mana masalah halal pun telah diatur secara
international di dalam Codex tersebut.

 

            Membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan
Thailand – bukan negara islam,  sudah punya lembaga tersendiri yang
menangani masalah label halal ini. Kepastian seperti ini memang sangat
diperlukan dalam dunia perdagangan makanan.

 

            Kemudian menanggapi masalah kebersihan dalam proses pemotongan
hewan di dalam negeri, Pak Suroso berpendapat bahwa masalah Halal & Thoyib
harus dipisahkan. Halal adalah urusan Dept. Agama sedangkan Thoyib adalah
urusan Badan POM di bawah naungan Dept. Kesehatan. Beliau setuju dengan Nini
bahwa Label Halal suatu produk akan memberikan kenyamanan dan ketenangan
bagi umat muslim.

 

            Mujtaba hanya berkomentar singkat bahwa beliau merasa bahwa
urusan agama adalah urusan pribadi seorang muslim bukan urusan publik yang
diwakili oleh suatu lembaga agama seperti MUI, sehingga bila MUI merasa
mewakili umat muslim, hal inilah yang harus diluruskan. Sedangkan bila
urusan bisnis, memang semua keputusan selalu berada pada pihak konsumen.

 

            Menanggapi pertanyaan Agung dari UIN, Erwin berpendapat bahwa
memang MUI harus bisa dan wajib mempertanggung jawabkan dana yang diperoleh
dari pengeluaran sertifikat halal selama ini. Bila selama ini produk mie
instant dari satu perusahaan terbesar di Indonesia saja bisa memproduksi 600
milyar bungkus pertahun dengan biaya label Halal Rp 25,- rupiah per bungkus,
jadi per tahun dari satu perusahaan saja, MUI sudah mendapatkan Rp 15
triliun rupiah per tahun. Ini berdasarkan data tahun 1999. Jika 4 tahun saja
berjalan, dana yang terkumpul mencapai 60 triliun rupiah. Ke mana saja dana
ini mengalir ? Dan publik berhak untuk mengaudit MUI karena dana tersebut
berasal dari publik juga. 

 

            Justru bila MUI tidak bisa membuktikan aliran dana tersebut,
maka bukankah label halal itu akan menjadi haram ? Dan bila hal ini terjadi,
apakah Label Halal akan menjadi bumerang bagi produk instant mie itu sendiri
karena produk itu akan menjadi haram secara otomatis ?

 

            Pada akhir diskusi, Bapak Anand Krishna mengatakan bahwa memang
masalah yang paling mendasar bagi semua pemeluk agama adalah kemalasan.
Kemalasan terjadi karena umat terlalu nyaman dengan label-label halal ini.
Kita malas memeriksa sendiri apakah produk yang kita nikmati adalah halal
atau haram bagi diri kita sendiri. Kita lebih suka mewakilkan setiap
keputusan pada orang lain biarpun kita harus mengeluarkan dana ekstra untuk
itu.

 

            Padahal segala yang nyaman akan selalu berakhir dengan
kecelakaan termasuk peradaban manusia dan juga agama-agama kuno di dunia.
Semua ini sebenarnya tercatat dalam sejarah seperti yang terjadi di Yunani,
Romawi serta Mesir, dan ulama-ulama kita tidak sadar bahwa mereka sedang
mengiring umat Islam menuju kehancuran peradaban Islam.

 

            Maksud Tuhan menyuruh umat untuk Sholat 50 kali sehari adalah
Kesadaran atau akhlak manusia; bahwa tiap manusia harus sadar apa yang
dilakukan (termasuk apa yang dimakan) setiap saat. Karena Tuhan tidak begitu
goblok untuk menyuruh 50 kali sholat dalam sehari sedangkan waktu sehari
hanya 24 jam, sehingga bila sudah dikurangi dengan waktu tidur saja, maka
mungkin 15 menit sekali kita harus sholat. Kapan kita bekerja ? Sedangkan
Sholat 5 kali sehari mewakili peraturan agama. Bila belum mampu sadar tiap
saat, ikuti peraturan.

 

            Demikian pula dengan masalah Label Halal ini. Sadarkah kita
bahwa Label Halal ini akan membebani rakyat banyak yang sekarang ini sedang
mengalami krisis secara ekonomi. 

Bila Thailand yang penduduk muslimnya minoritas dan Malaysia sudah mempunyai
labelisasi halal yang rapi, karena ke-2 negara ini adalah pengekspor produk
pangan di mana memang sertifikasi halal adalah salah satu cara untuk
memasarkan produk pangan mereka ke negara-negara muslim lainnya. Hingga yang
terbebani adalah rakyat negara lain, bukan rakyat negara mereka sendiri.
Sedangkan hal ini menjadi masalah dan membebani bangsa kita. “Hal ini harus
dipahami dan disadari” demikian kata Pak Anand Krishna.

 

            Seperti pendapat Erwin tentang dana yang terkumpul, adalah
bagaimana mengetahui kemana uang hasil penjualan sertifikasi halal selama
ini yang jumlahnya sangat besar itu. Bila dana digunakan untuk kenikmatan
duniawi misalnya, masih sedikit lumrah. Tapi bagaimana bila ternyata dana
itu malah digunakan untuk membiayai kegiatan terror di Indonesia atau
praktek pembodohan kepada masyarakat supaya para elite kekuasaan itu terus
bisa berkuasa ?                       “ Jadi marilah kita melihat masalah
ini dari sisi yang lebih besar, ke mana uang itu digunakan. Dan sudah
menjadi tugas kita untuk mengetahui hal ini” ujar Bapak Anand Krishna.

 

            Tapi hal terpenting adalah bukan masalah halal atau haram, tapi
apakah masalah ini mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ?
Kalau RUU ini malah membuat bangsa Indonesia menjadi terkotak-kotak atau
terpecah, RUU ini harus dilawan karena tidak sesuai dengan semangat bangsa
Indonesia yang pluralis.

 

            Masalah ini sebenarnya adalah cara yang diciptakan rezim orde
baru untuk membodoh-bodohi masyarakat tapi menciptakan comfort zone bagi
rakyat. Dan kita memberikan secara tak sadar ‘dukungan’  dengan menyetujui
dan membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Padahal Islam menjadi lebih
besar di Indonesia dibandingkan Hindu karena Islam memberikan kesempatan
kepada umat untuk beristijihad, untuk merenungkan sendiri dan memaknai
sendiri apa yang terbaik dan paling tepat untuk kita sendiri. Tidak perlu
ada lembaga atau individu yang menjadi perantara antara umat dan Tuhan.

 

             “Kalau hal ini dilupakan, saya khawatir, Islam bisa punah“ kata
Pak Krishna. Para Ulama berusaha ‘memisahkan’ umat Islam dari dunia. Islam
dibikin kotak tersendiri terpisah dari dunia, padahal mapping DNA
membuktikan bahwa semua manusia, bahkan hewan pun punya mapping DNA yang
sama. Seluruh kehidupan di alam semesta ini adalah satu kesatuan yang utuh
yang tak terpisahkan di mana ketidakberesan sesuatu akan mempengaruhi yang
lainnya. Apalagi bila ‘pengkotakan-kotakan dan pemisahan yang ’ terjadi
karena dalam rangka memperkaya diri. Ini sangat menguntungkan segelintir
orang tapi akan menghancurkan Islam.

 

            Islam sudah memberikan sentuhan peradaban pada Eropa dan
kontribusi Islam pada dunia sangatlah besar. Jangan kontribusi itu dilupakan
dan  Islam hancur seperti agama-agama kuno lain di dunia. “Islam bisa
bangkit dan akan bangkit di Indonesia, bukan di Arab sana” kata Pak Krisha,
“Dan kalian-kalian inilah yang akan membangkitkannya.”  

 

Website:

http://www.anandkrishna.org/diskusimahasiswa 



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke