Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007 
   
          Persahabatan di Kaki Borobudur   Mereka membacakan sajak, cerpen, 
fragmen kenangan dengan   berbagai bahasa di bawah bayang-bayang Borobudur.   
Itulah Utan Kayu International Literary Biennale, yang berlangsung pada akhir   
Agustus lalu. Sebuah forum pertemuan berbagai sastrawan dari Amerika, Asia, 
Australia,   Eropa, yang akrab, bersahaja, tapi meninggalkan kesan yang kuat. 
        STUPA puncak itu tampak begitu terang. Dari jarak sekitar satu 
kilometer, stupa itu seolah berbinar sendirian di ketinggian.
  Malam itu, disambut hembusan udara di ngin, para penulis masuk kawasan 
Borobudur melalui sisi tenggara candi, lewat pintu masuk ha laman Hotel 
Manohara. Panggung terbuka Aksobya, yang letaknya di pelataran sisi timur 
candi, menunggu mereka. Panggung itu hanya berjarak 50 meter dari candi. Bila 
berdiri di situ terasa kekokoh an candi. 
  Bagian bawah tubuh candi tampak gelap, tapi semakin ke atas kepekatan itu 
semakin pudar, dindingnya menjadi remang-remang. Dan pada pucuknya, sinar lampu 
putih mengguyur stupa dari berbagai penjuru. 
  Sean M. Whelan, penyair Australia itu, maju. Ia masih mengenakan topi laken 
hitam. Topi itu se olah tak pernah lepas dari kepalanya. Penampilannya 
atraktif, hafal puisinya di luar kepala. Konon, ia sering melantunkan puisi 
bersama band-band rock di bar. Elvis Tears sebuah sajak kocak, tentang air di 
kaca jendela mobil yang bertetesan seperti linangan para fans Elvis saat raja 
rock and roll itu wafat, dibacakannya. Penonton tak kesulitan mencerna karena 
di panggung ada layar terjemahan: 
  ”Ibumu pasti sangat menggemari Elvis,” kau berkata
 ”Ibuku benci padanya,” ujarnya. ”Ia membencinya karena Elvis sekarat sembari 
membaca majalah porno dalam WC. 
   
  Sebagian penonton lesehan di karpet merah, sebagian duduk di belas kursi 
malas panjang dari kayu (risban). Sebagian lagi berdiri di sana-sini bergelut 
dengan dinginnya malam yang menggigit kulit. Suasana santai seperti menonton 
wayang kulit.
  Tiba giliran Mamang Dai, penulis cerpen asal Itanagar, India, membacakan 
cerpennya: Tempat yang Gelap, Kota-kota Kecil. Ia dikenal sebagai ahli sejarah 
Arunachal Pradesh, sebuah kota bagian timur laut India yang kental tradisinya. 
Puisi itu merupakan pengalamannya di sana. Menjelang Sharanya Manivannan, 
penyair asal Sri Lanka, maju, hujan tipis turun sebentar. Tatkala hujan 
berhenti, dua puisi nya, Poem dan The Mapmaker’s Wife, membuai penonton.
  Dan tiap malam di tempat tidur kita aku menjadi istri sang pembuat peta
 Tiap belaian adalah bagian dari kartografi keramat 
 setiap kecupan adalah persilangan bumi dan segenap abstraksinya.
   
  l l l
   
  Dua puluh penulis dari luar negeri dan 26 penulis dari dalam hadir dalam Utan 
Kayu International Literary Biennale Festival, 23–30 Agustus lalu. Perkenalan 
pertama berlangsung di Bakoel Coffee, Cikini, Jakarta. Bersama-sama kemudian 
mereka berjalan menuju Taman Ismail Marzuki (TIM). Acara berlangsung selama dua 
hari di TIM dan dua hari di Teater Utan Kayu (TUK).
  Rata-rata penulis belum pernah datang ke sini. Ada yang sudah mendengar nama 
kepulauan di sini sejak kecil. Terence Ward, penulis buku perjalanan yang 
mengesankan, The Hidden Face of Iran, adalah salah satunya. Buku ini bercerita 
tentang pengalamannya ke Iran, mencari bekas pelayan keluarga bernama Hassan 
yang di masa kecilnya adalah segalanya. Ia yang membimbing Ward mengenal 
tradisi Iran, ia yang pandai memasak fesanjan bebek bersaus kenari tumbuk dan 
sari delima kegemarannya. 
  Pada 1960-an, saat Shah Iran berkuasa, keluarga Ward hidup di Iran. Di TUK ia 
menceritakan kenang annya bagaimana Hassan mengajari ia dan ketiga saudara 
laki-lakinya melompat di atas unggunan api saat mengikuti Chaharshanbe Souri, 
festival api Zoroaster. Keluarga Ward kemudian pindah ke Amerika Serikat dan 
setelah 16 tahun berlalu mencoba mengunjungi Iran yang telah berubah. ”Kami 
adalah orang Amerika yang pertama kembali ke Iran,” ka tanya. ”Kami mencari 
Hassan tanpa tahu alamatnya, nomor teleponnya, kecuali kampung leluhur bernama 
Toodesh.”
  Hassan begitu penting bagi Ward. Dari Hassanlah mungkin gambaran kepulauan di 
sini terbayang di kepalanya. ”Saya ingat suatu hari saya mengu nyah cengkeh di 
sebuah pasar di Tajrish, Teheran. Mulut saya terasa terbakar.” Ia lalu bertanya 
dari mana cengkeh berasal. ””Dari ujung dunia: Maluku, pulau para raja di ujung 
Asia, di batas lautan, suatu hari, Nak, kau akan ke sana,” jawab pemilik toko. 
Waktu itu ia ingat Hassan berkata: ”Insya Allah.” Dan ”insya Allah” itu 
terbukti. Kini Ward telah beberapa kali menjejakkan kaki di Jakarta, kota yang 
dulu mengatur perdagangan cengkeh.
  Seperti kisah Terence Ward, selama perhelatan penonton seolah mendengar bahwa 
para penulis Amerika Latin, Amerika, Eropa, Asia, Afrika, dan Australia itu 
saling tukar memori, berbagi masa lalu, menceritakan samar-samar kota-kota yang 
disinggahi sampai kenangan erotis. 
  Kangni Alem dari Togo, misalnya, penasaran akan kolonialisme Belanda di sini. 
”Saya ingin memban dingkan dengan imperialisme Belanda di Afrika.” Ia baru saja 
menyelesaikan novelnya, The Day of the Caravels, tentang budak-budak asal 
Afrika di Brasil abad ke-19 (bakal dirilis penerbit Gallimard, Paris, Januari 
2008). Di situ ia membeberkan aktivitas ekonomi Belanda di Afrika ”Dari Ghana 
sampai Nigeria, benteng-benteng Belanda jauh lebih besar daripada benteng 
Portugis. Di Afrika Selatan, mereka membangun kota dengan budak-budak dari 
Indonesia, Madagaskar, Mozambik.”
  Lalu Idanna Pucci dari Florence, Italia, membacakan memoar bangsawan 
Karangasem, Anak Agung Made Djelantik, tentang Bagdad. Pucci menerbitkan buku 
Against All Odds: The Strange Destiny of a Balinese Prince yang berisi 
fragmen-fragmen kenangan Djelantik. Pada 1999, di usianya yang ke-80, Djelantik 
mengalami koma. Ia saat itu pulih dan kemudian menjalani terapi dengan cara 
menumpahkan kenangan-kenangannya dalam lukisan cat air. Pucci kemudian menggali 
pengalaman di balik lukisan cat air itu. Dan kita mendapat cerita yang luar 
biasa, seperti saat Djelantik bertugas sebagai dokter WHO di Bagdad. Ia 
ditangkap serdadu Irak, dianggap mata-mata Israel dan terancam hukuman gantung 
hanya gara-gara memotret langit Bagdad. Memoar Djelantik yang dibacakan Pucci 
itu terasa kuat , menancap di ingatan—apalagi ketika dua minggu sesudah 
pembacaan itu, Rabu 5 September lalu, kita mendengar kabar Djelantik meninggal 
dalam usianya yang 88 tahun. 
  Yang menarik adalah saat Pucci bercerita bagaimana di Florence, kotanya, 
pernah tinggal W.O.J. Nieuwenkamp, seniman Belanda yang dikenal sebagai tokoh 
awal yang mengeksplorasi Bali. Pada 1906, Nieuwenkamp tiba di Bali. Ia saksi 
mata Perang Puputan. Ia membuat sketsa tentang segala hal di Bali hingga banyak 
pura yang hilang karena gempa di Bali; kini masih dapat dibayangkan lewat 
coretannya. Pada 1926 ia menetap Florence dan meninggal di sana pada 1950. 
Pucci bercerita tentang masa kecil: ia sering dolan ke rumah Nieuwenkamp, 
bermain de ngan cucu-cucunya, tapi itu tak disadarinya sampai 1986 di Bali, 
seorang kawannya mengatakan bahwa itu adalah sang seniman legendaris. 
  ”Itu mengejutkan saya.” Segera ia kembali ke Florence dan menuju vila 
almarhum Niewenkamp di daerah Fiesole. Ia menyaksikan koleksi topeng, kain, 
lukisan, patung kayu, dan batu Bali milik Nieuwenkamp yang luar biasa. ”Seolah 
kapsul waktu. Bali yang belum tersentuh turisme,” katanya 
  Bila dari penulis luar kita mendapat kisah-kisah tak terduga, mereka juga 
mendengar kisah para sastrawan kita yang beragam. Mong Lan, penyair asal 
Vietnam pasti khidmat mendengar bagaimana Abdul Hadi W.M. membacakan puisinya 
tentang Luang Prabhang, sebuah kota di Laos: Arca Buddha terbaring di lapangan 
yang kotor merenungi gerimis yang berdoa kepada daun-daunan dan rumputan.... 
Seperti juga Lan Po Chou, penyair Taiwan yang mengangguk-angguk seolah mengerti 
danau yang dimaksud Amarzan Ismail Hamid ketika Amarzan membaca puisi tentang 
sebuah telaga di Hanzhou, Cina, yang dikunjunginya pada 1964.
  Simak sajak Oka Rusmini yang menggetarkan: Tanpa kau tahu, aku telah 
menyelipkan harum keju dari seorang laki-laki merah yang kuperas di cafe .… Dan 
ketika Laksmi Pamuntjak membacakan tafsirnya tentang Dewi Amba dan Bisma, 
Sharanya Manivannan mengatakan: ”Seperti Laksmi, saya juga membongkar epos.” Ia 
menceritakan dirinya yang membuat sajak yang menampilkan Karna sebagai seorang 
perempuan. 
  Dari forum seperti ini, penonton mendengar bahwa masih ada saja pemerintah 
yang menganggap karya sastra sebuah ancaman. Feryal Ali Gauhar Petilan, aktris 
dan sutradara asal Pakistan, mengabarkan bahwa novelnya, No Space for Further 
Burials, tak diterjemahkan ke dalam bahasa Pakistan lantaran fundamentalisme di 
sana. ”Novel ini berbicara tentang masyarakat perbatasan Pakistan-India yang 
terlupakan,” katanya. Dari negara tetangga kita Si nga pura, Cyril Wong 
membacakan sajak berjudul Interrogation. Terhadap sajak yang kritis di 
Singapura masih berlaku Internal Security Act (ISA), seseorang dapat ditangkap 
tanpa proses pengadilan. Ia pedih, kemudian berdendang. Suaranya begitu 
menyentuh karena sehari-hari ia seorang penyanyi countertenor. ”Ini tembang 
nina bobo dari Cina,” katanya
  Lantunan Cyril menyajikan memori akan masa kanak-kanak, memang, merupakan 
sumber yang tak termatikan. Dan Chris Keuleman dari Belanda membacakan sajak 
berjudul ”Jakarta 1971”. Ayahnya seorang insinyur pertanian. Pada 1968–1971 ia 
tinggal di Bogor, dan Chris ingat ke mana saja saat itu ia diantar sopirnya 
yang bernama Saud. ”Dia adalah Hassan saya,” membandingkan dengan kisah Terence 
Ward. 
  Saat itu PKI baru saja diberangus. Gambaran menakutkan tentang orang-orang 
komunis didapatkan dari Saud. ”Tiap malam aku mengontrol apa kah jeruji di 
depan jendela kamarku sudah tertutup rapat….” Pada 1971 Presiden Tito datang ke 
Jakarta. Ia ingat bersama seorang teman, anak staf kedutaan Yugoslavia, 
mengibarkan bendera merah, tapi kemudian dilarang. ”Aku mengacungkan bendera ke 
udara…seseorang merebut benda itu tiba-tiba dari ta nganku…Tiba-tiba hanya 
bendera merah-putih dari sini saja yang dikibarkan orang, benda menyebalkan 
tanpa bintang….
  l l l
   
  Perjalanan kereta pagi Jakarta–Surabaya mungkin meletihkan mereka, tapi 
kemudian agaknya berkunjung ke Prambanan, Candi Ratu Boko, dan kemudian 
Borobudur meletupkan imajinasi mereka. Pelatar an panggung yang diterangi 21 
obor dan panggung yang ditata seniman gunung, Ismanto, dengan 20 ku rungan 
bambu setinggi pinggang memberi suasana berbeda.
  ”Seolah saya melihat ada kehidupan abadi di puncak,” komentar Idanna Pucci di 
hari kedua, yang tetap mengagumi kilau stupa puncak Borobudur. Entah apakah dia 
tahu bahwa Niewenkamp pada 1933 pernah berteori bahwa Borobudur dulu dibangun 
di tengah telaga seperti teratai dalam kolam. Saat itu pandangannya masih 
diragukan, tapi beberapa bulan lalu tim geolog UGM, yang melakukan penelitian 
di Borobudur sejak 1995 seolah meneguhkan hipo tesis Niewenkamp. Mereka 
menemukan sebaran lumpur hitam di berbagai kawasan Borobudur, menandakan bahwa 
dulu Borobudur daerah wet land. 
  Edmundo Paz Soldan, sastrawan Bolivia, mengaku langsung teringat pada Manchu 
Pichu, candi per adaban Inca di Peru, begitu sampai di Prambanan. Ia melihat 
bermacam-macam arca dewa-dewi. ”Ini tidak bisa dilihat di Machu  Picchu; di 
sana banyak dewa tetapi tidak di tempat yang sama.” Melihat bahwa Borobudur 
adalah candi Buddha yang sama sekali lain dengan Prambanan, ia berkomentar: 
”Ini tidak bisa ditemukan di agama Inca. Dalam budaya Inca, ketika penguasa 
baru muncul, mereka membangun kuil baru di atas kuil lama.” 
  Duduk di trap batu-batu, ia kemudian berkisah bagaimana saat Spanyol datang 
ke Amerika Latin. Mereka menghancurkan kuil dan membangun gereja Katolik di 
atasnya. Tradisi di Amerika Latin adalah membangun sesuatu yang baru di atas 
yang lain. 
  Dua hari melihat kesenian khas petani-petani lereng Merapi, dan atraksi musik 
truntung dari petani-petani lereng Merbabu yang membungkus dirinya dengan 
rangkaian bonggol jagung, akapela Mataram an pimpinan Pardiman Djojonegoro yang 
sableng dan kocak serta Soimah yang menampilkan songkekan, menembang lagu Jawa 
diselingi dialog membuat suasana betul-betul berbeda dengan Jakarta. ”Saya ka 
get betapa kompleksnya bangsa Indonesia. Ketika saya berada di luar 
(Indonesia), Indonesia digambarkan begitu sederhana,” kata Edmundo.
  Dan pesta di kaki Borobudur seolah tak mau berhenti. Feryal Ali-Gauhar malam 
itu membacakan karyanya yang berjudul Panen Musim Gugur. 
  ”Di malam hari samudra adalah lahan gandum di mana angin ratakan biji-biji 
yang ranum…. Di kejauhan lampu-lampu perahu nelayan adalah kunang-kunang menari 
di atas ombak. Dan kaok-kaok pelikan itu—tawa anak-anak kecil……….” 
  Dan Terence Ward kembali membacakan sajaknya, Kota Orang Mati, yang bercerita 
tentang lorong-lorong kuno dan kehidupan di Kairo. Ia sangat tenang, 
intonasinya tepat, sesekali muncul kalimat Arab yang dilantunkannya secara 
fasih. Borobudur bukan sebuah mausoleum. Ia bukan kuil arwah seperti 
piramid-piramid di Mesir. Penonton bisa membayangkan betapa berbedanya itu 
dengan Kairo yang diceritakan Ward: 
  ”Kudekati nekropolis itu melalui labirin Kairo abad pertengahan, melewati 
gelaran pasar besar di Khan el-Khalili….”
  Seno Joko Suyono (Jakarta), Lucia Idayani (Yogya) 
   
  
       
---------------------------------
Shape Yahoo! in your own image.  Join our Network Research Panel today!

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke