Saya berdoa semoga mereka cepat lulus dalam sekolahnya
dan segera kembali ke tanah air untuk memimpin bangsa
ini.

Saya juga berdoa jika mereka menjadi pemimpin, mereka
tetap memiliki hati nurani yang seperti mereka punyai
sekarang, tidak luntur karena harta atau kekuasaan.
Banyak pemimpin negara kita sekarang ini, dulunya adalah
aktivis yang memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi setelah
jadi pemimpin mereka lupa.

Ah, saya terlalu banyak berdoa dan berharap.
Tapi hanya itulah kemampuan saya.



              MAAFKAN KAMI TETAP MENGUNYAH ROTI
Oleh: Ferry Irwanto, Mahasiswa Indonesia di Groningen
                (KOMPAS: Selesa, 18 Januari 2005)

ADAKAH yang lebih membuat perasaan kita tercekat daripada menyaksikan
siaran televisi dari saluran CNN yang menggambarkan perempuan-perem-
puan antre jatah nasi putih untuk bocah-bocah mereka di tenda peng-
ungsian di Tanah Air, sementara di hadapan kita, di belahan Bumi yang
lain, makanan bermutu baik menunggu untuk disantap?

Adakah yang lebih memilukan hati daripada menyaksikan saudara-saudara
kita di Indonesia mengangkut air berwarna kecoklatan ke tempat peng-
ungsian untuk dijadikan air minum, sementara jauh dari Tanah Air, sari
buah dan susu kotak kualitas nomor satu siap melengkapi menu empat se-
hat lima sempurna kita?

Tak ada yang dapat mengobati kemasygulan hati saat menyaksikan di te-
levisi mayat-mayat korban bencana tsunami di Aceh bergelimpangan menya-
tu dengan lumpur dan puing bangunan, sementara di hadapan kita manusia-
manusia cantik dan tampan berlalu lalang dengan pakaian hangat di musim
dingin. Bayangan wajah berleler air mata dan ingus bocah lelaki yang
kehilangan orangtuanya, yang disiarkan televisi berulang kali, tak kun-
jung terhapus dari benak pada saat kita hendak tidur di kamar hangat
ber-heater.

Menyaksikan dari belahan dunia lain saudara se-Tanah Air-yang sebenarnya
belum tentu kita kenal secara pribadi- hilang dan tewas tersapu tsunami,
sedangkan kita tak bisa menghindarkan diri dari kualitas hidup yang baik,
menghadirkan sebuah perasaan asing: rasa bersalah karena tak mampu berbuat
apa-apa.

Tak berguna, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan terha-
dap diri sendiri, yang melanda sejumlah mahasiswa Indonesia yang sedang me-
nempuh studi di Groningen, Belanda, saat menyaksikan kondisi korban musibah
tsunami di Aceh lewat televisi. Perasaan bersalah dan tak berguna itu muncul
tanpa memerlukan ikatan emosional langsung dengan para korban bencana tsunami.

Mampu kuliah di luar negeri, apakah atas biaya sendiri atau beroleh beasiswa,
merupakan keberuntungan yang tidak dimiliki semua anak muda di Indonesia. Na-
mun, bagi beberapa mahasiswa Indonesia di Groningen, keberuntungan itu sama
sekali tak ada artinya dibandingkan dengan perasaan tak berguna yang terus
mendera, yang dari hari ke hari sejak tsunami melanda 26 Desember lalu terus
mengakumulasi.

"BANYAK teman saya di Jakarta datang ke Aceh. Saya merasa saya sendirian yang
tidak melakukan apa pun. Beberapa teman mengirim e-mail dan SMS kepada saya,
mereka bilang mereka senang saya sudah tidak berada di Aceh saat bencana ter-
jadi. Saya malah berpikir, seandainya saya bisa memilih, saya pilih berada di
sana dan bisa melakukan sesuatu," kata Ali Aulia Ramly (29), mahasiswa program
master Humanitarian Assistance Rijkuniversiteit Groningen (RuG), yang melewati
beberapa bagian dari hidupnya di Aceh.

Seorang mahasiswa salah satu program master di RuG lainnya, yang juga seperti
Ali menerima beasiswa Stuned dari Netherlands Education Center (NEC) Jakarta,
tak kunjung berhenti menyerapahi keadaan.

"Saya sama sekali bukan hendak jadi koboi kesiangan. Saya cuma ingin hidup
saya punya makna, enggak perlu untuk orang lain, minimal untuk diri saya
sendiri. Di sini, apa yang saya lakukan? Saya cuma bisa nonton CNN sambil
mengunyah roti. Siang hari, serat daging terselip di geraham saya saat kor-
ban tsunami di Aceh berebut mi instan. Bisa bayangin bagaimana tersiksanya
saya?" tuturnya.

Beberapa penerima beasiswa Stuned di Belanda memang tidak bisa begitu saja
pulang ke Indonesia (dan berangkat ke Aceh menjadi relawan bencana tsunami)
karena kontrak dengan NEC tidak memungkinkan hal itu. "Saya malah meminta
kantor tempat saya bekerja di Jakarta untuk memanggil saya pulang supaya
ada alasan bagi saya untuk break (melanggar kontrak Stuned). Tetapi kantor
saya tidak menyetujui ide itu," ujar mahasiswa itu.

Katakanlah, semua mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri
berbondong-bondong kembali ke Indonesia, berangkat ke Aceh, apakah itu
mengubah keadaan? "Saya enggak harus mikirin itu. Saya cuma merasa, di
saat Aceh dilanda musibah mengenaskan begitu, di sini saya enggak bisa
memaknai hidup saya," jawabnya. Mahasiswa tersebut memiliki kenangan di
beberapa wilayah di Pulau Weh. Sementara Ali adalah sedikit dari maha-
siswa Indonesia di Groningen yang memiliki hubungan emosional langsung
dengan kota Banda Aceh. Usia 2-6 tahun dihabiskan Ali di Banda Aceh.

Tahun 2001-2002 dia beberapa kali berkesempatan datang kembali ke Banda
Aceh untuk memonitor program perlindungan, penanganan masalah psikososial,
dan pendidikan anak korban konflik. Selanjutnya, selama satu setengah
tahun (masa Cessation of Hostilities Agreement/CoHA, Darurat Militer I,
Darurat Militer II, dan Darurat Sipil I), dia tinggal dan bekerja di
Aceh. "Beberapa hari lalu seorang teman asal Aceh bercerita mengenai
aktivis-aktivis yang hilang atau meninggal karena banjir tsunami. Me-
reka itu teman-teman dekat saya, orang-orang yang saya kenal. Itu mem-
buat saya sedih, putus asa, merasa enggak berguna," kata Ali.

Sejauh ini tidak ada data pasti berapa mahasiswa Indonesia di Belanda
yang memiliki keluarga yang menjadi korban. Sementara berdasarkan data
Stuned, keluarga seorang penerima beasiswa Stuned 2004, Mustafa
(Universiteit van Amsterdam), turut menjadi korban tsunami.


DI Groningen sendiri, di sela-sela perasaan tidak berguna itu, di an-
tara perasaan bersalah atas kondisi hidup berkecukupan, sementara kea-
daan korban tsunami di Aceh jauh dari sebutan layak (bahkan ketika me-
reka telah menjadi mayat), mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Groningen menggelar aksi kemanusiaan
penggalangan dana untuk korban tsunami di Aceh.

Penggalangan dana berlangsung empat hari, 10-13 Januari, dilakukan di
muka Newscafe di Groetemarkt, pusat keramaian kota Groningen. Menurut
rencana, seluruh dana yang terkumpul akan disumbangkan kepada korban
tsunami di Aceh melalui Palang Merah Indonesia (PMI).

Aksi kemanusiaan tersebut ditutup dengan acara panggung terbuka
"Indonesia Half-staff: A Night for Atjeh", yang diselenggarakan di
depan Kantor Wali Kota (Stadhuis) Groningen, Kamis (13/1) malam.
Pada acara itu, Wali Kota Groningen Jacques Wallage, Duta Besar RI 
untuk Belanda Muhammad Yusuf yang datang terlambat, serta Presiden
RuG masing-masing memberikan sambutan dan dukungan atas aksi peng-
galangan dana kemanusiaan untuk korban tsunami yang diadakan maha-
siswa Indonesia di Groningen.

Dana yang terkumpul 3.470,88 euro dan 8 dollar AS. Menurut Ketua
Badan Pelaksana PPI Groningen Febdian Rusydi, jumlah itu di luar
jumlah sumbangan PPI (seluruh) Belanda kepada korban tsunami Aceh,
yang tercatat 1.600 euro dan telah disalurkan melalui "Pundi Amal 
SCTV", serta sumbangan pribadi mahasiswa-mahasiswa Indonesia de-
ngan cara masing-masing.

Banyak warga Belanda di Groningen yang bertanya kepada kami, 
"Mengapa kami harus menyumbang lagi kepada Anda, sedangkan kami
sudah menyumbang ke Giro 555 (rekening amal untuk seluruh negara
korban tsunami yang dikelola Pemerintah Belanda)?"
Kami jelaskan, donasi yang kami kumpulkan adalah spesifik untuk
Aceh, yang butuh bantuan obat-obatan, makanan, pakaian, dan
kebutuhan sehari-hari di tempat pengungsian.

"Kami akan salurkan hasil donasi ini ke PMI, yang kami percaya
mampu menyalurkan dana yang terkumpul langsung kepada para korban.
Sementara Giro 555 mungkin tidak bisa tersalur secepat itu karena
biasanya bantuan dari pemerintah diserahkan melalui pemerintah,
dan itu butuh waktu," papar Febdian.

Hasil aksi penggalangan dana sebanyak 3.470,88 euro dan 8 dollar
AS bukanlah angka besar. Namun, di balik itu, sejumlah mahasiswa
Indonesia telah berupaya melakukan hal terbaik yang dapat dilakukan
saat ini, di tempat yang amat jauh dari Aceh. Era yang sedang disi-
bukkan dengan penyusunan tesis masternya, Tanti, Aditya, Muti, dan
beberapa mahasiswa Indonesia lainnya setiap hari selama empat hari
itu, pukul 10.00-17.00, berdiri menyodorkan kaleng donasi di seki-
tar Newscafe.

Gigitan suhu di bawah lima derajat Celsius dan terpaan angin buas
Groningen tidak menyurutkan niat untuk bahu-membahu mengumpulkan
sen demi sen sumbangan orang-orang yang berlalu lalang.

Posisi Indonesia pada peringkat kelima negara paling korup di dunia
sempat berdampak pada aksi penggalangan dana di tengah keramaian
itu. Seorang lelaki setengah baya menegaskan, dirinya sama sekali
tidak percaya dana yang dikumpulkan akan sampai kepada korban
tsunami di Aceh. Tanti membalas cercaan meneer Belanda itu dengan
seulas senyum. "I’m afraid you’re wrong," kata Tanti.

Dado yang sedang menghadapi ujian, Ita yang harus segera berangkat
meneruskan kuliahnya di Swedia, Egi dan Vita yang dibebani setumpuk
tugas kuliah, dan sejumlah mahasiswa Indonesia lainnya ambil bagian
pada acara Indonesia Half-staff: A Night for Atjeh. Tari saman, yang
dibawakan Ita dan kawan-kawan sebagai hasil latihan lima hari, malam
itu membuat orang-orang yang berlalu lalang di sekitar panggung ter-
buka berhenti dan terpukau.


MALAM belum tua, pukul 22.00, ketika lampu-lampu panggung dipadamkan
saat acara Indonesia Half-staff: A Night for Atjeh itu usai. Langit
malam Groningen untuk sementara cerah, menaburkan satu dua bintang.
Sejumlah mahasiswa Indonesia, dan beberapa warga Indonesia yang telah
lama bermukim di Groningen, larut dalam ria barang sekejap, mensyukuri
rangkaian aksi kemanusiaan yang mereka nilai cukup sukses terlaksana.

Beberapa langkah beringsut menjauh dari keriaan itu, masih dengan kege-
lisahan yang sama, kegelisahan yang lahir dari rasa diri tak berguna.
Esok pagi, saat menyantap roti berbalur selai kacang plus segelas susu
kualitas nomor satu, CNN menemani sarapan dengan liputan masih seputar
porak porandanya daerah yang diobrak-abrik tsunami. Hari-hari pun akan
berlalu dengan takaran perasaan bersalah di hati tak berkurang barang
secuil pun. Maafkan kami, Aceh, untuk tetap mengunyah roti. Seandainya
kami punya pilihan lain....  



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke