http://www.indomedia.com/poskup/2006/09/08/edisi08/opini.htm
Maraknya TKI, apa radiksnya? Oleh Yohanes Paulus Bataona * TENAGA Kerja Indonesia (TKI) merupakan sebuah term yang menarik dan tidak asing di telinga anak-anak Indonesia. Dari statemen ini, banyak orang tentu berpikir bahwa yang menjadikan term TKI itu menarik dan tidak asing karena soal publikasinya, yakni sudah dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan menjadi sajian aktual yang terus dipersoalkan dalam mass media. Sebagaimana kebanyakan orang, saya sendiri pun punya perspektif lain soal yang satu ini. Di sini yang ingin saya tampilkan adalah suatu nilai lebih di balik opini umum yang menggarisbawahi terminologi tersebut. Menurut saya, term TKI menarik dan tidak asing bukan di-back up oleh faktor famous-nya (ketenaran) tetapi lebih pada alasan bahwa tak ada seorang pun di bumi pertiwi ini yang tidak menghendaki pekerjaan atau menjadi seorang tenaga kerja. Ya, semua orang ingin mendapatkannya baik sebagai pekerja di instansi pemerintahan maupun di instansi swasta. Ada yang mau menjadi guru, pegawai, polisi, tentara, manajer, tukang, pedagang, sopir, bodyguard, ojek, buruh, dan lain sebagainya. Semuanya memang beraneka ragam namun toh predikatnya tetap satu dan sama yaitu sebagai anggota TKI. Sebaliknya yang memebedakan hanyalah soal legal atau ilegal. Lepas dari catatan di atas, ada lagi istilah yang cukup menarik perhatian saya yakni tentang Tenaga Kerja Lepas (TKL) dan Tenaga Kerja Terikat (TKK) seperti yang dialami oleh para pekerja di Indonesia. Opini publik menandaskan bahwa tenaga kerja lepas merupakan kelompok pekerja yang bebas dari ikatan dinas atau instansi pemerintahan tertentu. Dalam hal ini termasuk di dalamnya para swastanis atau yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sedangkan tenaga kerja terikat adalah para pekerja yang mengikatkan dirinya dengan instansi/dinas tertentu (pemerintahan) dan sungguh-sungguh membaktikan dirinya demi kepentingan bangsa dan negara. Untuk item ini saya punya persepsi yang sedikit berbeda. Tenaga kerja lepas, pada hemat saya merupakan kaum pekerja, entah itu pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta yang tidak serta-merta menggantungkan hidupnya pada pekerjaan yang dimilikinya; sebaliknya ia dituntut untuk matang dan mampu menjangkau suatu pekerjaan yang lebih istimewa dari sekadar pekerjaan yaitu masa depan (baca: kebahagiaan). Sebab apa gunanya sebuah pekerjaan mulia jika tidak diimbangi dengan harapan akan masa depan (future) yang cerah. Atau dengan kata lain, apalah artinya sebuah pekerjaan yang beriming-iming tinggi (baca: palsu) sementara tidak ada kebahagiaan yang ditemukan di sana. Sebaliknya, konsep tenaga kerja terikat menurut saya adalah para pekerja yang hanya bergantung pada pekerjaan yang ia punyai sehingga manakala pekerjaan itu lenyap, ia gampang stres, putus asa atau mati lemas, bahkan bisa memotivasinya untuk hengkang atau berkanjang ke negeri lain melalui bilangan TKI. Sebab baginya, pekerjaan seperti itu sudah cukup apalagi kalau posisinya nyaman untuk bertindak hedonistis (baca: mengoleksi banyak harta). Ya, menarik bila kita simak ulasan paragraf awal dan kedua, namun itu belum mengupas dan menjawabi apa yang terbersit dalam judul tulisan di atas, sebab pembahasannya masih terbatas pada persoalan terminologi (istilah). Untuk itubaiklah saya kembali pada urgensi problem yang hendak dikaji yakni maraknya jumlah TKI: apa radiksnya? Membaca berita Pos Kupang beberapa edisi sebelumnya, di sana ditemukan topik-topik seputar TKI. Sebut saja: 7 Calon TKI Asal NTT Disekap di Jakarta (Pos Kupang, Jumat 1 September 2006); Perekrutan Calon TKI Ilegal - Bentuk Perdagangan Manusia (Pos Kupang, Sabtu 2 September 2006); Lagi, 136 Calon TKI Ditangkap (Pos Kupang, Sabtu 2 September 2006); beserta Data Kasus TKI selama 2006 yang dilansir Pos Kupang pada edisi Jumat, 1 September 2006. Dari seluruh pemberitaan mengenai TKI, saya sedikit terganggu dengan statemen dan respon pemerintah yang cenderung mempersalahkan para calo dan pekerja (TKI) baik yang hendak dipekerjakan di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagai seorang generasi muda, saya tidak terlalu jauh mengutuk sikap atau tanggapan pemerintah berkenaan dengan soal ini. Saya cuma kesal dan prihatin dengan kondisi di negeri tercinta ini yang boleh dibilang berbalik seratus persen, yakni di satu pihak rakyat lebih suka merantau atau mencari pekerjaan ke daerah lain ketimbang menetap dan membangun hidup di kampung halamannya sendiri; dan di lain pihak negara (pemerintah) kurang peduli terhadap fenomen-fenomen yang terjadi di tengah kehidupan arakyat seperti problematika TKI. Terhadap kasus ini, kita bersoal, "Apa si tugas negara yang sesungguhnya?" Tentu saja berkaitan dengan persoalan kita saat ini, tugas negara yang paling substansial adalah membaca dan menemukan radiks (akar) persoalan di balik maraknya jumlah TKI baik legal maupun ilegal, jadi bukan sekadar menetapkan sanksi-sanksi hukum atau mempersalahkan pihak-pihak tertentu. Sebab jika negara (baca: pemerintah) hanya melihat gejala permukaan dari maraknya jumlah TKI, maka sampai kapan pun jumlah itu tidak akan berkurang, malah boleh jadi semakin bertambah. Sebaliknya yang harus dibuat oleh kaum berotoritas (pemerintah) adalah berusaha menemukan apa yang menjadi akar permasalahan di balik realitas yang ada. Atau secara sederhana dapat dikatakan, faktor apa yang membuat masyarakat kita lebih cenderung mendaftarkan dirinya sebagai TKI? Apa yang memotivasi mereka? Dan apa yang mereka cari? Apakah radiks-nya adalah kemiskinan (ekonomi lemah), tidak tersedia lapangan pekerjaan yang pas buat mereka, lahan yang tandus, kehilangan job (pekerjaan), rendahnya upah, sekadar ikut-ikutan, ataukah berhasrat mencari pengalaman baru. Selanjutnya bila radiks-nya sudah ditemukan, maka yang harus dibuat negara pada sesi final adalah mencari solusi (jalan keluar) dari problem tersebut. Sebagai contoh, apabila banyak TKI yang mengeluh soal lapangan pekerjaan yang kurang pas atau tidak memadai, maka negara perlu mencari solusi misalnya dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan kompetensi kebanyakan TKI. Atau lebih spesifik menyangkut TKI ilegal misalnya, negara perlu menemukan jawabannya (radiks): mengapa orang lebih senang memilih - mendaftar sebagai TKI ilegalketimbang sebagai TKI legal? Apakah urusan atau prosedur mendapat surat izin perjalanan berbelit-belit dan membutuhkan banyak biaya tambahan; ataukah orang masih meragukan otoritas negara dalam meng-handle semua urusan dimaksud? Dan jika demikian hasilnya, maka solusi apa yang harus dicapai demi menetralkan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap otoritas negara? Misalnya dengan memberi keringanan atau kemudahan terhadap para calon TKI berkenaan dengan urusan surat izin perjalanan dan lain sebagainya; semua itu akan membantu mengurangi jumlah TKI yang berstatus ilegal. Sampai di sini, saya hanya mau katakan bahwa bila poin-poin urgen di atas diindahkan oleh negara dan masyarakat seluruhnya maka saya optimis bahwa kita tidak akan berlarut-larut dalam problem seperti ini, sebaliknya kita akan mudah mengatasinya dan dengan demikian ke depan kita bisa menikmati bersama apa yang disebut kebahagiaan. * Penulis, mahasiswa Filsafat Agama, staf Sanggar Tulis Menulis FFA, tinggal di Biara Karmel OCD Penfui [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/