Masihkah Kita Berharap Pada Sekularisme? Oleh: Syamsuddin Ramadhan Publikasi 01/05/2004
hayatulislam.net - Sekularisme Dalam Telusur Historis Dalam konteks historis, kelahiran sekularisme harus dilihat dalam horison sejarah feodalisme dan dominasi gereja pada Abad Pertengahan di Eropa (Ernest Troeltsch, The Social Theachings of Christian Churches, vol. I, terj. Olive Wyon, New York, Macmillan, 1931, hlm. 349). Pada saat itu, struktur masyarakat didominasi oleh kelas aristokrat, kaum gereja, dan rakyat rendahan. Kaum bangsawan memegang peranan penting sebagai penguasa dan pemilik tanah. Kaum gereja memainkan fungsi dan pemegang otoritas religius bagi para penganutnya. Rakyat jelata memerankan diri sebagai penggarap tanah, serta “obyek yang terdominasi.” (Thomas F. O’dea, 1994). Dalam masyarakat Abad Pertengahan, gereja memiliki pengaruh dan peran sentral yang sangat penting. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa sebelum abad ke-13, hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur, serta prestise tertinggi. Adapun pengurus gereja bawahan dan jemaat adalah orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan akses yang leluasa untuk menuju kelas atas. Mereka hanyalah partisipan serta masyarakat yang termarginalkan. Di sisi yang lain, hubungan antara kaum gereja dan bangsawan, meminjam istilah Troeltsch, terjadi secara timbal balik dan tumpang tindih. Pengurus gereja dan biara tinggi kebanyakan adalah para bangsawan dan kelas atas. Meskipun gereja membuka peluang mobilisasi kelas bawah menuju kelas atas, peluang ini sangat kecil, bahkan nyaris tidak ada. Kenyataan ini semakin mengukuhkan dominasi dan hubungan feodalistik-esklusif antara kelas aristokrat dan kaum gereja. Sekitar abad ke 11, timbul kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat kota. Gejala ini kemudian diikuti dengan serentetan protes dan perlawanan sosial menentang dominasi dan eksploitasi kaum gereja. Mereka menggugat kaum gereja yang melibatkan diri dalam hubungan feodalistik dengan kaum bangsawan, eksploitasi atas nama kekuasaan dan agama, serta sikap yang merendahkan rakyat jelata. Protes dan gerakan anti gereja tidak hanya muncul di ranah sosial, tetapi juga merambah kawasan biara. Protes bermula dari biara Benedict, di Cluniy, yang kemudian dikenal dengan “reformasi Cluniy”. Gerakan ini menentang praktik-praktik menyimpang para pendeta, moralitas, serta arogansi kaum pendeta di biara. Pada tahun 1073 meletus sebuah peristiwa “pembaharuan Hildebrandine”. Perlawanan ini, sama seperti eskalasi lainnya, dilatarbelakangi oleh pemberontakan melawan kemapanan dan sikap eksploitatif kaum gereja. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menuntut terjadinya proses reformasi dan sekularisasi, yaitu pemisahan gereja dengan kekuasaan feodalistik. Lahirnya sekularisasi juga dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap dogma-dogma gereja yang cenderung memusuhi rasionalitas dan pengetahuan. Pemberangusan gerakan kaum rasionalis oleh gereja dengan mengatasnamakan “pembasmian terhadap gerakan heretik (bid’ah)” di kemudian hari justru mengakibatkan perubahan radikal struktur masyarakat Abad Pertengahan. Lebih dari itu, gerakan ini juga diikuti oleh perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek idealitas gereja. Gejala-gejala inilah yang oleh Henri Pirenne disebut sebagai gejala yang mempercepat terjadinya proses sekularisasi. Senada dengan Henri Pirenne, Troelsch, menyatakan bahwa kombinasi antara ketidakpuasaan terhadap dominasi gereja yang eksploitatif dan dogma-dogma gereja yang anti rasionalitas berujung pada sekularisasi. Di Prancis Selatan dan Italia Utara terjadi pembantaian besar-besaran gerakan yang dianggap heretis oleh gereja. Paus Innocent III, setelah seabad peristiwa ini, mengerahkan ribuan pasukan, mesiu, dan pedang untuk membasmi gerakan-gerakan yang anti terhadap dogma gereja. Munculnya sekte heretik ini semakin mendorong otoritas gereja untuk bersikap keras, bahkan memusuhi pihak-pihak yang ingin mencari pengetahuan, atau penggagas pengetahuan rasional yang bertentangan dengan dogma gereja. Misalnya, bagaimana St. Bernard yang sangat menentang Abelard dan pengutukan ide-ide Thomas Aquinas oleh Sinode gereja Prancis dan Inggris. Departemen Curia Roma, organ administrasi Paus sebagai penguasa tertinggi gereja Katolik Roma, pada tahun 1616 menetapkan dekrit yang menyatakan bahwa tesis heliosentrik sebagai ajaran heretik. Dekrit itu juga menyatakan agar Galileo tidak lagi menganut dan membicarakan paham heliosentris. Pada tahun 1663, badan penelitian gereja atau Holy Office yang bertanggung jawab mempertahankan dan melindungi ortodoksi dan dogma gereja memvonis Galileo sebagai kaum heretik, sekaligus menetapkan paham heliosentris sebagai paham yang bertentangan dengan isi al-Kitab. (Charles Journet, The Church of the Word Incarnate, vol. I, New York: Sheed and Ward, 1955, hlm. 355). Sebelumnya, penggagas heliosentris, Copernicus, pada tahun 1507, tatkala menyadari bahwa gagasannya akan mendapat perlawanan dari kubu geosentris gereja, maka dirinya melakukan eksplanasi gagasannya dengan cara yang sangat halus dan waspada. Bahkan, gagasan heliosentris, yang kemudian dibukukan dalam karyanya yang berjudul De Revolutions, baru diterbitkan 36 tahun kemudian. Pada tahun 1543, buku itu diterbitkan, dan pada saat yang sama ia harus berhadapan dengan mahkamah Inkuisisi. Nasib yang sama juga dialami oleh Giordano Bruno, bahkan ia mendapatkan perlakukan yang lebih keji. Karena mengajarkan pluralitas, ia dikejar oleh mahkamah Inkuisisi Italia. Bruno akhirnya melarikan diri dan bersembunyi di berbagai negara Eropa. Namun, akhirnya ia tertangkap di Venice, Italia, dan dibakar hidup-hidup oleh mahkamah Inkuisisi. Peristiwa-peristiwa ini, semakin mengkristalkan masyarakat Eropa pada abad ke 15-16 untuk melakukan proses sekularisasi. Abad-abad itu disebut babak kelahiran baru (renaissance), atau babak pencerahan Eropa (Europen Enlightment). Dominasi kekuasaan dan dogma gereja berhasil diruntuhkan, dan dipinggirkan dalam ranah privat. Ketegangan antara rasionalitas dan dogma herestik gereja berakhir dengan dipisahkannya otoritas agama (gereja) dari kawasan negara. Sekularisasi semakin menemukan bentuknya pada Abad 17, bahkan ia telah menempatkan dirinya sebagai dimensi yang sangat penting. Penemuan-penemuan serta kelahiran sains dan teknologi merupakan katalisator menuju privatisasi gereja. Pada awal Abad 17, di Paris, yang saat itu berpenduduk 300 ribu orang, diperkirakan ada sekitar 50 ribu etis. (Erich Frank, Philosophical Understanding and Religios Truth, New York: Oxford University Press, 1952, hlm. 5). Pada abad ke 18, Eropa Barat semakin sekular. Pada periode ini, Eropa dibasahi oleh semangat sekularisme, rasionalisme, dan industrialisasi, yang kelak akan membangun peradaban modern Eropa. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa kelahiran sekularisme dilatarbelakangi oleh penolakan dominasi dan dogma gereja yang dianggap bertentangan dengan prinsip humanitas dan rasionalitas manusia. Semangat baru ini telah mendorong sejumlah teolog dan pemikir untuk melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran-ajaran Bibel secara lebih radikal, demi proses sekularisasi. Dengan ungkapan lain, sekularisasi merupakan konsekuensi logis dari eksistensi dan kelangsungan dogma gereja. Definisi Sekularisme Sekularisme pada awal-awal abad ke-19, sebagaimana doktrin penganjurnya yang pertama, C.J. Holyoake, didefinisikan sebagai paham yang menolak eksistensi tatanan sakral dan agnostisisme intelektual. (C.J. Holyoake, 1896). Groethyusen mendefinisikan sekularisme sebagai usaha untuk memantapkan bidang pengetahuan otonom yang dibersihkan dari preposisi-preposisi, fideistik, supranatural, (Groethyusen, 1934). Pandangan ini mirip dengan konsep laicisasi Prancis (Bosworth, 1962) yang mengandung keseluruhan doktrin filosofis yang didasarkan pada pandangan masyarakat dan kemanusiaan yang menolak dengan tegas eksistensi yang bersifat religius. Dansette, sebagaimana dikutip oleh Bosworth, memandang sekularisme sebagai “peniadaan katolikisme dan juru dakwah religi rasionalis yang memasukkan manusia ke dalam kedudukan Tuhan.” (Peter E. Glasner, 1992). Sedangkan sekularisasi didefinisikan Peter E. Glasner sebagai perubahan dari kendali eklesiastik menuju administrasi publik dalam segala aspek social. (Peter E Glasner, 1992). W. Stark menyebut sekularisasi dengan istilah “pemindahan corpus mysticum dari gereja menuju negara.” (W. Stark, 1967). Sekularisasi kadang-kadang juga diartikan sebagai ungkapan pemberontakan yang tampak dalam karya seni dan filsafat, melawan batasan-batasan teologi. (Hazard, 1953). Salah satu bentuk khas proses sekularisasi ini dapat ditemukan dalam perkembangan negara Prancis yang dikenal dengan ‘laicite’. W. Bosworth (1962) menyatakan bahwa sekulariasi adalah pemisahan masalah-masalah spiritual dari campur tangan negara. Adapun Bryan Wilson melihat sekularisasi sebagai proses pelucutan signifikansi sosial pemikiran religius, praktik-praktik dan institusi-institusi keagamaan. (Wilson, 1966, xiv). Dari definisi-definisi di atas bisa disimpulkan bahwa faktor pengenal dari sekularisme dan sekularisasi, sebagaimana diungkap dalam penelitian Guy Samson (1968) terhadap analisis O’dea, Bellah dan Cox pengarang buku The Secular City, adalah seputar hubungan manusia dengan Tuhan. Ia menyatakan, “Bagi Calvin, aktivitas manusia sekular dilakukan demi mendapatkan anugerah Tuhan yang lebih besar. Bagi Cox, aktivitas manusia sekular Protestan adalah berbagi dengan Tuhan dalam tugas yang umum.” (Guy Samson, 1968: 817). Dari sini pula kita bisa menetapkan, bahwa baik sekularisme dan sekularisasi, semuanya dinafasi oleh renaissance dan enlightment Eropa, yang berspiritkan penolakan peran yang sakral di dalam kehidupan (sekularisme). Karena itu, tidak mengherankan jika tradisi Barat modern adalah tradisi yang memandang agama sebagai sesuatu yang harus dipinggirkan dalam ranah kehidupan sosial. Bagi Barat, peradaban dunia harus dibebaskan dari semua hal yang berbau religius, termasuk Islam. Barat lupa, bahwa sekularisme merupakan konsekuensi logis dari ajaran Bibel yang tidak lagi otentik dan absah. Sebaliknya itu, Islam dengan al-Qurannya tidak pernah mengalami persoalan sebagaimana Bibel. Lebih dari itu, al-Qur'an sebagai way of life telah menyediakan ruang yang sangat luas untuk hal-hal yang bersifat publik. Al-Qur'an sebagai aturan hidup telah mengatur segala aspek kehidupan dengan sangat sempurna dan menyeluruh. Kesempurnaan dan kemenyeluruhan al-Qur'an tidak bisa disepadankan dengan Bibel yang tidak lagi otentik. Walhasil, wacana sekularisasi di negeri-negeri Islam, bukanlah keharusan bagi Islam itu sendiri, tetapi lebih sekadar sebagai upaya-upaya politik kaum sekularis untuk menghancurkan rival ideologisnya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Islam tidak pernah mengenal konsep pemisahan agama dari kehidupan atau negara. Agama dan negara adalah dua sisi kembar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sedangkan sekularisme bagi agama Kristen memang sebuah keharusan. Sebab, dogma gereja justru bertentangan dan menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya itu saja, peran gereja dalam wilayah negara telah menjadikan kerajaan-kerajaan Eropa—sebelum periode pencerahan—sebagai negara teokrasi yang melakukan penindasan terhadap rakyat dengan mengatasnamakan perintah Tuhan. Untuk itu, agama Kristen harus dipisahkan dari kehidupan negara. Ia harus dipinggirkan dalam wilayah-wilayah privat dan campur tangannya dalam urusan Negara harus ditolak. Sebagaimana diungkap oleh Gabriel Vahanian, seorang teologi-ne calvinis, “sekular adalah keharusan seorang Kristiani.” Dampak Susulan Setelah Renaissance Periode renaissance—dengan semangat menolak religiusitas—telah menimbulkan reaksi rantai yang sangat hebat dan tidak bisa dikendalikan. Hampir di seluruh kehidupan terjadi perubahan radikal dan menimbulkan efek contagion. Lahirlah teolog-teolog dengan gagasan liberal yang berusaha menempatkan agama di wilayah privat serta membebaskan dunia dari agnostisisme intelektual. Tidak terhenti di situ saja, kaum filosof mulai membincangkan gagasan sekularisme dengan mainframe isu “Kematian Tuhan”, rasionalisme, dan keadilan. God is dead. Tuhan telah mati! Jargon kematian tuhan, peradaban yang antroposentris (berpusat pada manusia), materialisme, humanisme, eksistensialisme, rasionalisme, pragmatisme, dan sebagainya merupakan dampak susulan dari proses sekularisasi pada Abad Pertengahan. Dengan kata lain, paham sekularisme telah membangun serangkaian gagasan-gagasan yang bermuara pada semangat pembebasan dunia dari hal-hal yang sakral (agama). Lebih dari itu, sekularisme yang terjadi para periode renaissance dipercaya sebagai tonggak ideologis bagi masyarakat Eropa Modern. Muncullah peradaban baru Eropa yang didasarkan pada sebuah humanitas baru. Humanitas itu, menurut St Simon dan Comte adalah humanitas yang didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat harus diorganisasi di atas basis rasional. Di bidang ekonomi, sekularisme telah melahirkan kapitalisme. Di bidang teologi sekularisme telah melahirkan filsafat “kematian tuhan” dan “filsafat materialisme” yang cenderung anti Tuhan (ateisme). Lihatlah, betapa sinisnya Feurbach berkomentar terhadap keberadaan Tuhan, “Bukanlah Tuhan yang menciptakan Yesus, tetapi Yesuslah yang menciptakan Tuhan.” Dia ingin menyatakan bahwa Tuhan itu adalah hal-hal imajiner yang lahir dari ide atau pengetahuan manusia. Ketika manusia memikirkan Tuhan, maka tuhan akan eksis. Sebaliknya, ketika dirinya tidak memikirkan tuhan, maka tuhan itu tidak ada. Teori Feurbach lain, yang di kemudian hari sangat mempengaruhi Karl Marx, adalah teori tentang alienasi manusia terhadap dirinya. Teori ini diadopsi oleh Karl Marx untuk menyerang agama dan paham kapitalisme. Di bidang pemerintahan, lahirlah paham demokrasi, yang ditujukan untuk membatasi wewenang absolut raja. Kemunculan demokrasi lebih ditujukan untuk menciptakan keadilan dan kedaulatan rakyat. Prinsip, egalite, fraternite, dan liberte, telah mendorong lahirnya rezim demokratik yang ujung-ujungnya juga tidak bisa menafikan penindasan dan eksploitasi oleh penguasa. Inilah akibat-akibat susulan dari paham sekularisme yang muncul pada periode renaissance. Sungguh, sekularisme telah melahirkan suatu peradaban dan tatanan baru yang bersemangatkan “pembebasan wilayah publik dari agama.” Lahir pula humanitas baru yang menjadikan materi lebih berharga daripada manusia, humanitas “matter centris”. Akibatnya, manusia sekular modern terjangkit oleh apa yang disebut oleh para pemikir Barat sendiri, dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda, semisal: A. Sorokin mengatakan adanya The Crisis of Our Age, sedangkan Sayyed Hossein Nasser menyebut sebagai nestapa manusia modern. Penyebutan ini merujuk pada adanya alienasi, seperti yang digambarkan oleh Eric Fromm. Selain itu, terjadi juga kekosongan ruhani yang digambarkan oleh Luis Leahy dalam bukunya, Esai Filsafat untuk Masa Kini (1991), atau terjadinya gersang psikologis dalam pandangan Carl Gustave Jung. Dalam hal kemakmuran, perolehan akibat diterapkannya sistem sekularistik-kapitalistik, adalah, sebagaimana dikatakan O. Henry dalam Supply and Demand, “...bencana melanda bumi dengan penumpukan kekayaan demikian cepat, namun tidak memberikan timbal balik apapun…” Memang, percepatan pertumbuhan ekonomi yang diperlihatkan oleh sistem kapitalis demikian mengagumkan, namun dilihat dari sisi distribusi, prestasi kapitalis dalam menimbulkan kesenjangan ekonomi “lebih mengagumkan” lagi. Efek dependensia (kebergantungan) akibat diterapkan sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa dihindarkan. Kekayaan akan terus mengalir dan tersedot ke arah negara-negara kapitalis raksasa serta para pemilik modal. Walhasil, peradaban dunia tengah diancam oleh kehancuran yang lebih mengerikan daripada sekeaar kehancuran fisik. Manusia kini terseret ke arah peradaban matter centris. Humanitas diukur oleh materi, bahkan lebih rendah lagi. Jika paham sekularisme mengklaim ingin mengangkat humanitas manusia, sesungguhnya pada saat yang sama ia telah menghancurkan humanitas itu sendiri. Untuk itu, paham sekularisme-kapitalisme adalah paham yang berbahaya dan harus disingkirkan atas nama humanitas dan keselamatan peradaban manusia. Sekularisasi Di Negeri-Negeri Islam Contoh proses sekularisasi yang paling baik adalah Turki. Sejak kejatuhan Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, di bekas pusat pemerintahan Islam tersebut (Turki) terjadi proses sekularisasi yang memiriskan hati kaum Muslim. Sejak dihapuskannya sistem Kekhilafahan pada tanggal 3 Maret 1924, Kementrian Syariah dan Wakaf dihapuskan. Setelah itu, giliran jabatan Syaikhul Islam dihapuskan dan semua sekolah keagamaan ditutup. Tindakan-tindakan radikal ini telah memancing kemarahan sebagian kaum Muslim. Muncullah perlawanan Kurdi pada bulan Februari 1925 dipimpin oleh Syaikh Said. Namun, perlawanan ini berhasil dipadamkan oleh rezim Kemalis.*1) Untuk mempertahankan posisinya dan untuk mempermudah usahanya mengubah Turki menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Barat, pada tahun 1927 Undang-undang Darurat untuk memelihara ketertiban diperbarui dan diberlakukan sejak tahun 1929. Pada bulan September 1925 rezim Kemalis mengeluarkan sebuah keputusan yang berisikan larangan memakai pakaian agama oleh orang yang tidak memegang jabatan keagamaan. Semua pegawai sipil diwajibkan memakai stelan Barat dan topi. Pada bulan sebelumnya, November 1925 rezim Kemalis juga sudah mengeluarkan keputusan mengenai kewajiban bagi laki-laki untuk memakai topi, sedangkan memakai turbus adalah sebuah kejahatan. Penanggalan Gregorian dipergunakan pada bulan Desember 1925. Kemal menyerang pemakaian cadar oleh wanita.*2) Komite ahli hukum mengambil undang-undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki dan bentuk lengkap undang-undang sipil Turki diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada tanggal 17 Februari 1926 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1926. Undang-undang sipil ini digunakan untuk mengganti undang-undang sipil dari syariah. Poligami dilarang. Perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki kafir diperbolehkan. Semua orang yang sudah dewasa diberi hak untuk mengubah agama mereka, apabila mereka mau.*3) Undang-undang yang diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 November 1928 menjadikan penggunaan tulisan latin bagi bangsa Turki adalah suatu kewajiban.*4) Yang lebih mengerikan lagi adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah Turki pada tahun 1932 untuk mengganti azan dengan bahasa Turki. Keputusan ini disiarkan oleh Kantor Kepresidenan Urusan Agama. Azan versi Turki ini dipersiapkan secara khusus oleh Himpunan Linguistik dan melodinya disetujui oleh Konservatori Musik Nasional, Ankara. Pada tahun 1933, dikeluarkan suatu keputusan yang menyatakan, bahwa azan dengan bahasa Arab adalah sebuah pelanggaran. Keputusan ini membuat kemarahan besar rakyat Turki.*5) Setidaknya, gambaran sekularisasi di Turki telah membuka mata kita untuk meneropong proses sekularisasi di negeri-negeri Islam. Tidak jauh berbeda dengan Turki, hukum-hukum publik Islam, mulai hukum pidana, perdata, pendidikan, ijtimâ‘î (interakasi sosial), waris, dan lain-lain telah dihapuskan sama sekali dalam hukum negara. Meskipun ada sebagian negeri Islam memberlakukan sanksi pidana Islam, dalam aspek-aspek publik lainnya, mereka masih menggunakan aturan-aturan model Barat. Setelah sekularisasi di negeri-negeri Islam, kaum Muslim ternyata tidak malah lebih maju dan bangkit. Mereka terus-menerus mengalami kemunduran dan kelemahan. Keberagamaan mereka hanya direfleksikan dalam wilayah privat. Dari sisi politik, mereka dikuasai dan tidak berdaya menghadapi kekuatan kaum kafir. Singkat kata, sekularisme merupakan sumber kehancuran dan kelemahan kaum Muslim. Tidak hanya itu saja, sekularisme-kapitalisme telah menyeret manusia ke dalam lubang kehancuran yang sangat mengerikan. Jadi, apakah kita masih menambatkan kepercayaan pada paham ini, sementara ia telah menjerumuskan manusia dalam kenistaan, kebodohan, dan kebinasaan?! [] Catatan Kaki: 1. Nutuk, pp. 517-524, dinukil oleh Mohammad Rasyid Feroze, Islam and Secularism in Post-Kemalist Turkey, Islamabad , 1976, p. 86. 2. H.A. Mukti A, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, 1994, Penerbit Djambatan, Jakarta. 3. Feroze, op.cit., p. 87. 4. Cf. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey, London, 1961, p. 479. 5. Op.cit., p. 407-408. Posted by: Redaksi on 01, May 04 | 10:06 am Comment Archives Return to : WEBLOG http://hayatulislam.net/ Untuk mendapatkan artikel-artikel seputar Islam, silahkan kunjungi Hayatul Islam.Net - Menuju Islam Kaffah http://hayatulislam.net --------------------------------- Find local movie times and trailers on Yahoo! Movies. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/