Masihkah Kita Berharap Pada Sekularisme?
Oleh: Syamsuddin Ramadhan
Publikasi 01/05/2004

hayatulislam.net - Sekularisme Dalam Telusur Historis

Dalam konteks historis, kelahiran sekularisme harus dilihat dalam horison sejarah 
feodalisme dan dominasi gereja pada Abad Pertengahan di Eropa (Ernest Troeltsch, The 
Social Theachings of Christian Churches, vol. I, terj. Olive Wyon, New York, 
Macmillan, 1931, hlm. 349). Pada saat itu, struktur masyarakat didominasi oleh kelas 
aristokrat, kaum gereja, dan rakyat rendahan. Kaum bangsawan memegang peranan penting 
sebagai penguasa dan pemilik tanah. Kaum gereja memainkan fungsi dan pemegang otoritas 
religius bagi para penganutnya. Rakyat jelata memerankan diri sebagai penggarap tanah, 
serta “obyek yang terdominasi.” (Thomas F. O’dea, 1994).

Dalam masyarakat Abad Pertengahan, gereja memiliki pengaruh dan peran sentral yang 
sangat penting. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa sebelum abad ke-13, hanya 
pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur, serta prestise 
tertinggi. Adapun pengurus gereja bawahan dan jemaat adalah orang-orang yang tidak 
memiliki pendidikan tinggi dan akses yang leluasa untuk menuju kelas atas. Mereka 
hanyalah partisipan serta masyarakat yang termarginalkan. Di sisi yang lain, hubungan 
antara kaum gereja dan bangsawan, meminjam istilah Troeltsch, terjadi secara timbal 
balik dan tumpang tindih. Pengurus gereja dan biara tinggi kebanyakan adalah para 
bangsawan dan kelas atas. Meskipun gereja membuka peluang mobilisasi kelas bawah 
menuju kelas atas, peluang ini sangat kecil, bahkan nyaris tidak ada. Kenyataan ini 
semakin mengukuhkan dominasi dan hubungan feodalistik-esklusif antara kelas aristokrat 
dan kaum gereja. 
Sekitar abad ke 11, timbul kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat kota. Gejala ini 
kemudian diikuti dengan serentetan protes dan perlawanan sosial menentang dominasi dan 
eksploitasi kaum gereja. Mereka menggugat kaum gereja yang melibatkan diri dalam 
hubungan feodalistik dengan kaum bangsawan, eksploitasi atas nama kekuasaan dan agama, 
serta sikap yang merendahkan rakyat jelata. Protes dan gerakan anti gereja tidak hanya 
muncul di ranah sosial, tetapi juga merambah kawasan biara. Protes bermula dari biara 
Benedict, di Cluniy, yang kemudian dikenal dengan “reformasi Cluniy”. Gerakan ini 
menentang praktik-praktik menyimpang para pendeta, moralitas, serta arogansi kaum 
pendeta di biara. Pada tahun 1073 meletus sebuah peristiwa “pembaharuan 
Hildebrandine”. Perlawanan ini, sama seperti eskalasi lainnya, dilatarbelakangi oleh 
pemberontakan melawan kemapanan dan sikap eksploitatif kaum gereja. Gerakan-gerakan 
inilah yang kemudian menuntut terjadinya proses reformasi dan sekularisasi,
 yaitu pemisahan gereja dengan kekuasaan feodalistik. 

Lahirnya sekularisasi juga dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap dogma-dogma gereja 
yang cenderung memusuhi rasionalitas dan pengetahuan. Pemberangusan gerakan kaum 
rasionalis oleh gereja dengan mengatasnamakan “pembasmian terhadap gerakan heretik 
(bid’ah)” di kemudian hari justru mengakibatkan perubahan radikal struktur masyarakat 
Abad Pertengahan. Lebih dari itu, gerakan ini juga diikuti oleh perubahan-perubahan 
yang menyangkut aspek-aspek idealitas gereja. Gejala-gejala inilah yang oleh Henri 
Pirenne disebut sebagai gejala yang mempercepat terjadinya proses sekularisasi. Senada 
dengan Henri Pirenne, Troelsch, menyatakan bahwa kombinasi antara ketidakpuasaan 
terhadap dominasi gereja yang eksploitatif dan dogma-dogma gereja yang anti 
rasionalitas berujung pada sekularisasi.

Di Prancis Selatan dan Italia Utara terjadi pembantaian besar-besaran gerakan yang 
dianggap heretis oleh gereja. Paus Innocent III, setelah seabad peristiwa ini, 
mengerahkan ribuan pasukan, mesiu, dan pedang untuk membasmi gerakan-gerakan yang anti 
terhadap dogma gereja. Munculnya sekte heretik ini semakin mendorong otoritas gereja 
untuk bersikap keras, bahkan memusuhi pihak-pihak yang ingin mencari pengetahuan, atau 
penggagas pengetahuan rasional yang bertentangan dengan dogma gereja. Misalnya, 
bagaimana St. Bernard yang sangat menentang Abelard dan pengutukan ide-ide Thomas 
Aquinas oleh Sinode gereja Prancis dan Inggris.

Departemen Curia Roma, organ administrasi Paus sebagai penguasa tertinggi gereja 
Katolik Roma, pada tahun 1616 menetapkan dekrit yang menyatakan bahwa tesis 
heliosentrik sebagai ajaran heretik. Dekrit itu juga menyatakan agar Galileo tidak 
lagi menganut dan membicarakan paham heliosentris. Pada tahun 1663, badan penelitian 
gereja atau Holy Office yang bertanggung jawab mempertahankan dan melindungi ortodoksi 
dan dogma gereja memvonis Galileo sebagai kaum heretik, sekaligus menetapkan paham 
heliosentris sebagai paham yang bertentangan dengan isi al-Kitab. (Charles Journet, 
The Church of the Word Incarnate, vol. I, New York: Sheed and Ward, 1955, hlm. 355).

Sebelumnya, penggagas heliosentris, Copernicus, pada tahun 1507, tatkala menyadari 
bahwa gagasannya akan mendapat perlawanan dari kubu geosentris gereja, maka dirinya 
melakukan eksplanasi gagasannya dengan cara yang sangat halus dan waspada. Bahkan, 
gagasan heliosentris, yang kemudian dibukukan dalam karyanya yang berjudul De 
Revolutions, baru diterbitkan 36 tahun kemudian. Pada tahun 1543, buku itu 
diterbitkan, dan pada saat yang sama ia harus berhadapan dengan mahkamah Inkuisisi.

Nasib yang sama juga dialami oleh Giordano Bruno, bahkan ia mendapatkan perlakukan 
yang lebih keji. Karena mengajarkan pluralitas, ia dikejar oleh mahkamah Inkuisisi 
Italia. Bruno akhirnya melarikan diri dan bersembunyi di berbagai negara Eropa. Namun, 
akhirnya ia tertangkap di Venice, Italia, dan dibakar hidup-hidup oleh mahkamah 
Inkuisisi.

Peristiwa-peristiwa ini, semakin mengkristalkan masyarakat Eropa pada abad ke 15-16 
untuk melakukan proses sekularisasi. Abad-abad itu disebut babak kelahiran baru 
(renaissance), atau babak pencerahan Eropa (Europen Enlightment). Dominasi kekuasaan 
dan dogma gereja berhasil diruntuhkan, dan dipinggirkan dalam ranah privat. Ketegangan 
antara rasionalitas dan dogma herestik gereja berakhir dengan dipisahkannya otoritas 
agama (gereja) dari kawasan negara. Sekularisasi semakin menemukan bentuknya pada Abad 
17, bahkan ia telah menempatkan dirinya sebagai dimensi yang sangat penting. 
Penemuan-penemuan serta kelahiran sains dan teknologi merupakan katalisator menuju 
privatisasi gereja. Pada awal Abad 17, di Paris, yang saat itu berpenduduk 300 ribu 
orang, diperkirakan ada sekitar 50 ribu etis. (Erich Frank, Philosophical 
Understanding and Religios Truth, New York: Oxford University Press, 1952, hlm. 5). 
Pada abad ke 18, Eropa Barat semakin sekular. Pada periode ini, Eropa dibasahi oleh
 semangat sekularisme, rasionalisme, dan industrialisasi, yang kelak akan membangun 
peradaban modern Eropa.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa kelahiran sekularisme dilatarbelakangi oleh 
penolakan dominasi dan dogma gereja yang dianggap bertentangan dengan prinsip 
humanitas dan rasionalitas manusia. Semangat baru ini telah mendorong sejumlah teolog 
dan pemikir untuk melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran-ajaran Bibel secara 
lebih radikal, demi proses sekularisasi. Dengan ungkapan lain, sekularisasi merupakan 
konsekuensi logis dari eksistensi dan kelangsungan dogma gereja. 


Definisi Sekularisme

Sekularisme pada awal-awal abad ke-19, sebagaimana doktrin penganjurnya yang pertama, 
C.J. Holyoake, didefinisikan sebagai paham yang menolak eksistensi tatanan sakral dan 
agnostisisme intelektual. (C.J. Holyoake, 1896). Groethyusen mendefinisikan 
sekularisme sebagai usaha untuk memantapkan bidang pengetahuan otonom yang dibersihkan 
dari preposisi-preposisi, fideistik, supranatural, (Groethyusen, 1934).

Pandangan ini mirip dengan konsep laicisasi Prancis (Bosworth, 1962) yang mengandung 
keseluruhan doktrin filosofis yang didasarkan pada pandangan masyarakat dan 
kemanusiaan yang menolak dengan tegas eksistensi yang bersifat religius. Dansette, 
sebagaimana dikutip oleh Bosworth, memandang sekularisme sebagai “peniadaan 
katolikisme dan juru dakwah religi rasionalis yang memasukkan manusia ke dalam 
kedudukan Tuhan.” (Peter E. Glasner, 1992). 

Sedangkan sekularisasi didefinisikan Peter E. Glasner sebagai perubahan dari kendali 
eklesiastik menuju administrasi publik dalam segala aspek social. (Peter E Glasner, 
1992). W. Stark menyebut sekularisasi dengan istilah “pemindahan corpus mysticum dari 
gereja menuju negara.” (W. Stark, 1967). Sekularisasi kadang-kadang juga diartikan 
sebagai ungkapan pemberontakan yang tampak dalam karya seni dan filsafat, melawan 
batasan-batasan teologi. (Hazard, 1953). Salah satu bentuk khas proses sekularisasi 
ini dapat ditemukan dalam perkembangan negara Prancis yang dikenal dengan ‘laicite’. 
W. Bosworth (1962) menyatakan bahwa sekulariasi adalah pemisahan masalah-masalah 
spiritual dari campur tangan negara. Adapun Bryan Wilson melihat sekularisasi sebagai 
proses pelucutan signifikansi sosial pemikiran religius, praktik-praktik dan 
institusi-institusi keagamaan. (Wilson, 1966, xiv).

Dari definisi-definisi di atas bisa disimpulkan bahwa faktor pengenal dari sekularisme 
dan sekularisasi, sebagaimana diungkap dalam penelitian Guy Samson (1968) terhadap 
analisis O’dea, Bellah dan Cox pengarang buku The Secular City, adalah seputar 
hubungan manusia dengan Tuhan. Ia menyatakan, “Bagi Calvin, aktivitas manusia sekular 
dilakukan demi mendapatkan anugerah Tuhan yang lebih besar. Bagi Cox, aktivitas 
manusia sekular Protestan adalah berbagi dengan Tuhan dalam tugas yang umum.” (Guy 
Samson, 1968: 817). 

Dari sini pula kita bisa menetapkan, bahwa baik sekularisme dan sekularisasi, semuanya 
dinafasi oleh renaissance dan enlightment Eropa, yang berspiritkan penolakan peran 
yang sakral di dalam kehidupan (sekularisme). Karena itu, tidak mengherankan jika 
tradisi Barat modern adalah tradisi yang memandang agama sebagai sesuatu yang harus 
dipinggirkan dalam ranah kehidupan sosial. Bagi Barat, peradaban dunia harus 
dibebaskan dari semua hal yang berbau religius, termasuk Islam. Barat lupa, bahwa 
sekularisme merupakan konsekuensi logis dari ajaran Bibel yang tidak lagi otentik dan 
absah. Sebaliknya itu, Islam dengan al-Qurannya tidak pernah mengalami persoalan 
sebagaimana Bibel. Lebih dari itu, al-Qur'an sebagai way of life telah menyediakan 
ruang yang sangat luas untuk hal-hal yang bersifat publik. Al-Qur'an sebagai aturan 
hidup telah mengatur segala aspek kehidupan dengan sangat sempurna dan menyeluruh. 
Kesempurnaan dan kemenyeluruhan al-Qur'an tidak bisa disepadankan dengan Bibel yang
 tidak lagi otentik. 

Walhasil, wacana sekularisasi di negeri-negeri Islam, bukanlah keharusan bagi Islam 
itu sendiri, tetapi lebih sekadar sebagai upaya-upaya politik kaum sekularis untuk 
menghancurkan rival ideologisnya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Islam tidak 
pernah mengenal konsep pemisahan agama dari kehidupan atau negara. Agama dan negara 
adalah dua sisi kembar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sedangkan 
sekularisme bagi agama Kristen memang sebuah keharusan. Sebab, dogma gereja justru 
bertentangan dan menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya itu 
saja, peran gereja dalam wilayah negara telah menjadikan kerajaan-kerajaan 
Eropa—sebelum periode pencerahan—sebagai negara teokrasi yang melakukan penindasan 
terhadap rakyat dengan mengatasnamakan perintah Tuhan. Untuk itu, agama Kristen harus 
dipisahkan dari kehidupan negara. Ia harus dipinggirkan dalam wilayah-wilayah privat 
dan campur tangannya dalam urusan Negara harus ditolak. Sebagaimana diungkap oleh 
Gabriel
 Vahanian, seorang teologi-ne calvinis, “sekular adalah keharusan seorang Kristiani.”


Dampak Susulan Setelah Renaissance

Periode renaissance—dengan semangat menolak religiusitas—telah menimbulkan reaksi 
rantai yang sangat hebat dan tidak bisa dikendalikan. Hampir di seluruh kehidupan 
terjadi perubahan radikal dan menimbulkan efek contagion. Lahirlah teolog-teolog 
dengan gagasan liberal yang berusaha menempatkan agama di wilayah privat serta 
membebaskan dunia dari agnostisisme intelektual. Tidak terhenti di situ saja, kaum 
filosof mulai membincangkan gagasan sekularisme dengan mainframe isu “Kematian Tuhan”, 
rasionalisme, dan keadilan. God is dead. Tuhan telah mati! Jargon kematian tuhan, 
peradaban yang antroposentris (berpusat pada manusia), materialisme, humanisme, 
eksistensialisme, rasionalisme, pragmatisme, dan sebagainya merupakan dampak susulan 
dari proses sekularisasi pada Abad Pertengahan. 

Dengan kata lain, paham sekularisme telah membangun serangkaian gagasan-gagasan yang 
bermuara pada semangat pembebasan dunia dari hal-hal yang sakral (agama). Lebih dari 
itu, sekularisme yang terjadi para periode renaissance dipercaya sebagai tonggak 
ideologis bagi masyarakat Eropa Modern. Muncullah peradaban baru Eropa yang didasarkan 
pada sebuah humanitas baru. Humanitas itu, menurut St Simon dan Comte adalah humanitas 
yang didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat harus diorganisasi di atas basis 
rasional. 

Di bidang ekonomi, sekularisme telah melahirkan kapitalisme. Di bidang teologi 
sekularisme telah melahirkan filsafat “kematian tuhan” dan “filsafat materialisme” 
yang cenderung anti Tuhan (ateisme). Lihatlah, betapa sinisnya Feurbach berkomentar 
terhadap keberadaan Tuhan, “Bukanlah Tuhan yang menciptakan Yesus, tetapi Yesuslah 
yang menciptakan Tuhan.” Dia ingin menyatakan bahwa Tuhan itu adalah hal-hal imajiner 
yang lahir dari ide atau pengetahuan manusia. Ketika manusia memikirkan Tuhan, maka 
tuhan akan eksis. Sebaliknya, ketika dirinya tidak memikirkan tuhan, maka tuhan itu 
tidak ada. Teori Feurbach lain, yang di kemudian hari sangat mempengaruhi Karl Marx, 
adalah teori tentang alienasi manusia terhadap dirinya. Teori ini diadopsi oleh Karl 
Marx untuk menyerang agama dan paham kapitalisme. Di bidang pemerintahan, lahirlah 
paham demokrasi, yang ditujukan untuk membatasi wewenang absolut raja. Kemunculan 
demokrasi lebih ditujukan untuk menciptakan keadilan dan kedaulatan rakyat.
 Prinsip, egalite, fraternite, dan liberte, telah mendorong lahirnya rezim demokratik 
yang ujung-ujungnya juga tidak bisa menafikan penindasan dan eksploitasi oleh penguasa.

Inilah akibat-akibat susulan dari paham sekularisme yang muncul pada periode 
renaissance. Sungguh, sekularisme telah melahirkan suatu peradaban dan tatanan baru 
yang bersemangatkan “pembebasan wilayah publik dari agama.” Lahir pula humanitas baru 
yang menjadikan materi lebih berharga daripada manusia, humanitas “matter centris”. 
Akibatnya, manusia sekular modern terjangkit oleh apa yang disebut oleh para pemikir 
Barat sendiri, dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda, semisal: A. Sorokin mengatakan 
adanya The Crisis of Our Age, sedangkan Sayyed Hossein Nasser menyebut sebagai nestapa 
manusia modern. Penyebutan ini merujuk pada adanya alienasi, seperti yang digambarkan 
oleh Eric Fromm. Selain itu, terjadi juga kekosongan ruhani yang digambarkan oleh Luis 
Leahy dalam bukunya, Esai Filsafat untuk Masa Kini (1991), atau terjadinya gersang 
psikologis dalam pandangan Carl Gustave Jung.

Dalam hal kemakmuran, perolehan akibat diterapkannya sistem sekularistik-kapitalistik, 
adalah, sebagaimana dikatakan O. Henry dalam Supply and Demand, “...bencana melanda 
bumi dengan penumpukan kekayaan demikian cepat, namun tidak memberikan timbal balik 
apapun…” Memang, percepatan pertumbuhan ekonomi yang diperlihatkan oleh sistem 
kapitalis demikian mengagumkan, namun dilihat dari sisi distribusi, prestasi kapitalis 
dalam menimbulkan kesenjangan ekonomi “lebih mengagumkan” lagi. Efek dependensia 
(kebergantungan) akibat diterapkan sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa 
dihindarkan. Kekayaan akan terus mengalir dan tersedot ke arah negara-negara kapitalis 
raksasa serta para pemilik modal.

Walhasil, peradaban dunia tengah diancam oleh kehancuran yang lebih mengerikan 
daripada sekeaar kehancuran fisik. Manusia kini terseret ke arah peradaban matter 
centris. Humanitas diukur oleh materi, bahkan lebih rendah lagi. Jika paham 
sekularisme mengklaim ingin mengangkat humanitas manusia, sesungguhnya pada saat yang 
sama ia telah menghancurkan humanitas itu sendiri. Untuk itu, paham 
sekularisme-kapitalisme adalah paham yang berbahaya dan harus disingkirkan atas nama 
humanitas dan keselamatan peradaban manusia.


Sekularisasi Di Negeri-Negeri Islam

Contoh proses sekularisasi yang paling baik adalah Turki. Sejak kejatuhan Khilafah 
Islamiyah pada tahun 1924, di bekas pusat pemerintahan Islam tersebut (Turki) terjadi 
proses sekularisasi yang memiriskan hati kaum Muslim. Sejak dihapuskannya sistem 
Kekhilafahan pada tanggal 3 Maret 1924, Kementrian Syariah dan Wakaf dihapuskan. 
Setelah itu, giliran jabatan Syaikhul Islam dihapuskan dan semua sekolah keagamaan 
ditutup. Tindakan-tindakan radikal ini telah memancing kemarahan sebagian kaum Muslim. 
Muncullah perlawanan Kurdi pada bulan Februari 1925 dipimpin oleh Syaikh Said. Namun, 
perlawanan ini berhasil dipadamkan oleh rezim Kemalis.*1)

Untuk mempertahankan posisinya dan untuk mempermudah usahanya mengubah Turki menjadi 
bagian tak terpisahkan dari peradaban Barat, pada tahun 1927 Undang-undang Darurat 
untuk memelihara ketertiban diperbarui dan diberlakukan sejak tahun 1929. Pada bulan 
September 1925 rezim Kemalis mengeluarkan sebuah keputusan yang berisikan larangan 
memakai pakaian agama oleh orang yang tidak memegang jabatan keagamaan. Semua pegawai 
sipil diwajibkan memakai stelan Barat dan topi. Pada bulan sebelumnya, November 1925 
rezim Kemalis juga sudah mengeluarkan keputusan mengenai kewajiban bagi laki-laki 
untuk memakai topi, sedangkan memakai turbus adalah sebuah kejahatan. Penanggalan 
Gregorian dipergunakan pada bulan Desember 1925. Kemal menyerang pemakaian cadar oleh 
wanita.*2)

Komite ahli hukum mengambil undang-undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum 
di Turki dan bentuk lengkap undang-undang sipil Turki diputuskan oleh Dewan Nasional 
Agung pada tanggal 17 Februari 1926 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1926. 
Undang-undang sipil ini digunakan untuk mengganti undang-undang sipil dari syariah. 
Poligami dilarang. Perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki kafir diperbolehkan. 
Semua orang yang sudah dewasa diberi hak untuk mengubah agama mereka, apabila mereka 
mau.*3)

Undang-undang yang diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 November 1928 
menjadikan penggunaan tulisan latin bagi bangsa Turki adalah suatu kewajiban.*4) Yang 
lebih mengerikan lagi adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah Turki pada 
tahun 1932 untuk mengganti azan dengan bahasa Turki. Keputusan ini disiarkan oleh 
Kantor Kepresidenan Urusan Agama. Azan versi Turki ini dipersiapkan secara khusus oleh 
Himpunan Linguistik dan melodinya disetujui oleh Konservatori Musik Nasional, Ankara. 
Pada tahun 1933, dikeluarkan suatu keputusan yang menyatakan, bahwa azan dengan bahasa 
Arab adalah sebuah pelanggaran. Keputusan ini membuat kemarahan besar rakyat Turki.*5)

Setidaknya, gambaran sekularisasi di Turki telah membuka mata kita untuk meneropong 
proses sekularisasi di negeri-negeri Islam. Tidak jauh berbeda dengan Turki, 
hukum-hukum publik Islam, mulai hukum pidana, perdata, pendidikan, ijtimâ‘î 
(interakasi sosial), waris, dan lain-lain telah dihapuskan sama sekali dalam hukum 
negara. Meskipun ada sebagian negeri Islam memberlakukan sanksi pidana Islam, dalam 
aspek-aspek publik lainnya, mereka masih menggunakan aturan-aturan model Barat.

Setelah sekularisasi di negeri-negeri Islam, kaum Muslim ternyata tidak malah lebih 
maju dan bangkit. Mereka terus-menerus mengalami kemunduran dan kelemahan. 
Keberagamaan mereka hanya direfleksikan dalam wilayah privat. Dari sisi politik, 
mereka dikuasai dan tidak berdaya menghadapi kekuatan kaum kafir. Singkat kata, 
sekularisme merupakan sumber kehancuran dan kelemahan kaum Muslim. Tidak hanya itu 
saja, sekularisme-kapitalisme telah menyeret manusia ke dalam lubang kehancuran yang 
sangat mengerikan. 

Jadi, apakah kita masih menambatkan kepercayaan pada paham ini, sementara ia telah 
menjerumuskan manusia dalam kenistaan, kebodohan, dan kebinasaan?! []


Catatan Kaki:

1. Nutuk, pp. 517-524, dinukil oleh Mohammad Rasyid Feroze, Islam and Secularism in 
Post-Kemalist Turkey, Islamabad , 1976, p. 86.

2. H.A. Mukti A, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, 1994, Penerbit Djambatan, 
Jakarta.

3. Feroze, op.cit., p. 87.

4. Cf. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey, London, 1961, p. 479.

5. Op.cit., p. 407-408. 
Posted by: Redaksi on 01, May 04 | 10:06 am
Comment Archives
Return to : WEBLOG

http://hayatulislam.net/



Untuk mendapatkan artikel-artikel seputar Islam, silahkan kunjungi Hayatul Islam.Net - 
Menuju Islam Kaffah http://hayatulislam.net



---------------------------------
Find local movie times and trailers on Yahoo! Movies.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke