Huru-hara Pertengahan Mei

TIDAK ada hari ini, juga tak ada hari esok bagi
masalah pengambinghitaman keturunan Cina di Indonesia.
Yang ada hanyalah kemarin, yang berulang lagi terus
menerus setiap masa. Persoalannya selalu sama, itu-itu
juga. Dalam kerusuhan apa pun, warga keturunan Cina
akan menjadi korban sasaran amukan rakyat banyak.
Bakar, kejar, rampok, jarah, dan viktimisasi etnis
Cina sudah menjadi pola, hampir di sepanjang sejarah
bangsa ini, mulai dari abad ke-18 di zaman kolonial
dulu. Terakhir, menyusul peristiwa penembakan
mahasiswa Trisakti, tanggal 13 ,14, dan 15 Mei, di
Jakarta, semacam holocaust skala Melayu terjadi:
penjarahan dan penghangusan ratusan bangunan milik
"non-pribumi" diikuti dengan keberingasan dan
pemerkosaan yang bukan saja melanggar perikemanusiaan,
tetapi juga di luar semua ajaran masyarakat yang
beradab. 
Bagaimana kita harus menghadapi "masalah Cina"
Indonesia ini? Retorika tidak bisa banyak menolong.
Setiap selesai keributan anti-Cina, ratusan kertas
prasaran untuk diskusi dan seminar dibuat; yayasan,
asosiasi, atau badan-badan kontak, komunikasi, usaha
asimilasi, dan sejenisnya didirikan--terutama sejak
peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung. Tetapi, tak urung,
pada Mei 1998, di Medan, Jakarta, dan Solo, peristiwa
sama terulang lagi, dalam ukuran yang jauh lebih
besar. Apa yang salah? 

Satu hal yang pasti tidak berguna kalau ingin mencari
jalan keluar ialah mempertahankan kemunafikan. Istilah
Cina saja, misalnya, telah dijadikan isu yang rumit
karena dianggap mengandung makna makian yang
merendahkan, derogatori. Karenanya, akhir-akhir ini
warga keturunan lebih senang memakai sebutan "cainis"
(dari bahasa Inggris Chinese, yang artinya orang Cina
juga). Sebaliknya, dari kalangan keturunan Cina bukan
tidak ada sebutan derogatori yang dialamatkan bagi
warga pribumi, ti-ko misalnya, yang arti harfiahnya
berasosiasi dengan makhluk bukan manusia. Atau, hwa-na
yang artinya orang asing, dengan konotasi berbudaya
kasar. Jadi, harus diakui, memandang dengan stereotip
dan berprasangka etnis itu memang bukan cuma jalan
satu arah. Ada prasangka, ada ketegangan. Ketegangan
yang tak tersalur bisa jadi ledakan. 

Bagaimana caranya menerima kenyataan adanya prasangka
timbal-balik dalam masyarakat kita ini? Ada cara
gampang, ada cara yang kompleks. Yang tidak ingin
bersusah-susah tidak merasa perlu memikirkan jalan
untuk menghapus prasangka dan perbedaan, atau
mengusahakan pembauran. Perbedaan ini tidak perlu
dihapus karena memang tak mungkin berubah. Tetapi
sekalipun begitu, bagi Pak Harto dan Mbak Tutut ketika
masih berkuasa, warga keturunan Cina adalah kelompok
yang wajib memberi sumbangan--kalau tidak ingin
mengalami kesulitan hubungan antaretnis nantinya.
Dengan kata lain, kalau mau selamat dari risiko
ledakan ketegangan, bayarlah. Sederhana saja. Dan,
memang itu tidak terlalu salah rupanya. Dalam
huru-hara penjarahan dan penghangusan 14 Mei yang lalu
di Jakarta, kompleks Pondok Indah dan Kelapa Gading
sama sekali tidak tersentuh sedikit pun. Konon
kabarnya karena penghuni kompleks itu cukup membayar
pasukan keamanan. Kesimpulannya: korban tak terjadi
atau bisa dibatasi kalau ada perlindungan. Tetapi,
kalau harus dibeli, itu semacam diskriminasi juga,
karena hanya yang punya uang yang bisa dilindungi. 

Sama di Muka Hukum 

Yang lebih kompleks pendekatannya mencoba memasukkan
aspek sosiohistorikal kedudukan warga keturunan Cina
di Indonesia. Selama ratusan tahun telah terjadi
migrasi dari utara dan pemukiman orang-orang
Cina--semacam invasi diam-diam dan berangsur-angsur
yang tak mungkin diputar balik lagi--bukan saja di
sini, tetapi meluas di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Di setiap wilayah, yang sekarang masing-masing telah
berbentuk negara, semacam eksistensi bersama antara
keturunan Cina dan penduduk "asli" telah berlangsung.
Tidak semuanya berjalan lancar, apalagi bebas dari
ketegangan. Tetapi, tak ada pilihan lain. Di tempat
yang pembaurannya kurang berhasil, seperti di sini,
suatu andalan untuk mengatur kehidupan bersama ialah
melalui hukum. Jelasnya: persamaan kedudukan di depan
hukum. Tetapi, di sini justru letak kompleksitas
masalahnya: apakah hukum mampu melindungi? 

Hukum berjalan ketika hak dihargai. Akan halnya hak
adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh. Dengan kata lain, hukum hanya mampu
berfungsi kalau pasal-pasal peraturannya didesak untuk
dijalankan. Persamaan hak sipil bagi kulit hitam di
Amerika Serikat tahun 1960-an dicapai dengan
perjuangan sengit dan memiliki deretan martir
pemimpinnya: mulai dari Martin Luther King sampai
Malcolm X. Terbayangkah, misalnya, ada gerakan massal
warga keturunan Cina, dibantu oleh warga lain yang
berpikiran maju di Indonesia, menuntut agar pemerintah
yang lalu dihukum karena melakukan, mengatur, dan
membiarkan praktik-praktik diskriminasi terhadap warga
negaranya selama ini? 

Untuk kali ini, kita tidak perlu menggunakan
pendekatan yang kompleks maupun yang menggampangkan.
Tetapi, di antara keduanya yakni tidak berlagak
menyelesaikan seluruh soal, tapi menanggulanginya
secara praktis. Pertama, kita harus menuntut agar
peristiwa kerusuhan dan penganiayaan sekitar 14 Mei
diusut sampai seterang-terangnya. Seperti kata relawan
Romo Sandyawan: perjuangan sekarang adalah
mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya (lihat
halaman 30). Kedua, menuntut pemerintah dan aparat
keamanan untuk bertanggung jawab atas kegagalan total
menjaga dan melindungi warganya. Ketiga, agar semua
bentuk praktik diskriminasi yang dilakukan melalui
administrasi pemerintahan dihapuskan seketika.
Keempat, agar setiap praktik diskriminasi atas dasar
prasangka etnis atau apa pun yang melecehkan asas
persamaan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan
diberi sanksi yang efektif. 

Dengan proyek minimum ini, kita tidak akan bisa
melenyapkan prasangka etnis. Tetapi, tanpa ini, kita
mungkin akan menyaksikan hari kemarin yang mengulangi
dirinya lagi, berkali-kali. 

Majalah D&R, 20 Juni 1998 

--
Wawancara dengan Romo Sandyawan

Sebenarnya, ia adalah bapak dan pelindung anak-anak
jalanan. Tapi, Romo Sandi, begitulah Romo Ignatius
Sandyawan Sumardi, S.J., dipanggil, menjadi populer
karena politik. Jelasnya, ia didakwa terlibat langsung
atau tak langsung dalm kasus politik: ia diinterogasi,
diadili (dan bebas) karena didakwa melindungi aktivis
Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didengungkan
menjadi pelaku Peristiwa 27 Juli 1996.

Kini, setelah kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta, Romo
Sandi kembali muncul di tengah penderitaan. Ia menjadi
salah satu motor pendirian posko-posko Tim
Relawan sejak demonstrasi mahasiswa marak, muncul
kerusuhan dan akibatnya. Hasil kerja posko-posko
itulah yang ia beberkan di depan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), dua pekan lalu. Meskipun
sudah menjadi omongan masyarakat, tetap saja data dan
cerita yang dituturkan Romo Sandi mengejutkan: jumlah
korban yang _dibakar_ dan penderitaan korban
pemerkosaan.

Berikut wawancara wartawan D&R, Josephus Primus dan
Seno Joko Suyono, dengan pengagum Mahatma Gandhi ini
di kantornya, Institut Sosial Jakarta, di kawasan
Cawang, Jakarta Timur -- kawasan yang juga marak
dengan kerusuhan Mei lalu itu:

** MINGGUAN D&R: Ada perbedaan jumlah korban kerusuhan
versi pemerintah dan perhitungan romo yang mencapai
1000 itu ...

** ROMO SANDYAWAN SUMARDI: Sampai di-update 7 Juni
saja, jumlah yang dibakar sudah 1.193 orang. Yang
ditembak 25 orang; hilang 32 orang; luka berat 63
orang, dan luka ringan 18 orang. Memang, saya
menyebutkan korban _dibakar_. Ini pernah menjadi
perdebatan kami waktu kami pertama kali membawa data
awal ini ke Komnas HAM. Waktu itu, B.N. Marbun
mengatakan, "kok, ini banyak sekali! Kalau membuat
data, yang benar. Kok, bisa banyak sekali? Lalu, kok
_dibakar_? Yang betul kan _terbakar_."

Saya bilang, "Bapak bisa menyatakan begitu, punya data
alternatif atau kontra-data, enggak? Kalau sekadar
memberi komentar sebelum membaca, ya,
saya kira nilainya ... ya ..." Ternyata benar. Komisi
nasional itu belum membuat penelitian apa-apa.

Lepas dari itu, soal _dibakar_ tadi kelihatan dari
pengalaman kami mendata. Yaitu, berdasarkan pengalaman
pembentukan tim pencari fakta dari Tim Relawan
menolong korban insiden berdarah 27 Juli dua tahun
lalu.

Pengalaman gerakan kemanusiaan seperti Tim Relawan
adalah pengalaman eksistensial ketika kami berhadapan
dengan politik penggelapan fakta korban. Itu polanya
sama seperti dalam insiden berdarah Tanjungpriok,
Aceh, Madura, dan Lampung. Termasuk juga di Medan,
Irian Jaya, dan Timor Timur, begitulah. Insiden
antar-etnis di Kalimantan Barat yang ribuan korbannya
juga sama seperti itu. Ada yang dihapus sekian persen.

Berdasarkan pengalaman itu, lemah posisi tawar Komnas
HAM di hadapan menteri bidang politik dan keamanan
waktu itu yang melakukan tekanan. Dengan demikian,
Komnas HAM takut mengungkap apa adanya. Kami sejak
awal sudah melakukan investigasi, bahkan hadir di
lokasi-lokasi potensi kerusuhan karena kami ikut
terlibat dalam pekerjaan ini. Kami tidak ingin
mengulangi kegagalan kami yang lalu.

** D&R: Apa yang Romo maksud dengan kegagalan itu?

** RSS: Bukan hanya gagal mengungkapkan data korban
yang sebenarnya, bahkan kami sendiri digilas oleh
politik kambing hitam. Saya dituduh jadi aktor
intelektual Partai Rakyat Demokratik, yang dituduh
menjadi pelaku utama Kerusuhan 27 Juli 1996.
Sebenarnya, itu sesuatu yang sudah diperingatkan
oleh Palang Merah Internasional waktu itu: "Pemerintah
dan tentara ingin menutup masalah ini, Bapak mau
membongkarnya. Pasti sekarang akan dapat kesulitan!"
Ternyata benar. Tempo hari, saya mendapat intimidasi
dan sebagainya.

** D&R: Sejak kapan Tim Relawan hadir?

** RSS: Kami hadir sejak penembakan mahasiswa di
Trisakti. Kami menginvestigasi korban. Kami juga
banyak dibantu oleh wartawan, oleh aktivis. Bahkan,
ada juga dokter dan perawat yang ikut mendata
sekaligus menolong korban.

Sebagai gerakan, kami ini kan gerakan yang independen,
nonsektarian, dan nonpartisan, yang hadir sebagai
spektrum berwajah palang merah. Gerakan ini
mulai dari bentuk yang paling karitatif, di bidang
medis. Selain membantu soal logistik, makanan, dan
sebagainya, juga memberikan pelayanan kejernihan
informasi dan investigasi. Sebab, politik desas-desus
ini hanya bisa dilawan dengan akurasi data dan
informasi yang jernih.

Lalu, juga dengan litigasi. Meskipun pada saaat
kerusuhan kami belum langsung bicara, untuk 'back up'
selanjutnya dalam pembelaan, itu penting. Bahkan, kami
temukan saksi pelaku.

** D&R: Bisa Romo ceritakan kisahnya?

** RSS: Kami kan berserak di tiap-tiap posko bantuan
relawan. Sekarang, ada 16 buah tersebar di Jakarat. Di
depan sebuah kantor aparat keamanan, keluar
seseorang yang kepalanya -- di dekat mata -- hancur,
gigi rontok, dan jalannya oleng karena teler. Waktu
itu, instink kami menebak: pasti ada sesuatu.

Kami tolong dulu dia secara medis. Kelihatannya, kok,
agak aneh omongannya. Kami bawa ke posko, lalu kami
beri makan, kopi, dan rokok. Mulailah dia ngomong.

Yang jelas, kata-kata indoktrinatif penuh. Lalu juga,
dia menggunakan setidak-tidaknya tiga nama sandi. Dia
masih hafal siapa itu instrukturnya. Tapi, yang lebih
tegas lagi, kalau ditanya siapa yang menyuruh, dia
bisa sebutkan -- tentu, yang menyuruh sebenarnya.
Meskipun kacau, kesadarannya akan tempat dan waktu
masih baik. Dia mengaku dilatih dua minggu di suatu
tempat di daerah Cilangkap (Jakarta Timur). Lalu,
disiapkan sebuah peta.

Dia mengatakan bahwa dia dalam satu grup beranggotakan
delapan orang. Dialah satu-satunya yang hidup di
antara delapan orang yang ditugasi membakar Plaza
Jatinegara (Jakarta Timur).

** D&R: Anda katakan kerusuhan, pembakaran, dan
penjarahan seperti tadi memang ada polanya?

** RSS: Dari data korban yang terserak terungkap bahwa
massa yang bergerak itu "massa kampung" yang sudah
"dipukul" oleh kondisi ekonomi yang parah
karena krisis. Dan, kesenjangan itu ada, bukan suatu
potensi yang dibuat-buat. Selanjutnya, ada cerita
bahwa demonstrasi mahasiswa "digebuk" dan ditembak.

Jadi, massa kampung memang sudah marah. Dengan kondisi
seperti itu mereka didekati oleh yang kami istilahkan
"para provokator". Disebarkan desas-desus. Mungkin,
pers dan media elektronik juga terlibat.

** D&R: Maksudnya?

** RSS: Desas-desus itu ternyata begitu sistematis
jenis penyebarannya.Tapi, kami belum melakukan
penelitian. Kami sedang bertanya, apakah benar ada
beberapa stasiun televisi swasta "disandera" untuk
memaksakan suatu agenda berita masuk. Karena hal itu
ada korelasinya dengan desas-desus yang membuat
masyarakat makin panas tapi juga menjadi takut sekali.
Jadi, reaktif.

Tanggal 13 atau 14 Mei adalah saat-saat mulai turunnya
kelompok-kelompok yang dipersiapkan. Mereka bisa
memakai sepeda motor untuk Toserba Yogya,
Klender (Jakarta Timur). Mereka membawa bom-bom
molotov [bom bensin/hh] pakai botol-botol bekas air
mineral. Ada yang pakai seragam sekolah putih
abu-abu tapi berwajah tua-tua. Ada yang bertampang
preman biasa. Tapi, ada yang berambut cepak dan
bersepatu lars juga. Umumnya, di belakang pinggang
mereka ada semacam alat, entah apa itu, tapi dibungkus
koran.

Lalu, mereka memulai dengan menbakar ban-ban mobil dan
kayu-kayu di jalan. Ini untuk menarik dan mengeluarkan
massa dari kampung-kampung. Dan, benar,
di sekitar sini pun terjadi.

Memang, massa keluar. Mulailah yel-yel anti-Cina dan
teriakan-teriakan. Yang paling fenomenal, di
depan-depan pusat-pusat pertokoan -- seperti Plaza
Jatinegara, Plaza Ciledug (Tangerang), dan Toserba
Yogya -- para provokator itu masuk dulu dan menguasai
gedung. Lalu, empat-lima orang dari mereka mulai
mengambili barang-barang dan menunjukkan kepada massa
betapa mudahnya mendapatkan itu.

Tentu saja, setelah dua-tiga kali itu dilakukan, massa
kan tertarik -- massa yang miskin, kaum urban,
orang-orang muda tanggung, dan remaja-remaja.
Mereka naik ke situ. Pada saat itu ada aparat keamanan
di tempat. Tapi, mereka mendorong dan mengatakan,
"Silakan! Silakan! Ambil saja, enggak usah
ragu-ragu!"

Naiklah mereka ke lantai atas. Setelah banyak orang
ada di situ, ada saksi yang melihat, aparat keamanan
menembakkan gas air mata. Sesudah itu ada yang
menutup pintu dan membakar gedung.

Jadi, mereka, orang kampung, semula tidak bermaksud
mengambil barang apa-apa. Tapi, mereka diledek. Saya
kira, secara moral bukan salah mereka. Kalau mereka
miskin sekali, lalu diledek, begitu gampang kan mereka
tertarik.

Di Plaza Jatinegara, para provokator itu menbawa
jeriken-jeriken berisi minyak. Dengan demikian, memang
agak aneh, seperti di Toserba Yogya juga,
bahwa kobaran api begitu cepat. Bahkan, menurut saksi
mata, mereka naik ke atas gedung dan menyirami gedung
dengan minyak tadi. Waktu itu ada yang melarang,
"Jangan, di atas masih banyak orang!" Tapi, mereka itu
enggak peduli. Begitu menyalakan api, mereka pergi.
Pembantaian massal itu!

Dalam keadaan panik seperti di Plaza Jatinegara,
menurut saksi mata, mereka yang berhasil meloloskan
diri dari kepungan asap dan kobaran api lewat jalan
menyusur dari atas, ditembak oleh penembak yang
bersembunyi (sniper).

** D&R: Siapa di balik semua ini menurut dugaan Romo?

** RSS: Sulit! Terus terang, saya yang terlibat dalam
proses investigasi ini tak bisa membuat suatu dugaan.
Ada saksi yang bilang, kelompok provokator itu
menumpang truk: dan beberapa truk itu milik militer.

Ada anggota masyarakat yang mencoba menelpon pemadam
kebakaran, ambulans, dan aparat keamanan justru malah
dilecehkan. Malah ada yang mengatakan, "Mati kau!"

Saya sendiri menerima tiga telpon dari orang yang
dalam proses dibakar, satu dari telepon genggam. Saya
mendengar kayu-kayu berjatuhan karena kobaran
api. "Romo, doakan, kami semua sendang dibunuh!"

Ini sesuatu yang sulit bagi saya karena tidak melihat
langsung. Mau berbuat apa? Ada yang panik dan minta
tolong memanggilkan Panglima ABRI atau apa.
Karena, mereka melihat aparat keamanan tidak berbuat
apa-apa.

** D&R: Identifikasi korban sejauh mana?

** RSS: Sebagian besar dari mereka adalah kaum miskin
urban. Lalu orang muda dan remaja. Juga sebagian
adalah etnik Cina yang kebanyakan juga korban yang
dijarah barang-barangnya. Tapi, yang paling parah
terutama yang etnik Cina perempuan. Mereka menjadi
korban pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kalau
mendengar ceritanya, mengerikan sekali. Ada satu
keluarga dengan tiga orang perempuan. Cerita kakaknya,
dua adiknya lebih dulu diperkosa pada saat
kobaran api. Salah seorang, setelah diperkosa,
ditendang terjerembab ke dalam api. Kejadian itu
terjadi di depan mata keluarganya. Lalu, gantian,
kakaknya diperkosa.

Ada juga yang diperkosa di bus. Pendek kata, itu
banyak terjadi. Memang, kita belum ada data pasti.
Tapi, pasti lebih dari 40 orang yang diperkosa.
Yang jelas, untuk jenis korban seperti itu,
pendampingannya lain. Korban pemerkosaan jangan
dibiarkan mengingat kembali si pelaku. Kalau
pemerkosaan satu-satu dalam kasus biasa, mungkin bisa.
Tapi, ini sebuah perlakuan brutal. Anak perempuan 12
tahun diperkosa tujuh-delapan orang, lalu penuh
cakaran di dada. Ini kan seperti hewan.

** D&R: Adakah dugaan, mengapa yang dibakar
tempat-tempat seperti Toserba Yogya di Klender dan
Plaza Jatinegara?

** RSS: Terus terang, kami belum sampai ke situ. Tapi,
sekali lagi, ini dugaan. Tempat itu adalah
simbol-simbol yang dipilih. Kami memang bisa
membedakan antara sasaran yang dipilih provokator dan
sasaran massa lain. Biasanya, massa lebih memilih yang
simbolnya memang menimbulkan kesenjangan.
Akan halnya provokator memilih sasaran strategis dan
dibakar hampir bersamaan. Dengan demikian, kejadian
ini bisa berlangsung serentak di seluruh Jakarta, di
pusat-pusat kegiatan besar.

** D&R: Menurut Romo, apa yang sebenarnya terjadi?

** RSS: Saya melihat bahwa rezim Soeharto masih terus
"bermain" dengan ini. Karena, para intelijen yang
hadir masih yang itu-itu juga. Yang jelas,
tampaknya dengan ini mereka mau menghentikan atau
membuat 'kejutan' gerakan mahasiswa yang secara
simultan dan terang-terangan sangat efektif mengepung
kekuasaan. Dan, ini kan juga merupakan peluang bagi
militer untuk tampil lagi sebagai pahlawan.

Tapi, ini menjadi sulit dibaca kalau kita lihat dalam
konteks politik internasional, keterlibatan
negara-negara besar. Wartawan Amerika mengeluarkan
data dari Pentagon tentang adanya kerja sama antara
militer
Amerika dan Indonesia dalam bentuk pelatihan, menjaga
sidang umum MPR, melawan kaum miskin urban, dan
menghantam mahasisa.

Jadi, sangat tidak konsisten suara-suara dari para
senator dalam Kongres Amerika yang membela hak asasi
manusia. Dari ketidakkonsistenan itu, apakah ada
hubungannya dengan kejadian-kejadian ini, ya, itu bisa
dicari.

Ada yang mengatakan, ini atas nama isu nasionalisasi
dari warga negara asing, seperti Cina dan juga
Amerika, dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Tapi,
ini juga tidak konsisten karena perusahaan-perusahaan
yang dekat dengan rezim dahulu tetap selamat, pada
umumnya.

** D&R: Tapi, seperti di Matraman, mobil Timor pun
dibakar ...?

** RSS: Kalau yang dari keluarga Presiden memang iya.
Tapi, beberapa jaringan konglomerat Cina tidak
tersentuh. Memang, ada faktor yang sulit ditentukan
jika sudah ada percampuran antara provokator dan massa
yang sengaja.

** D&R: Lebih dramatis mana dengan Kerusuhan 27 Juli
dalam pandangan Romo?

** RSS: Jauh lebih dramatis sekarang ini. Ini
merupakan sebuah pornografi politik yang paling
mengerikan. Korbannya begitu banyak, sangat dramatis
dari segi cara, metode, dan dari segi ketidakpedulian
pada kondisi psikologis korban. Coba masuk ke kamar
mayat. Pada waktu itu, ada 970 mayat di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo. Kami masuk ke sana langsung
pusing. Bukan karena bau, tapi kenangan betapa
berdarahnya rezim ini. Itulah yang membuat kami pusing
betul.

Saya biasa menolong pemulung yagn sakit dan mati
karena TBC ... bau dahaknya itu. Juga, menolong anak
jalanan yang kakinya "bubulen" [borok bernanah],
saya sudah biasa. Tapi, melihat jumlah mayat yang
demikian banyak dan mati terbakar, setengah matang,
itu yang sulit dicerna.

Negara kita ini berbentuk piramidal. Ada konflik
intra-elite di atas; entah gajah itu gelut atau
bercinta, ya, yang di bawah, rakyat, yang
keinjak-injak. Terbukti, mayoritas yang menjadi korban
adalah orang-orang miskin. Contohnya, Martin yang mati
di Gramedia, Matraman. Rumahnya di
Kramat Sentiong sudah seperti kotak-kotak rokok.
Ibunya mengeluh karena bapaknya, kok, malah pergi.
Ternyata, waktu saya bertanya kepada tetangganya,
bapaknya pergi karena tak setabah ibunya. Bapaknya
enggak tahan mendapat kejadian seperti itu.

Sudah tujuh orang datang ke saya. Mereka mengalami
depresi dan stres. Ada seornag bapak keturunan Cina di
depan Gereja Katedral mogok bicara. Kami beri makan
dan minum, tapi tetap tak mau omong. Maunya merokok
saja. Saya tidak sabar dan saya bilang, "Saya ini
pastor. Mungkin kamu ini Kristen atau apa, tapi
pekerjaan saya nolong korban."

Akhirnya, bapak itu mau berkomunikasi tapi lewat
tulisan di kertas. Dia meminta tolong kepada saya agar
sekarang juga dibawa ke luar negeri. Saya
bilang, saya enggak punya biaya. Apalagi, ia enggak
punya paspor. Dia bilang, lewat tulisan, "Minta uang
sama negara!"

Begitulah cara kami berdialog. Setiap kali satu kertas
habis, dia minta korek dan membakar kertas itu di
kamar mandi. Ketahuan bahwa bapak ini korban yang
keluarganya habis ditumpas. Juga harta bendanya.
Tinggal baju yang melekat di badan saja. Dia tidak
berani mengingat saat-saat kejadian, pelakunya, bahkan
tempat tinggalnya. Dia kembali percaya setelah saya
biarkan ikut membantu menbawa barang-barang di posko
relawan. Dan, baru pukul 02.00, dia menghampiri saya
dan berani omong. Tapi, tatap dia tak mau
mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Contoh
seperti itu banyak.

** D&R: Romo mencatat soal stigma penjarah ...

** RSS: Saya sempat bertemu dengan massa di sekitar
lokasi kebakaran. Mreka bercampur: orang-orang
kampung, bekas karyawan, dan sebagainya. Bahkan, ada
yang mengaku ikut mengambil barang-barang di toko
tersebut. Tapi, mereka merasa bahwa mereka sudah kena
musibah, kok, masih dituduh lagi sebagai penjarah.
Keluarga dari korban menuntut pembersihan atas tuduhan
itu. Mereka merasa, kok, perlakuan terhadap rakyat
kecil kejam sekali. Sementara itu, mereka yakin ini
permainan para pejabat, kok, diberi maaf, dibiarkan.
Jaringan pelakunya pun enggak diusut. Malah,
diumumkan, jumlah ini adalah penjarah semua. Mereka
pun dengan instink dan logika sederhana menganalisis.
Kami hanya mengartikulasikan.

** D&R: Tampaknya, soal kerusuhan ini berkembang ...

** RSS: Terus terang, semula kami sudah mengantisipasi
kami akan mengalami seperti ketika terjadi Peristiwa
27 Juli. Ternyata benar. Pada awal kami tayang fakta
dan data kerusuhan, kami dipanggil oleh polisi, tapi
dengan sangat sopan. Terjadilah semacam tawar-menawar
karena saat itu polisi merasa
tersudut atau pada posisi "dikorbankan". Mereka
mengeluh setengah mati. Persoalannya, secara
ekstensial, polisi dikorbankan secara politis. Bahkan,
banyak polisi luka-luka dan mati. Beberapa kantor
polisi dibakar.

Saya juga rakyat biasa, warga negara biasa yang
terkontaminasi, takut kepada aparat keamanan, maka
saya juga tawar-menawar. Saya meminta sesuatu, apakah
saya diizinkan untuk menginvestigasi korban-korban
yang dituduh penyebab kerusuhan dan penjarahan. Saya
diizinkan. Lalu, saya memenukan ada 800 orang
yang ditangkap dan diserahkan kepada polisi, tersebar
di polres-polres. Esensi perjuangan sekarang adalah
terbongkarnya kasus kerusuhan ini. Saya pikir, paling
parah jika secara horisontal kita tergulung oleh isu
SARA. Masyarakat akan bisa saling berantem. Agama
sudah dipolitisasi. Karena, biar bagaimana pun, agama
itu paling 'vulnerable' sekaligus potensial untuk
mempersatukan.

** D&R: Kalau sudah begitu, pendekatan apa yang Romo
lakukan?

** RSS: Kami lebih senang membantu dan mendinamisasi
tumbuhnya gerakan-gerakan swabela masyarakat madani,
dalam bentuk yang sangat sederhana. Contohnya,
pendirian posko-posko itu yang idealnya berintegrasi
dengan lingkungan. Ya, nonsektarian sungguh merupakan
gerakan bela diri masyarakat, seperti sistem keamanan
lingkungan. Di situ ada pula proses penyadaran,
pendidikan politik, dengan informasi yang benar. Di
situ juga, masyarakat bisa saling menambahkan
solidaritasnya yang memecahkan benteng-benteng
kurungan politik itu.

** D&R: Penyadaran ini terjadi saat terjadi kerusuhan
atau sudah lama dipikirkan oleh Romo?

** RSS: Pertimbangan ini lahir dari pengalaman
sederhana mendampingi kaum miskin urban sebagai
korban. Contohlah kasus penggusuran dalam kapasitasnya
yang lain, yaitu sebagai "penjarahan" konstitusional
oleh negara. Misalnya, penggusuran dengan membakar
terlebih dulu, PHK-PHK massal dengan kekerasan
politik karena militer campur tangan untuk membubarkan
massa. Juga pembunuhan anak-anak jalanan karena
mencuri kaca spion mobil. Ini kan sesuatu yang selama
ini ditutupi oleh karpet indah pertumbuhan ekonomi.
Begitu dibuka, muncullah semua.

** D&R: Ada perbedaan pendampingan saat Romo bertugas
di Yogyakarta dan Jakarta?

** RSS: Tingkat konfliknya jauh lebih tinggi di sini,
di depan mata. Tapi, intensitas pemiskinannya, di
daerah tidak lebih rendah. Justru karena rezim
ini mampu melakukan tenung politik secara luar biasa.
Jadi, bius moralnya begitu merasuki pola pikir mereka,
sehingga mereka tidak sadar. Untuk
melakukan gerakan resistensi, mereka tak pernah
frontal seperti di Jakarta.

Kisah Pak Syafudin yang pernah jadi korban mati karena
digusur dan dibakar, ia tak bisa keluar karena sedang
sakit TBC waktu itu. Ini membuat masyarakatnya
melakukan demo, kan? (Peristiwa penggusuran di Penas
Lama, Kebon Nanas, Jakarta Timur, tahun 1991)

** D&R: Kompleksitas masalah yang Romo lihat seperti
apa?

** RSS: Kami tidak pernah dipersiapkan secara
kemampuan teknis. Itu enggak pernah ada. Untung saja,
saya mendapat pendidikan dasar, seperti humaniora,
filsafat, dan teologi. Saya kemudian merasa lebih
bebas untuk bereaksi secara otonom. Karena, setiap
konteks perubahan meninggalkan jejak baru.

Saya tak bisa mengatakan bahwa saya berpengalaman
dalam perburuhan (hanya) karena waktu itu saya pernah
menyamar menjadi buruh pabrik gula di Cepiring,
Kendal, Jawa Tengah, dengan gaji Rp.350 per hari.
Begitu berat. Dan, itu adalah pendidikan. Saya berani
menyimpulkan, saya lebih banyak dididik di
luar sekolah. Di jalanan, maksudnya. Dengan perjumpaan
dengan perkara-perkara langsung, itu pendidikan bagi
saya.

** D&R: Kalau begitu, Romo tidak kaget jika sering
dijadikan kambing hitam?

** RSS: Dalam arti itu, ya, tidak kaget. Karena, sejak
tahun 1989, sebetulnya, perkara dipanggil polisi atau
Kodim biasa. Tapi, dulu kan genderang politiknya belum
setinggi itu. Artinya, saya masih setingkat
kampunglah. Saya masih mengurusi soal penggusuran.

Memang, pernah, ya, saat 14.000 karyawan Gajah Tunggal
mogok, saya dituduh sebagai penggerak. Dan, yang
menuduh adalah orang Katolik sendiri. Benar,
dari 14 pemimpin buruh itu, enam berasal dari kelompok
yang kami dampingi di Tangerang. Tapi, terus dikatakan
saya sebagai otaknya. Kalau kami membela
buruh, memang ya. Tapi, buruh kan otonom. Mereka
memperoleh itu sendiri, bukan karena saya.

Soal saya dikambinghitamkan, menurut temuan kami,
polisi itu sebenarnya juga korban. Karena, posisinya
dalam militer adalah warga kelas dua. Mereka di
garda depan saat berhadapan dengan massa.

Seorang anggota brigade mobil bercerita kepada saya.
Waktu massa menyerbu polsek, dia melihat baha yang
memimpin massa saat menyerbu dikenalinya. "Masak, saya
anggota pasukan khusus ditipu oleh pasukan khusus
juga? Saya kenal siapa orang itu. Saya merasa
terhina," ujarnya.

** D&R: Pasukan khusus itu dari Brimob juga?

** RSS: Persoalannya mungkin lebih dari itu. Saya
melihat, sekarang ini ideologi kan sudah enggak laku.
Komunisme ambruk. Kapitalisme juga habis. Jadi,
ideologi dimakan oleh kenyataan. Sementara itu, ada
masalah yang dinamakan imagologi. Ini lebih laku
karena dia bicara dalam masyarakat yang menentukan
mana yang ideal dan tidak untuk kepentingan kekuasaan.

Contoh sederhana, pemilihan isu politik yang
disebarkan ke masyarakat dalam bentuk propaganda,
seperti anti-Cina. Pasca kerusuhan kan ada toko yang
ditulisi "milik pribumi Islam" atau "Betawi asli". Itu
kan sebetulnya imagologi yang artinya: di luar itu
harus diberantas. Tanpa sadar, yang takut juga
meneguhkan itu. Atau, mensosialisasikan itu. Lalu, ini
yang terjadi, yang di Bosnia disebut sebagai kaum
'bigot' atau paganisme: fanatisme dan sektarian campur
menjadi satu. Semua yang di luar "kami" atua
"kita" harus dimusnahkan.*** [Mingguan D&R, No.44, 20
Juni 98]

--
Kejahatan Menjadi Hal Biasa 


Oleh Haryatmoko

PEMILU sudah dekat. Kesempatan semacam ini selalu
diwarnai mobilisasi massa yang rentan terhadap
kerusuhan. Peristiwa 27 Juli dan tragedi Mei 1998
masih segar dalam ingatan masyarakat. Namun, penguasa
tampaknya tidak peduli terhadap masa lalu itu.

Meski pemanggilan oleh Komnas HAM terhadap mereka yang
ditengarai terlibat tak diacuhkan, penguasa dan wakil
rakyat menutup mata. Bahkan, sulit menemukan partai
politik yang mau peduli terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM itu. Seakan ada unsur kesengajaan
untuk membungkam ingatan sosial (M Halbwach, 1950).
Padahal, kejadian-kejadian itu telah melukai keyakinan
masyarakat akan tatanan moral dan menggoyahkan
kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Dan, yang
paling menderita adalah korban. Tak ada keadilan, baik
restitusi maupun rehabilitasi. Bahkan, korban harus
menanggung viktimisasi kedua melalui intimidasi atau
pemeriksaan berat. Status korban tak diakui.

Masih kuat dalam jaring kekuasaan

Rupanya ada upaya untuk melupakan dengan membiarkan
para pelaku pelanggaran HAM menikmati impunity (tiada
sanksi hukum). Impunity mengundang kecurigaan: ada
konsesi politik yang menjadi bagian penopang
kekuasaan. Akhir Perang Dunia II punya pesan moral
jelas: "Para penjahat perang harus diadili dan
dihukum", juga terhadap kasus pelanggaran HAM di
Yugoslavia. Pesan moral itu bergema dan efektif karena
datang dari pemenang perang. Masalahnya menjadi pelik
ketika pelaku pelanggaran HAM bukan orang kalah dan
masih kuat memiliki daya tawar kekuasaan.

Kasus-kasus serupa terjadi di negara-negara Amerika
Latin. Tahun 1978 di Cile diumumkan dekrit yang
menarik semua tuduhan melawan polisi dan militer
pelaku pelanggaran HAM; di Brazil rezim militer
berakhir dengan amnesti atas para pelaku (1985); di
Uruguay ada semacam amnesti (1989). Rupanya strategi
moral dalam bentuk pengadilan dan hukuman dianggap
amat berisiko dan mengancam upaya transisi damai ke
sistem demokrasi dan rezim yang stabil. Di Argentina,
selama proses peradilan terhadap para pelanggar HAM
(1986-1987) terjadi empat kali usaha kudeta.
Mungkinkah diam-diam Indonesia mengadopsi strategi
melupakan demi stabilitas politik?

Membungkam ingatan sosial

Bila melupakan menjadi kebijakan, bukankah tuntutan
untuk membangun ingatan sosial dan moralitas ditekan?
Pertimbangan moral dikeluarkan dari politik. Seakan
moral tidak relevan bagi politik. Apakah penguasa
sadar, masyarakat sedang diajak mengabaikan kejahatan
atas nama stabilitas politik? Masyarakat didorong
melanjutkan hidup bersama seakan kejahatan itu tidak
pernah terjadi. Strategi melupakan ini sama saja
menerima dan menyebarkan bentuk baru banalisasi
kejahatan (kejahatan kehilangan dimensi kedalamannya
dan menjadi suatu hal yang biasa).

Memang benar, tidak semua ingatan sosial akan
membebaskan, namun melupakan akan mencekam kita karena
dipaksa untuk melupakan (C Pereda, 2001:212).
Pembungkaman ingatan sosial itu mengorbankan masa lalu
yang penuh kepahitan yang sekaligus diketahui, namun
harus disangkal. Upaya melupakan itu bukankah
merupakan bentuk penghinaan terhadap korban? Melupakan
bisa berubah menjadi kejahatan karena membiarkan
kebencian. Kebencian membolehkan untuk melakukan
segalanya: menyiksa dan membunuh. Bagaimana bisa
mengusir dari ingatan sosial penculikan, penganiayaan,
dan pembunuhan yang dilakukan kelompok tertentu tanpa
melalui proses peradilan?

Hukum, infrastruktur ingatan sosial

Ajakan melupakan dan mengampuni tanpa ada klarifikasi
melalui proses hukum, yang menetapkan adanya pelaku
pelanggaran dan korban, akan melukai ingatan sosial.
Hukum tidak hanya berfungsi untuk membereskan konflik
sosial, namun lebih penting lagi, ia menjadi sarana
menuju kehidupan lebih beradab. Proses hukum merupakan
infrastruktur untuk membangun kembali ingatan sosial
dan mencegah terulangnya kekejaman yang sama. Bahwa
ada pengampunan, islah atau amnesti baru berarti
setelah berlangsung proses hukum. Hukum bukan
dimaksudkan untuk alat balas dendam, namun dalam
kehidupan publik, berfungsi melembagakan ingatan
sosial akan kejahatan masa lalu yang kita cenderung
tidak mengakuinya (C Pereda, 2001:213). Proses hukum
menjadi perjuangan moral untuk memutuskan apa yang
perlu diingat dan mana yang harus ditekan atau
dilupakan. Berarti ia menjadi cara membangun monumen
peringatan, tidak ke masa lampau, tetapi untuk
memperingatkan masa depan. Cara ini berperan mencegah
terjadinya banalisasi kejahatan (H Arendt, 1963).

Ragam banalisasi kejahatan

Bentuk pertama banalisasi kejahatan ialah bahwa orang
melakukan kesalahan tanpa berpikir, bahkan tanpa ada
motif sama sekali untuk melakukan itu. Jadi, kejahatan
dilakukan karena orang tidak mampu menyadari bahwa
perbuatannya itu jahat (H. Arendt, 1963:287). Berarti
banalisasi kejahatan disebabkan oleh ketidakmampuan
berpikir untuk diri sendiri. Kasus semacam ini biasa
menimpa para prajurit yang melakukan penculikan atau
pembunuhan karena perintah atasan. Telah terjadi
distorsi imperatif kategoris, lalu rumusannya menjadi
"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga pemimpin
tertinggi, jika ia mengetahui tindakanmu, akan
menyetujuinya" (H Arendt, 1963:136)

Bentuk kedua banalisasi kejahatan ialah karena motif
sepele atau penting lalu melakukan kesalahan, namun
tindakan yang salah itu menjadi malapetaka karena
situasi sosial tertentu yang tidak diperhitungkan (C
Pereda, 2001:217). Karena perkelahian anak kecil, dua
orang bertetangga tidak saling menyapa. Didorong
emosi, yang satu mengeluarkan umpatan menuduh
tetangganya terlibat gerakan terlarang. Tetangganya
ditangkap. Suasana tegang saat itu menyebabkan
orang-orang yang pernah berhubungan dengannya ikut
dicurigai dan ditangkap. Banalisasi kejahatan terjadi
karena ketidakmampuan memikirkan konsekuensi fatal
yang langsung dan yang jangka panjang.

Bentuk ketiga banalisasi kejahatan ialah menyerah diri
terhadap institusi yang dianggap tak terhindarkan atau
suatu bentuk rutinisasi kejahatan. Bentuk banalisasi
kejahatan ini sering digunakan untuk memberi
pembenaran terhadap korupsi. Dalam kasus ketiga ini
orang terbiasa membiarkan diri melakukan kejahatan dan
menyerah tidak melakukan perlawanan karena takut
dicurigai atau dinafikan dari sistem. Bentuk ketiga
ini diperparah dengan adanya impunity karena
membiarkan kejahatan tanpa sangsi hukum. Ini berarti
mengecilkan makna kejahatan. Padahal, akibatnya
membuat pihak lain dirugikan dan menderita sampai
melukai fisik, hasrat, kepercayaan, perasaan, dan
emosi.

Kebencian vs berpikir kritis

Mekanisme banalisasi kejahatan yang amat umum terjadi
ialah dengan mendefinisikan korban sebagai musuh.
Mekanisme ini beroperasi mendasarkan kebencian. Namun,
tidak ada sebab khusus yang mendorong kebencian
terhadap korban, kecuali doktrin yang telah
didefinisikan. Hanya karena beragama lain, karena
orang asing, karena etnis lain cukup untuk memicu
kebencian yang sebetulnya didasarkan pada mekanisme
"segalanya atau tidak sama sekali".

Maka sikap memutlakkan ini tidak perlu disertai
perasaan tertentu. Padahal, biasanya sikap
mencerminkan perasaan tertentu. Pemutlakan ini sering
menjadi slogan, seperti dalam kasus konflik antaragama
"Semua diperbolehkan demi Tuhan". Tak ada kehendak
untuk memeriksa atau memikirkan kasus per kasus,
mendiskusikan, menegosiasikan, apalagi mengambil jarak
dan mengkritisi keyakinan atau ilusinya.
Ketidakmampuan berpikir adalah kegagalan moral.
Menurut H Arendt, ada hubungan langsung antara
tiadanya pikiran kritis dan kejahatan (1963:288).

Tiadanya pikiran kritis tidak sama dengan bodoh.
Ketidakmampuan berpikir kritis, keengganan berpikir
dengan menempatkan diri pada posisi orang lain,
menjadi lahan subur kebencian dan menghilangkan rasa
tanggung jawab seseorang sehingga terjerat banalisasi
kejahatan. Jadi, banalisasi kejahatan yang muncul dari
kebencian itu datang dari hasrat yang tak terbatas
(semua diperbolehkan karena musuh). Hasrat ini lahir
dari sempitnya pandangan, mengabaikan pandangan
alternatif, menolak semua bentuk kritik. Meski orang
semacam ini juga membaca dan mendengarkan, tujuannya
bukan untuk belajar, namun untuk mendapat informasi
lebih akurat dan dukungan tambahan bagi prasangka yang
sudah hidup dalam benaknya.

Masalah tanggung jawab menemukan fokusnya. Tanggung
jawab atas tindakan berasal dari tanggung jawab atas
suatu keyakinan dan hasrat. Kedua hal terakhir ini
banyak dibentuk oleh kebiasaan lingkungan (keluarga,
pendidikan, agama).

Bila lingkungan tidak memberi ruang bagi perbedaan
pendapat dan sikap kritis, ia jadi tanah subur
kebencian dan banalisasi kejahatan. Orang sulit
mandiri. Padahal, orang bisa bertanggung jawab bila
membiasakan diri menghindari ketaatan buta,
penghambaan pada kekuasaan atau institusi (agama,
politik). Maka, menghindari pertimbangan berat sebelah
perlu, dengan cara membiasakan berpikir menempatkan
diri pada posisi orang lain.

Haryatmoko Pengajar Program Pascasarjana UI dan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Kompas
Rabu, 03 September 2003 

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/03/opini/527239.htm






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke