Huru-hara Pertengahan Mei TIDAK ada hari ini, juga tak ada hari esok bagi masalah pengambinghitaman keturunan Cina di Indonesia. Yang ada hanyalah kemarin, yang berulang lagi terus menerus setiap masa. Persoalannya selalu sama, itu-itu juga. Dalam kerusuhan apa pun, warga keturunan Cina akan menjadi korban sasaran amukan rakyat banyak. Bakar, kejar, rampok, jarah, dan viktimisasi etnis Cina sudah menjadi pola, hampir di sepanjang sejarah bangsa ini, mulai dari abad ke-18 di zaman kolonial dulu. Terakhir, menyusul peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 13 ,14, dan 15 Mei, di Jakarta, semacam holocaust skala Melayu terjadi: penjarahan dan penghangusan ratusan bangunan milik "non-pribumi" diikuti dengan keberingasan dan pemerkosaan yang bukan saja melanggar perikemanusiaan, tetapi juga di luar semua ajaran masyarakat yang beradab. Bagaimana kita harus menghadapi "masalah Cina" Indonesia ini? Retorika tidak bisa banyak menolong. Setiap selesai keributan anti-Cina, ratusan kertas prasaran untuk diskusi dan seminar dibuat; yayasan, asosiasi, atau badan-badan kontak, komunikasi, usaha asimilasi, dan sejenisnya didirikan--terutama sejak peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung. Tetapi, tak urung, pada Mei 1998, di Medan, Jakarta, dan Solo, peristiwa sama terulang lagi, dalam ukuran yang jauh lebih besar. Apa yang salah?
Satu hal yang pasti tidak berguna kalau ingin mencari jalan keluar ialah mempertahankan kemunafikan. Istilah Cina saja, misalnya, telah dijadikan isu yang rumit karena dianggap mengandung makna makian yang merendahkan, derogatori. Karenanya, akhir-akhir ini warga keturunan lebih senang memakai sebutan "cainis" (dari bahasa Inggris Chinese, yang artinya orang Cina juga). Sebaliknya, dari kalangan keturunan Cina bukan tidak ada sebutan derogatori yang dialamatkan bagi warga pribumi, ti-ko misalnya, yang arti harfiahnya berasosiasi dengan makhluk bukan manusia. Atau, hwa-na yang artinya orang asing, dengan konotasi berbudaya kasar. Jadi, harus diakui, memandang dengan stereotip dan berprasangka etnis itu memang bukan cuma jalan satu arah. Ada prasangka, ada ketegangan. Ketegangan yang tak tersalur bisa jadi ledakan. Bagaimana caranya menerima kenyataan adanya prasangka timbal-balik dalam masyarakat kita ini? Ada cara gampang, ada cara yang kompleks. Yang tidak ingin bersusah-susah tidak merasa perlu memikirkan jalan untuk menghapus prasangka dan perbedaan, atau mengusahakan pembauran. Perbedaan ini tidak perlu dihapus karena memang tak mungkin berubah. Tetapi sekalipun begitu, bagi Pak Harto dan Mbak Tutut ketika masih berkuasa, warga keturunan Cina adalah kelompok yang wajib memberi sumbangan--kalau tidak ingin mengalami kesulitan hubungan antaretnis nantinya. Dengan kata lain, kalau mau selamat dari risiko ledakan ketegangan, bayarlah. Sederhana saja. Dan, memang itu tidak terlalu salah rupanya. Dalam huru-hara penjarahan dan penghangusan 14 Mei yang lalu di Jakarta, kompleks Pondok Indah dan Kelapa Gading sama sekali tidak tersentuh sedikit pun. Konon kabarnya karena penghuni kompleks itu cukup membayar pasukan keamanan. Kesimpulannya: korban tak terjadi atau bisa dibatasi kalau ada perlindungan. Tetapi, kalau harus dibeli, itu semacam diskriminasi juga, karena hanya yang punya uang yang bisa dilindungi. Sama di Muka Hukum Yang lebih kompleks pendekatannya mencoba memasukkan aspek sosiohistorikal kedudukan warga keturunan Cina di Indonesia. Selama ratusan tahun telah terjadi migrasi dari utara dan pemukiman orang-orang Cina--semacam invasi diam-diam dan berangsur-angsur yang tak mungkin diputar balik lagi--bukan saja di sini, tetapi meluas di seluruh kawasan Asia Tenggara. Di setiap wilayah, yang sekarang masing-masing telah berbentuk negara, semacam eksistensi bersama antara keturunan Cina dan penduduk "asli" telah berlangsung. Tidak semuanya berjalan lancar, apalagi bebas dari ketegangan. Tetapi, tak ada pilihan lain. Di tempat yang pembaurannya kurang berhasil, seperti di sini, suatu andalan untuk mengatur kehidupan bersama ialah melalui hukum. Jelasnya: persamaan kedudukan di depan hukum. Tetapi, di sini justru letak kompleksitas masalahnya: apakah hukum mampu melindungi? Hukum berjalan ketika hak dihargai. Akan halnya hak adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, hukum hanya mampu berfungsi kalau pasal-pasal peraturannya didesak untuk dijalankan. Persamaan hak sipil bagi kulit hitam di Amerika Serikat tahun 1960-an dicapai dengan perjuangan sengit dan memiliki deretan martir pemimpinnya: mulai dari Martin Luther King sampai Malcolm X. Terbayangkah, misalnya, ada gerakan massal warga keturunan Cina, dibantu oleh warga lain yang berpikiran maju di Indonesia, menuntut agar pemerintah yang lalu dihukum karena melakukan, mengatur, dan membiarkan praktik-praktik diskriminasi terhadap warga negaranya selama ini? Untuk kali ini, kita tidak perlu menggunakan pendekatan yang kompleks maupun yang menggampangkan. Tetapi, di antara keduanya yakni tidak berlagak menyelesaikan seluruh soal, tapi menanggulanginya secara praktis. Pertama, kita harus menuntut agar peristiwa kerusuhan dan penganiayaan sekitar 14 Mei diusut sampai seterang-terangnya. Seperti kata relawan Romo Sandyawan: perjuangan sekarang adalah mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya (lihat halaman 30). Kedua, menuntut pemerintah dan aparat keamanan untuk bertanggung jawab atas kegagalan total menjaga dan melindungi warganya. Ketiga, agar semua bentuk praktik diskriminasi yang dilakukan melalui administrasi pemerintahan dihapuskan seketika. Keempat, agar setiap praktik diskriminasi atas dasar prasangka etnis atau apa pun yang melecehkan asas persamaan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan diberi sanksi yang efektif. Dengan proyek minimum ini, kita tidak akan bisa melenyapkan prasangka etnis. Tetapi, tanpa ini, kita mungkin akan menyaksikan hari kemarin yang mengulangi dirinya lagi, berkali-kali. Majalah D&R, 20 Juni 1998 -- Wawancara dengan Romo Sandyawan Sebenarnya, ia adalah bapak dan pelindung anak-anak jalanan. Tapi, Romo Sandi, begitulah Romo Ignatius Sandyawan Sumardi, S.J., dipanggil, menjadi populer karena politik. Jelasnya, ia didakwa terlibat langsung atau tak langsung dalm kasus politik: ia diinterogasi, diadili (dan bebas) karena didakwa melindungi aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didengungkan menjadi pelaku Peristiwa 27 Juli 1996. Kini, setelah kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta, Romo Sandi kembali muncul di tengah penderitaan. Ia menjadi salah satu motor pendirian posko-posko Tim Relawan sejak demonstrasi mahasiswa marak, muncul kerusuhan dan akibatnya. Hasil kerja posko-posko itulah yang ia beberkan di depan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dua pekan lalu. Meskipun sudah menjadi omongan masyarakat, tetap saja data dan cerita yang dituturkan Romo Sandi mengejutkan: jumlah korban yang _dibakar_ dan penderitaan korban pemerkosaan. Berikut wawancara wartawan D&R, Josephus Primus dan Seno Joko Suyono, dengan pengagum Mahatma Gandhi ini di kantornya, Institut Sosial Jakarta, di kawasan Cawang, Jakarta Timur -- kawasan yang juga marak dengan kerusuhan Mei lalu itu: ** MINGGUAN D&R: Ada perbedaan jumlah korban kerusuhan versi pemerintah dan perhitungan romo yang mencapai 1000 itu ... ** ROMO SANDYAWAN SUMARDI: Sampai di-update 7 Juni saja, jumlah yang dibakar sudah 1.193 orang. Yang ditembak 25 orang; hilang 32 orang; luka berat 63 orang, dan luka ringan 18 orang. Memang, saya menyebutkan korban _dibakar_. Ini pernah menjadi perdebatan kami waktu kami pertama kali membawa data awal ini ke Komnas HAM. Waktu itu, B.N. Marbun mengatakan, "kok, ini banyak sekali! Kalau membuat data, yang benar. Kok, bisa banyak sekali? Lalu, kok _dibakar_? Yang betul kan _terbakar_." Saya bilang, "Bapak bisa menyatakan begitu, punya data alternatif atau kontra-data, enggak? Kalau sekadar memberi komentar sebelum membaca, ya, saya kira nilainya ... ya ..." Ternyata benar. Komisi nasional itu belum membuat penelitian apa-apa. Lepas dari itu, soal _dibakar_ tadi kelihatan dari pengalaman kami mendata. Yaitu, berdasarkan pengalaman pembentukan tim pencari fakta dari Tim Relawan menolong korban insiden berdarah 27 Juli dua tahun lalu. Pengalaman gerakan kemanusiaan seperti Tim Relawan adalah pengalaman eksistensial ketika kami berhadapan dengan politik penggelapan fakta korban. Itu polanya sama seperti dalam insiden berdarah Tanjungpriok, Aceh, Madura, dan Lampung. Termasuk juga di Medan, Irian Jaya, dan Timor Timur, begitulah. Insiden antar-etnis di Kalimantan Barat yang ribuan korbannya juga sama seperti itu. Ada yang dihapus sekian persen. Berdasarkan pengalaman itu, lemah posisi tawar Komnas HAM di hadapan menteri bidang politik dan keamanan waktu itu yang melakukan tekanan. Dengan demikian, Komnas HAM takut mengungkap apa adanya. Kami sejak awal sudah melakukan investigasi, bahkan hadir di lokasi-lokasi potensi kerusuhan karena kami ikut terlibat dalam pekerjaan ini. Kami tidak ingin mengulangi kegagalan kami yang lalu. ** D&R: Apa yang Romo maksud dengan kegagalan itu? ** RSS: Bukan hanya gagal mengungkapkan data korban yang sebenarnya, bahkan kami sendiri digilas oleh politik kambing hitam. Saya dituduh jadi aktor intelektual Partai Rakyat Demokratik, yang dituduh menjadi pelaku utama Kerusuhan 27 Juli 1996. Sebenarnya, itu sesuatu yang sudah diperingatkan oleh Palang Merah Internasional waktu itu: "Pemerintah dan tentara ingin menutup masalah ini, Bapak mau membongkarnya. Pasti sekarang akan dapat kesulitan!" Ternyata benar. Tempo hari, saya mendapat intimidasi dan sebagainya. ** D&R: Sejak kapan Tim Relawan hadir? ** RSS: Kami hadir sejak penembakan mahasiswa di Trisakti. Kami menginvestigasi korban. Kami juga banyak dibantu oleh wartawan, oleh aktivis. Bahkan, ada juga dokter dan perawat yang ikut mendata sekaligus menolong korban. Sebagai gerakan, kami ini kan gerakan yang independen, nonsektarian, dan nonpartisan, yang hadir sebagai spektrum berwajah palang merah. Gerakan ini mulai dari bentuk yang paling karitatif, di bidang medis. Selain membantu soal logistik, makanan, dan sebagainya, juga memberikan pelayanan kejernihan informasi dan investigasi. Sebab, politik desas-desus ini hanya bisa dilawan dengan akurasi data dan informasi yang jernih. Lalu, juga dengan litigasi. Meskipun pada saaat kerusuhan kami belum langsung bicara, untuk 'back up' selanjutnya dalam pembelaan, itu penting. Bahkan, kami temukan saksi pelaku. ** D&R: Bisa Romo ceritakan kisahnya? ** RSS: Kami kan berserak di tiap-tiap posko bantuan relawan. Sekarang, ada 16 buah tersebar di Jakarat. Di depan sebuah kantor aparat keamanan, keluar seseorang yang kepalanya -- di dekat mata -- hancur, gigi rontok, dan jalannya oleng karena teler. Waktu itu, instink kami menebak: pasti ada sesuatu. Kami tolong dulu dia secara medis. Kelihatannya, kok, agak aneh omongannya. Kami bawa ke posko, lalu kami beri makan, kopi, dan rokok. Mulailah dia ngomong. Yang jelas, kata-kata indoktrinatif penuh. Lalu juga, dia menggunakan setidak-tidaknya tiga nama sandi. Dia masih hafal siapa itu instrukturnya. Tapi, yang lebih tegas lagi, kalau ditanya siapa yang menyuruh, dia bisa sebutkan -- tentu, yang menyuruh sebenarnya. Meskipun kacau, kesadarannya akan tempat dan waktu masih baik. Dia mengaku dilatih dua minggu di suatu tempat di daerah Cilangkap (Jakarta Timur). Lalu, disiapkan sebuah peta. Dia mengatakan bahwa dia dalam satu grup beranggotakan delapan orang. Dialah satu-satunya yang hidup di antara delapan orang yang ditugasi membakar Plaza Jatinegara (Jakarta Timur). ** D&R: Anda katakan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan seperti tadi memang ada polanya? ** RSS: Dari data korban yang terserak terungkap bahwa massa yang bergerak itu "massa kampung" yang sudah "dipukul" oleh kondisi ekonomi yang parah karena krisis. Dan, kesenjangan itu ada, bukan suatu potensi yang dibuat-buat. Selanjutnya, ada cerita bahwa demonstrasi mahasiswa "digebuk" dan ditembak. Jadi, massa kampung memang sudah marah. Dengan kondisi seperti itu mereka didekati oleh yang kami istilahkan "para provokator". Disebarkan desas-desus. Mungkin, pers dan media elektronik juga terlibat. ** D&R: Maksudnya? ** RSS: Desas-desus itu ternyata begitu sistematis jenis penyebarannya.Tapi, kami belum melakukan penelitian. Kami sedang bertanya, apakah benar ada beberapa stasiun televisi swasta "disandera" untuk memaksakan suatu agenda berita masuk. Karena hal itu ada korelasinya dengan desas-desus yang membuat masyarakat makin panas tapi juga menjadi takut sekali. Jadi, reaktif. Tanggal 13 atau 14 Mei adalah saat-saat mulai turunnya kelompok-kelompok yang dipersiapkan. Mereka bisa memakai sepeda motor untuk Toserba Yogya, Klender (Jakarta Timur). Mereka membawa bom-bom molotov [bom bensin/hh] pakai botol-botol bekas air mineral. Ada yang pakai seragam sekolah putih abu-abu tapi berwajah tua-tua. Ada yang bertampang preman biasa. Tapi, ada yang berambut cepak dan bersepatu lars juga. Umumnya, di belakang pinggang mereka ada semacam alat, entah apa itu, tapi dibungkus koran. Lalu, mereka memulai dengan menbakar ban-ban mobil dan kayu-kayu di jalan. Ini untuk menarik dan mengeluarkan massa dari kampung-kampung. Dan, benar, di sekitar sini pun terjadi. Memang, massa keluar. Mulailah yel-yel anti-Cina dan teriakan-teriakan. Yang paling fenomenal, di depan-depan pusat-pusat pertokoan -- seperti Plaza Jatinegara, Plaza Ciledug (Tangerang), dan Toserba Yogya -- para provokator itu masuk dulu dan menguasai gedung. Lalu, empat-lima orang dari mereka mulai mengambili barang-barang dan menunjukkan kepada massa betapa mudahnya mendapatkan itu. Tentu saja, setelah dua-tiga kali itu dilakukan, massa kan tertarik -- massa yang miskin, kaum urban, orang-orang muda tanggung, dan remaja-remaja. Mereka naik ke situ. Pada saat itu ada aparat keamanan di tempat. Tapi, mereka mendorong dan mengatakan, "Silakan! Silakan! Ambil saja, enggak usah ragu-ragu!" Naiklah mereka ke lantai atas. Setelah banyak orang ada di situ, ada saksi yang melihat, aparat keamanan menembakkan gas air mata. Sesudah itu ada yang menutup pintu dan membakar gedung. Jadi, mereka, orang kampung, semula tidak bermaksud mengambil barang apa-apa. Tapi, mereka diledek. Saya kira, secara moral bukan salah mereka. Kalau mereka miskin sekali, lalu diledek, begitu gampang kan mereka tertarik. Di Plaza Jatinegara, para provokator itu menbawa jeriken-jeriken berisi minyak. Dengan demikian, memang agak aneh, seperti di Toserba Yogya juga, bahwa kobaran api begitu cepat. Bahkan, menurut saksi mata, mereka naik ke atas gedung dan menyirami gedung dengan minyak tadi. Waktu itu ada yang melarang, "Jangan, di atas masih banyak orang!" Tapi, mereka itu enggak peduli. Begitu menyalakan api, mereka pergi. Pembantaian massal itu! Dalam keadaan panik seperti di Plaza Jatinegara, menurut saksi mata, mereka yang berhasil meloloskan diri dari kepungan asap dan kobaran api lewat jalan menyusur dari atas, ditembak oleh penembak yang bersembunyi (sniper). ** D&R: Siapa di balik semua ini menurut dugaan Romo? ** RSS: Sulit! Terus terang, saya yang terlibat dalam proses investigasi ini tak bisa membuat suatu dugaan. Ada saksi yang bilang, kelompok provokator itu menumpang truk: dan beberapa truk itu milik militer. Ada anggota masyarakat yang mencoba menelpon pemadam kebakaran, ambulans, dan aparat keamanan justru malah dilecehkan. Malah ada yang mengatakan, "Mati kau!" Saya sendiri menerima tiga telpon dari orang yang dalam proses dibakar, satu dari telepon genggam. Saya mendengar kayu-kayu berjatuhan karena kobaran api. "Romo, doakan, kami semua sendang dibunuh!" Ini sesuatu yang sulit bagi saya karena tidak melihat langsung. Mau berbuat apa? Ada yang panik dan minta tolong memanggilkan Panglima ABRI atau apa. Karena, mereka melihat aparat keamanan tidak berbuat apa-apa. ** D&R: Identifikasi korban sejauh mana? ** RSS: Sebagian besar dari mereka adalah kaum miskin urban. Lalu orang muda dan remaja. Juga sebagian adalah etnik Cina yang kebanyakan juga korban yang dijarah barang-barangnya. Tapi, yang paling parah terutama yang etnik Cina perempuan. Mereka menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kalau mendengar ceritanya, mengerikan sekali. Ada satu keluarga dengan tiga orang perempuan. Cerita kakaknya, dua adiknya lebih dulu diperkosa pada saat kobaran api. Salah seorang, setelah diperkosa, ditendang terjerembab ke dalam api. Kejadian itu terjadi di depan mata keluarganya. Lalu, gantian, kakaknya diperkosa. Ada juga yang diperkosa di bus. Pendek kata, itu banyak terjadi. Memang, kita belum ada data pasti. Tapi, pasti lebih dari 40 orang yang diperkosa. Yang jelas, untuk jenis korban seperti itu, pendampingannya lain. Korban pemerkosaan jangan dibiarkan mengingat kembali si pelaku. Kalau pemerkosaan satu-satu dalam kasus biasa, mungkin bisa. Tapi, ini sebuah perlakuan brutal. Anak perempuan 12 tahun diperkosa tujuh-delapan orang, lalu penuh cakaran di dada. Ini kan seperti hewan. ** D&R: Adakah dugaan, mengapa yang dibakar tempat-tempat seperti Toserba Yogya di Klender dan Plaza Jatinegara? ** RSS: Terus terang, kami belum sampai ke situ. Tapi, sekali lagi, ini dugaan. Tempat itu adalah simbol-simbol yang dipilih. Kami memang bisa membedakan antara sasaran yang dipilih provokator dan sasaran massa lain. Biasanya, massa lebih memilih yang simbolnya memang menimbulkan kesenjangan. Akan halnya provokator memilih sasaran strategis dan dibakar hampir bersamaan. Dengan demikian, kejadian ini bisa berlangsung serentak di seluruh Jakarta, di pusat-pusat kegiatan besar. ** D&R: Menurut Romo, apa yang sebenarnya terjadi? ** RSS: Saya melihat bahwa rezim Soeharto masih terus "bermain" dengan ini. Karena, para intelijen yang hadir masih yang itu-itu juga. Yang jelas, tampaknya dengan ini mereka mau menghentikan atau membuat 'kejutan' gerakan mahasiswa yang secara simultan dan terang-terangan sangat efektif mengepung kekuasaan. Dan, ini kan juga merupakan peluang bagi militer untuk tampil lagi sebagai pahlawan. Tapi, ini menjadi sulit dibaca kalau kita lihat dalam konteks politik internasional, keterlibatan negara-negara besar. Wartawan Amerika mengeluarkan data dari Pentagon tentang adanya kerja sama antara militer Amerika dan Indonesia dalam bentuk pelatihan, menjaga sidang umum MPR, melawan kaum miskin urban, dan menghantam mahasisa. Jadi, sangat tidak konsisten suara-suara dari para senator dalam Kongres Amerika yang membela hak asasi manusia. Dari ketidakkonsistenan itu, apakah ada hubungannya dengan kejadian-kejadian ini, ya, itu bisa dicari. Ada yang mengatakan, ini atas nama isu nasionalisasi dari warga negara asing, seperti Cina dan juga Amerika, dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Tapi, ini juga tidak konsisten karena perusahaan-perusahaan yang dekat dengan rezim dahulu tetap selamat, pada umumnya. ** D&R: Tapi, seperti di Matraman, mobil Timor pun dibakar ...? ** RSS: Kalau yang dari keluarga Presiden memang iya. Tapi, beberapa jaringan konglomerat Cina tidak tersentuh. Memang, ada faktor yang sulit ditentukan jika sudah ada percampuran antara provokator dan massa yang sengaja. ** D&R: Lebih dramatis mana dengan Kerusuhan 27 Juli dalam pandangan Romo? ** RSS: Jauh lebih dramatis sekarang ini. Ini merupakan sebuah pornografi politik yang paling mengerikan. Korbannya begitu banyak, sangat dramatis dari segi cara, metode, dan dari segi ketidakpedulian pada kondisi psikologis korban. Coba masuk ke kamar mayat. Pada waktu itu, ada 970 mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kami masuk ke sana langsung pusing. Bukan karena bau, tapi kenangan betapa berdarahnya rezim ini. Itulah yang membuat kami pusing betul. Saya biasa menolong pemulung yagn sakit dan mati karena TBC ... bau dahaknya itu. Juga, menolong anak jalanan yang kakinya "bubulen" [borok bernanah], saya sudah biasa. Tapi, melihat jumlah mayat yang demikian banyak dan mati terbakar, setengah matang, itu yang sulit dicerna. Negara kita ini berbentuk piramidal. Ada konflik intra-elite di atas; entah gajah itu gelut atau bercinta, ya, yang di bawah, rakyat, yang keinjak-injak. Terbukti, mayoritas yang menjadi korban adalah orang-orang miskin. Contohnya, Martin yang mati di Gramedia, Matraman. Rumahnya di Kramat Sentiong sudah seperti kotak-kotak rokok. Ibunya mengeluh karena bapaknya, kok, malah pergi. Ternyata, waktu saya bertanya kepada tetangganya, bapaknya pergi karena tak setabah ibunya. Bapaknya enggak tahan mendapat kejadian seperti itu. Sudah tujuh orang datang ke saya. Mereka mengalami depresi dan stres. Ada seornag bapak keturunan Cina di depan Gereja Katedral mogok bicara. Kami beri makan dan minum, tapi tetap tak mau omong. Maunya merokok saja. Saya tidak sabar dan saya bilang, "Saya ini pastor. Mungkin kamu ini Kristen atau apa, tapi pekerjaan saya nolong korban." Akhirnya, bapak itu mau berkomunikasi tapi lewat tulisan di kertas. Dia meminta tolong kepada saya agar sekarang juga dibawa ke luar negeri. Saya bilang, saya enggak punya biaya. Apalagi, ia enggak punya paspor. Dia bilang, lewat tulisan, "Minta uang sama negara!" Begitulah cara kami berdialog. Setiap kali satu kertas habis, dia minta korek dan membakar kertas itu di kamar mandi. Ketahuan bahwa bapak ini korban yang keluarganya habis ditumpas. Juga harta bendanya. Tinggal baju yang melekat di badan saja. Dia tidak berani mengingat saat-saat kejadian, pelakunya, bahkan tempat tinggalnya. Dia kembali percaya setelah saya biarkan ikut membantu menbawa barang-barang di posko relawan. Dan, baru pukul 02.00, dia menghampiri saya dan berani omong. Tapi, tatap dia tak mau mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Contoh seperti itu banyak. ** D&R: Romo mencatat soal stigma penjarah ... ** RSS: Saya sempat bertemu dengan massa di sekitar lokasi kebakaran. Mreka bercampur: orang-orang kampung, bekas karyawan, dan sebagainya. Bahkan, ada yang mengaku ikut mengambil barang-barang di toko tersebut. Tapi, mereka merasa bahwa mereka sudah kena musibah, kok, masih dituduh lagi sebagai penjarah. Keluarga dari korban menuntut pembersihan atas tuduhan itu. Mereka merasa, kok, perlakuan terhadap rakyat kecil kejam sekali. Sementara itu, mereka yakin ini permainan para pejabat, kok, diberi maaf, dibiarkan. Jaringan pelakunya pun enggak diusut. Malah, diumumkan, jumlah ini adalah penjarah semua. Mereka pun dengan instink dan logika sederhana menganalisis. Kami hanya mengartikulasikan. ** D&R: Tampaknya, soal kerusuhan ini berkembang ... ** RSS: Terus terang, semula kami sudah mengantisipasi kami akan mengalami seperti ketika terjadi Peristiwa 27 Juli. Ternyata benar. Pada awal kami tayang fakta dan data kerusuhan, kami dipanggil oleh polisi, tapi dengan sangat sopan. Terjadilah semacam tawar-menawar karena saat itu polisi merasa tersudut atau pada posisi "dikorbankan". Mereka mengeluh setengah mati. Persoalannya, secara ekstensial, polisi dikorbankan secara politis. Bahkan, banyak polisi luka-luka dan mati. Beberapa kantor polisi dibakar. Saya juga rakyat biasa, warga negara biasa yang terkontaminasi, takut kepada aparat keamanan, maka saya juga tawar-menawar. Saya meminta sesuatu, apakah saya diizinkan untuk menginvestigasi korban-korban yang dituduh penyebab kerusuhan dan penjarahan. Saya diizinkan. Lalu, saya memenukan ada 800 orang yang ditangkap dan diserahkan kepada polisi, tersebar di polres-polres. Esensi perjuangan sekarang adalah terbongkarnya kasus kerusuhan ini. Saya pikir, paling parah jika secara horisontal kita tergulung oleh isu SARA. Masyarakat akan bisa saling berantem. Agama sudah dipolitisasi. Karena, biar bagaimana pun, agama itu paling 'vulnerable' sekaligus potensial untuk mempersatukan. ** D&R: Kalau sudah begitu, pendekatan apa yang Romo lakukan? ** RSS: Kami lebih senang membantu dan mendinamisasi tumbuhnya gerakan-gerakan swabela masyarakat madani, dalam bentuk yang sangat sederhana. Contohnya, pendirian posko-posko itu yang idealnya berintegrasi dengan lingkungan. Ya, nonsektarian sungguh merupakan gerakan bela diri masyarakat, seperti sistem keamanan lingkungan. Di situ ada pula proses penyadaran, pendidikan politik, dengan informasi yang benar. Di situ juga, masyarakat bisa saling menambahkan solidaritasnya yang memecahkan benteng-benteng kurungan politik itu. ** D&R: Penyadaran ini terjadi saat terjadi kerusuhan atau sudah lama dipikirkan oleh Romo? ** RSS: Pertimbangan ini lahir dari pengalaman sederhana mendampingi kaum miskin urban sebagai korban. Contohlah kasus penggusuran dalam kapasitasnya yang lain, yaitu sebagai "penjarahan" konstitusional oleh negara. Misalnya, penggusuran dengan membakar terlebih dulu, PHK-PHK massal dengan kekerasan politik karena militer campur tangan untuk membubarkan massa. Juga pembunuhan anak-anak jalanan karena mencuri kaca spion mobil. Ini kan sesuatu yang selama ini ditutupi oleh karpet indah pertumbuhan ekonomi. Begitu dibuka, muncullah semua. ** D&R: Ada perbedaan pendampingan saat Romo bertugas di Yogyakarta dan Jakarta? ** RSS: Tingkat konfliknya jauh lebih tinggi di sini, di depan mata. Tapi, intensitas pemiskinannya, di daerah tidak lebih rendah. Justru karena rezim ini mampu melakukan tenung politik secara luar biasa. Jadi, bius moralnya begitu merasuki pola pikir mereka, sehingga mereka tidak sadar. Untuk melakukan gerakan resistensi, mereka tak pernah frontal seperti di Jakarta. Kisah Pak Syafudin yang pernah jadi korban mati karena digusur dan dibakar, ia tak bisa keluar karena sedang sakit TBC waktu itu. Ini membuat masyarakatnya melakukan demo, kan? (Peristiwa penggusuran di Penas Lama, Kebon Nanas, Jakarta Timur, tahun 1991) ** D&R: Kompleksitas masalah yang Romo lihat seperti apa? ** RSS: Kami tidak pernah dipersiapkan secara kemampuan teknis. Itu enggak pernah ada. Untung saja, saya mendapat pendidikan dasar, seperti humaniora, filsafat, dan teologi. Saya kemudian merasa lebih bebas untuk bereaksi secara otonom. Karena, setiap konteks perubahan meninggalkan jejak baru. Saya tak bisa mengatakan bahwa saya berpengalaman dalam perburuhan (hanya) karena waktu itu saya pernah menyamar menjadi buruh pabrik gula di Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, dengan gaji Rp.350 per hari. Begitu berat. Dan, itu adalah pendidikan. Saya berani menyimpulkan, saya lebih banyak dididik di luar sekolah. Di jalanan, maksudnya. Dengan perjumpaan dengan perkara-perkara langsung, itu pendidikan bagi saya. ** D&R: Kalau begitu, Romo tidak kaget jika sering dijadikan kambing hitam? ** RSS: Dalam arti itu, ya, tidak kaget. Karena, sejak tahun 1989, sebetulnya, perkara dipanggil polisi atau Kodim biasa. Tapi, dulu kan genderang politiknya belum setinggi itu. Artinya, saya masih setingkat kampunglah. Saya masih mengurusi soal penggusuran. Memang, pernah, ya, saat 14.000 karyawan Gajah Tunggal mogok, saya dituduh sebagai penggerak. Dan, yang menuduh adalah orang Katolik sendiri. Benar, dari 14 pemimpin buruh itu, enam berasal dari kelompok yang kami dampingi di Tangerang. Tapi, terus dikatakan saya sebagai otaknya. Kalau kami membela buruh, memang ya. Tapi, buruh kan otonom. Mereka memperoleh itu sendiri, bukan karena saya. Soal saya dikambinghitamkan, menurut temuan kami, polisi itu sebenarnya juga korban. Karena, posisinya dalam militer adalah warga kelas dua. Mereka di garda depan saat berhadapan dengan massa. Seorang anggota brigade mobil bercerita kepada saya. Waktu massa menyerbu polsek, dia melihat baha yang memimpin massa saat menyerbu dikenalinya. "Masak, saya anggota pasukan khusus ditipu oleh pasukan khusus juga? Saya kenal siapa orang itu. Saya merasa terhina," ujarnya. ** D&R: Pasukan khusus itu dari Brimob juga? ** RSS: Persoalannya mungkin lebih dari itu. Saya melihat, sekarang ini ideologi kan sudah enggak laku. Komunisme ambruk. Kapitalisme juga habis. Jadi, ideologi dimakan oleh kenyataan. Sementara itu, ada masalah yang dinamakan imagologi. Ini lebih laku karena dia bicara dalam masyarakat yang menentukan mana yang ideal dan tidak untuk kepentingan kekuasaan. Contoh sederhana, pemilihan isu politik yang disebarkan ke masyarakat dalam bentuk propaganda, seperti anti-Cina. Pasca kerusuhan kan ada toko yang ditulisi "milik pribumi Islam" atau "Betawi asli". Itu kan sebetulnya imagologi yang artinya: di luar itu harus diberantas. Tanpa sadar, yang takut juga meneguhkan itu. Atau, mensosialisasikan itu. Lalu, ini yang terjadi, yang di Bosnia disebut sebagai kaum 'bigot' atau paganisme: fanatisme dan sektarian campur menjadi satu. Semua yang di luar "kami" atua "kita" harus dimusnahkan.*** [Mingguan D&R, No.44, 20 Juni 98] -- Kejahatan Menjadi Hal Biasa Oleh Haryatmoko PEMILU sudah dekat. Kesempatan semacam ini selalu diwarnai mobilisasi massa yang rentan terhadap kerusuhan. Peristiwa 27 Juli dan tragedi Mei 1998 masih segar dalam ingatan masyarakat. Namun, penguasa tampaknya tidak peduli terhadap masa lalu itu. Meski pemanggilan oleh Komnas HAM terhadap mereka yang ditengarai terlibat tak diacuhkan, penguasa dan wakil rakyat menutup mata. Bahkan, sulit menemukan partai politik yang mau peduli terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM itu. Seakan ada unsur kesengajaan untuk membungkam ingatan sosial (M Halbwach, 1950). Padahal, kejadian-kejadian itu telah melukai keyakinan masyarakat akan tatanan moral dan menggoyahkan kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Dan, yang paling menderita adalah korban. Tak ada keadilan, baik restitusi maupun rehabilitasi. Bahkan, korban harus menanggung viktimisasi kedua melalui intimidasi atau pemeriksaan berat. Status korban tak diakui. Masih kuat dalam jaring kekuasaan Rupanya ada upaya untuk melupakan dengan membiarkan para pelaku pelanggaran HAM menikmati impunity (tiada sanksi hukum). Impunity mengundang kecurigaan: ada konsesi politik yang menjadi bagian penopang kekuasaan. Akhir Perang Dunia II punya pesan moral jelas: "Para penjahat perang harus diadili dan dihukum", juga terhadap kasus pelanggaran HAM di Yugoslavia. Pesan moral itu bergema dan efektif karena datang dari pemenang perang. Masalahnya menjadi pelik ketika pelaku pelanggaran HAM bukan orang kalah dan masih kuat memiliki daya tawar kekuasaan. Kasus-kasus serupa terjadi di negara-negara Amerika Latin. Tahun 1978 di Cile diumumkan dekrit yang menarik semua tuduhan melawan polisi dan militer pelaku pelanggaran HAM; di Brazil rezim militer berakhir dengan amnesti atas para pelaku (1985); di Uruguay ada semacam amnesti (1989). Rupanya strategi moral dalam bentuk pengadilan dan hukuman dianggap amat berisiko dan mengancam upaya transisi damai ke sistem demokrasi dan rezim yang stabil. Di Argentina, selama proses peradilan terhadap para pelanggar HAM (1986-1987) terjadi empat kali usaha kudeta. Mungkinkah diam-diam Indonesia mengadopsi strategi melupakan demi stabilitas politik? Membungkam ingatan sosial Bila melupakan menjadi kebijakan, bukankah tuntutan untuk membangun ingatan sosial dan moralitas ditekan? Pertimbangan moral dikeluarkan dari politik. Seakan moral tidak relevan bagi politik. Apakah penguasa sadar, masyarakat sedang diajak mengabaikan kejahatan atas nama stabilitas politik? Masyarakat didorong melanjutkan hidup bersama seakan kejahatan itu tidak pernah terjadi. Strategi melupakan ini sama saja menerima dan menyebarkan bentuk baru banalisasi kejahatan (kejahatan kehilangan dimensi kedalamannya dan menjadi suatu hal yang biasa). Memang benar, tidak semua ingatan sosial akan membebaskan, namun melupakan akan mencekam kita karena dipaksa untuk melupakan (C Pereda, 2001:212). Pembungkaman ingatan sosial itu mengorbankan masa lalu yang penuh kepahitan yang sekaligus diketahui, namun harus disangkal. Upaya melupakan itu bukankah merupakan bentuk penghinaan terhadap korban? Melupakan bisa berubah menjadi kejahatan karena membiarkan kebencian. Kebencian membolehkan untuk melakukan segalanya: menyiksa dan membunuh. Bagaimana bisa mengusir dari ingatan sosial penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan yang dilakukan kelompok tertentu tanpa melalui proses peradilan? Hukum, infrastruktur ingatan sosial Ajakan melupakan dan mengampuni tanpa ada klarifikasi melalui proses hukum, yang menetapkan adanya pelaku pelanggaran dan korban, akan melukai ingatan sosial. Hukum tidak hanya berfungsi untuk membereskan konflik sosial, namun lebih penting lagi, ia menjadi sarana menuju kehidupan lebih beradab. Proses hukum merupakan infrastruktur untuk membangun kembali ingatan sosial dan mencegah terulangnya kekejaman yang sama. Bahwa ada pengampunan, islah atau amnesti baru berarti setelah berlangsung proses hukum. Hukum bukan dimaksudkan untuk alat balas dendam, namun dalam kehidupan publik, berfungsi melembagakan ingatan sosial akan kejahatan masa lalu yang kita cenderung tidak mengakuinya (C Pereda, 2001:213). Proses hukum menjadi perjuangan moral untuk memutuskan apa yang perlu diingat dan mana yang harus ditekan atau dilupakan. Berarti ia menjadi cara membangun monumen peringatan, tidak ke masa lampau, tetapi untuk memperingatkan masa depan. Cara ini berperan mencegah terjadinya banalisasi kejahatan (H Arendt, 1963). Ragam banalisasi kejahatan Bentuk pertama banalisasi kejahatan ialah bahwa orang melakukan kesalahan tanpa berpikir, bahkan tanpa ada motif sama sekali untuk melakukan itu. Jadi, kejahatan dilakukan karena orang tidak mampu menyadari bahwa perbuatannya itu jahat (H. Arendt, 1963:287). Berarti banalisasi kejahatan disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir untuk diri sendiri. Kasus semacam ini biasa menimpa para prajurit yang melakukan penculikan atau pembunuhan karena perintah atasan. Telah terjadi distorsi imperatif kategoris, lalu rumusannya menjadi "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga pemimpin tertinggi, jika ia mengetahui tindakanmu, akan menyetujuinya" (H Arendt, 1963:136) Bentuk kedua banalisasi kejahatan ialah karena motif sepele atau penting lalu melakukan kesalahan, namun tindakan yang salah itu menjadi malapetaka karena situasi sosial tertentu yang tidak diperhitungkan (C Pereda, 2001:217). Karena perkelahian anak kecil, dua orang bertetangga tidak saling menyapa. Didorong emosi, yang satu mengeluarkan umpatan menuduh tetangganya terlibat gerakan terlarang. Tetangganya ditangkap. Suasana tegang saat itu menyebabkan orang-orang yang pernah berhubungan dengannya ikut dicurigai dan ditangkap. Banalisasi kejahatan terjadi karena ketidakmampuan memikirkan konsekuensi fatal yang langsung dan yang jangka panjang. Bentuk ketiga banalisasi kejahatan ialah menyerah diri terhadap institusi yang dianggap tak terhindarkan atau suatu bentuk rutinisasi kejahatan. Bentuk banalisasi kejahatan ini sering digunakan untuk memberi pembenaran terhadap korupsi. Dalam kasus ketiga ini orang terbiasa membiarkan diri melakukan kejahatan dan menyerah tidak melakukan perlawanan karena takut dicurigai atau dinafikan dari sistem. Bentuk ketiga ini diperparah dengan adanya impunity karena membiarkan kejahatan tanpa sangsi hukum. Ini berarti mengecilkan makna kejahatan. Padahal, akibatnya membuat pihak lain dirugikan dan menderita sampai melukai fisik, hasrat, kepercayaan, perasaan, dan emosi. Kebencian vs berpikir kritis Mekanisme banalisasi kejahatan yang amat umum terjadi ialah dengan mendefinisikan korban sebagai musuh. Mekanisme ini beroperasi mendasarkan kebencian. Namun, tidak ada sebab khusus yang mendorong kebencian terhadap korban, kecuali doktrin yang telah didefinisikan. Hanya karena beragama lain, karena orang asing, karena etnis lain cukup untuk memicu kebencian yang sebetulnya didasarkan pada mekanisme "segalanya atau tidak sama sekali". Maka sikap memutlakkan ini tidak perlu disertai perasaan tertentu. Padahal, biasanya sikap mencerminkan perasaan tertentu. Pemutlakan ini sering menjadi slogan, seperti dalam kasus konflik antaragama "Semua diperbolehkan demi Tuhan". Tak ada kehendak untuk memeriksa atau memikirkan kasus per kasus, mendiskusikan, menegosiasikan, apalagi mengambil jarak dan mengkritisi keyakinan atau ilusinya. Ketidakmampuan berpikir adalah kegagalan moral. Menurut H Arendt, ada hubungan langsung antara tiadanya pikiran kritis dan kejahatan (1963:288). Tiadanya pikiran kritis tidak sama dengan bodoh. Ketidakmampuan berpikir kritis, keengganan berpikir dengan menempatkan diri pada posisi orang lain, menjadi lahan subur kebencian dan menghilangkan rasa tanggung jawab seseorang sehingga terjerat banalisasi kejahatan. Jadi, banalisasi kejahatan yang muncul dari kebencian itu datang dari hasrat yang tak terbatas (semua diperbolehkan karena musuh). Hasrat ini lahir dari sempitnya pandangan, mengabaikan pandangan alternatif, menolak semua bentuk kritik. Meski orang semacam ini juga membaca dan mendengarkan, tujuannya bukan untuk belajar, namun untuk mendapat informasi lebih akurat dan dukungan tambahan bagi prasangka yang sudah hidup dalam benaknya. Masalah tanggung jawab menemukan fokusnya. Tanggung jawab atas tindakan berasal dari tanggung jawab atas suatu keyakinan dan hasrat. Kedua hal terakhir ini banyak dibentuk oleh kebiasaan lingkungan (keluarga, pendidikan, agama). Bila lingkungan tidak memberi ruang bagi perbedaan pendapat dan sikap kritis, ia jadi tanah subur kebencian dan banalisasi kejahatan. Orang sulit mandiri. Padahal, orang bisa bertanggung jawab bila membiasakan diri menghindari ketaatan buta, penghambaan pada kekuasaan atau institusi (agama, politik). Maka, menghindari pertimbangan berat sebelah perlu, dengan cara membiasakan berpikir menempatkan diri pada posisi orang lain. Haryatmoko Pengajar Program Pascasarjana UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kompas Rabu, 03 September 2003 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/03/opini/527239.htm ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Ever feel sad or cry for no reason at all? Depression. Narrated by Kate Hudson. http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/