CATATAN YANG TERSISA SEKITAR 14 MEI

Kerusuhan sekitar pertengahan Mei 1998 lalu masih
menyisakan penggalan-penggalan kisah dan pengalaman
hidup yang membekas di hati. Jakarta mendadak dilanda
kepanikan dan amuk massa yang diikuti pembakaran dan
penjarahan toko. Inilah bagian dari kisah-kisah yang
tercecer saat itu. 

Kalau menurut perhitungan Cap Ji Shio, tahun 1998 ini
disebut "Tahun Macan Melintas Gunung". Gambaran
peristiwanya menjadi begitu menyeramkan karena tahun
itu diberi makna sebagai tahun penuh bahaya!

Seperti dikutip Intisari Desember 1997, dalam tulisan
berjudul "Tahun 1998 Makin Memprihatinkan", sejumlah
paranormal menguraikan berbagai ramalannya tentang
situasi dan peristiwa yang mungkin terjadi pada Tahun
Macan ini. Di antaranya ada yang menyinggung kondisi
politik di tanah air yang makin berat dan panas.

Betul! (Atau kebetulan?) Tak sampai lima bulan sejak
diterbitkan, ramalan sejumlah paranormal itu menjadi
kenyataan. Situasi politik yang terus memanas akibat
krisis moneter sejak Juli 1997 mencapai puncaknya
setelah kasus penembakan yang menewaskan empat orang
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta pada 12 Mei
1998.

Tidak berhenti di situ, dua hari setelah tragedi
berdarah itu meledaklah berbagai kerusuhan dan
penjarahan yang diikuti pembakaran oleh massa terhadap
bangunan pertokoan dan fasilitas umum lainnya di
berbagai sudut ibu kota. Mimpi buruk yang berlangsung
selama dua hari itu tak pelak membuat kegiatan
sebagian besar warga ibu kota dan sekitarnya praktis
terhenti. Angkutan umum nyaris tak ada yang
beroperasi. Para pekerja maupun karyawan mengalami
kesulitan mencapai rumah masing-masing. Begitu pun
yang menggunakan kendaraan pribadi mengingat kerusuhan
di titik-titik tertentu masih berlangsung, termasuk di
beberapa ruas jalan tol. Kepanikan merambat ke
mana-mana.

Cerita pengalaman sejumlah pekerja maupun karyawan
yang berusaha pulang ke rumah dari tempat kerjanya
pada Kamis, 14 Mei 1998, ketika terjadinya berbagai
kerusuhan di Jakarta, mungkin memperkaya gambaran
betapa tindakan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab itu menyengsarakan banyak orang.

Bau tikus
"Pulang dari kantor pada hari Kamis itu saya dihadang
beberapa kali oleh anak-anak muda yang memberi isyarat
agar saya tidak meneruskan perjalanan, tapi kembali
dan memilih jalan lain. 'Ada demo!' kata salah
seorang," cerita Slamet yang hendak pulang ke rumahnya
di kawasan Jakarta Selatan.

Selama menuju ke Kompleks Perumahan Pertanian melalui
"jalan tikus", Slamet "kagum" betapa banyak orang
turun ke jalan yang sepi. Mereka berkerumun di
mulut-mulut gang seperti sedang menunggu sesuatu. Di
pertigaan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Rasamala, ia
dimintai uang. Caranya meminta dengan bahasa Tarzan,
hanya dengan melambaikan tangan yang menggenggam
segepok uang. "Karena saya tidak mau merugi beberapa
ratus ribu rupiah kalau mobil diperbaiki di bengkel
karena dirusak, saya relakan Rp 1.000,- untuk pungli,"
katanya sambil menambahkan, sebelumnya ia mendengar
ada mobil yang dirusak hanya karena penumpangnya tidak
mau memberi pungli cepekan.

Yang bikin ia makin terheran-heran, setiba di rumahnya
di belakang pasar swalayan Hero itu, ia melihat banyak
orang yang mendorong trolley lewat di jalan depan
rumahnya. Isinya barang jarahan dari Hero.

Pasar swalayan itu tidak hanya dijarah isinya, tapi
juga dibakar sesudahnya. Asap hitam yang tebal
mengepul dari tempat gedung Hero yang sudah dijarah.
"Ketika api makin membesar, penghuni kompleks yang
paling dekat rumahnya dengan Hero panik dan mengungsi
karena khawatir kalau api menjalar ke rumah mereka,"
cerita Slamet.

Api ternyata dapat dikuasai dan dipadamkan. Para
penghuni malam itu kembali ke rumah masing-masing,
tetapi esok malamnya disiksa bau tikus yang
merajalela.

"Ini bukan tikus!" komentar salah seorang penghuni.
"Masak Hero ada tikusnya. Mungkin itu bau mayat yang
terbakar dan tidak ada yang mengurus!"

Sampai tiga hari lamanya bau tikus, atau bangkai, atau
mungkin juga bangkai tikus, itu meneror penghuni
kompleks belakang Hero. Sesudah itu tidak berbau lagi.
"Mungkin bangkai sudah disingkirkan, tapi di
koran-koran tidak ada berita tentang mayat tikus di
gudang Hero," tuturnya.

Dua hari sesudah kerusuhan, bertiup kabar bahwa
perusuh atau penjarah akan mengalihkan operasinya ke
perumahan penduduk. Kepanikan pun mulai merasuki
segenap penghuni kompleks-kompleks perumahan.

"Pada 16 Mei saya mendapat telepon dari keponakan saya
bahwa malam itu Jakarta Selatan akan kedatangan
gerombolan perusuh atau penjarah dari Bogor melalui
Depok dan mereka dikerahkan dengan tiga truk. Saudara
saya menambahkan, saat itu rumah-rumah di Lenteng
Agung sudah dilempari batu dan ia meminta kami
besiap-siap, termasuk mengumpulkan surat-surat
berharga, apa saja, untuk diamankan," cerita Slamet.

Tak pelak seluruh keluarganya jadi panik. Pintu pagar
halaman depan rumahnya lantas digembok sore-sore,
garasi ditutup rapat, dan pintu rumah selain dikunci
dan digembok juga diganjal dengan penghalang berupa
kursi gajah yang berat. Di tembok belakang rumah
istrinya memasang tangga. Kalau sampai perusuh
memasuki halaman, mereka akan mengungsi ke rumah
tetangga di belakang melalui pagar tembok.

Surat-surat penting sudah dimasukkan ke dalam map dan
siap dibawa kabur. Tapi malam itu tidak terjadi
apa-apa. "Kedatangan perusuh yang dikerahkan dengan
tiga truk itu hanya 'rumor yang ditiupkan oleh pihak
tertentu'," tutur Slamet.

Paspornya ketinggalan
"Hari Kamis itu saya dan suami memutuskan tidak ke
kantor setelah dua hari sebelumnya lalu lintas di
beberapa ruas jalan kacau dan keamanan pengguna jalan
tidak terjamin akibat kerusuhan," kata Lilian (41)
yang tinggal di kompleks perumahan Kelapa Gading,
Jakarta Timur.

Namun ia terus mengikuti perkembangan situasi ibu kota
lewat siaran radio. Beritanya tidak makin
menenteramkan tapi justru semakin membuat mereka
tegang. Apalagi sekitar pukul 10.00 tersiar kabar
penjarah dari arah Tanjung Priok, Jakarta Utara, sudah
masuk ke Kompleks Perumahan Kelapa Gading lewat pintu
Sunter.

"Saya diberi tahu oleh tetangga depan rumah agar
berhati-hati karena ada beberapa mobil terparkir di
depan rumah mereka," tutur ibu yang berputra dua ini.
Tak berapa lama terpampang papan darurat bertulisan
cat putih yang dibuat tergesa-gesa. "Pri-bu-mi, begitu
anak saya yang baru bisa membaca mengejanya. 'Apa sih
pribumi itu? Apa kalau pribumi tidak akan diserang?'
tanya anak saya. 'Mungkin,' jawab saya meski dalam
hati mencuat kegetiran: di mana pembenarannya andaikan
rumah kami hancur hanya karena tidak terpampang papan
semacam itu sementara rumah tetangga kami itu utuh?"
ucap Lilian.

Betapapun peristiwa ini ada hikmahnya. Kaum pria
penghuni kompleks yang tadinya tidak saling kenal,
sejak itu tampak menyatu lewat kegiatan siskamling.
"Tiba-tiba saja suami saya jadi lebih akrab dengan
tongkat besi daripada dengan istrinya sendiri karena
ke mana pun selalu ditenteng," kata Lilian.

Warga kompleks tempat tinggal Lilian diserang
kepanikan lagi ketika Kamis malam pukul 22.00 terjadi
serangan massa dari arah Pulo Gadung di pintu gerbang
Jl. Perintis Kemerdekaan, hanya beberapa kilometer
dari kompleks perumahannya. "Syukurlah serangan itu
dapat dipatahkan oleh pasukan keamanan. Konon ketika
itu tertangkap sekitar 40-an pelaku yang rata-rata
masih amat muda, berikut barang bukti sebuah truk yang
esok paginya tampak nongkrong di halaman kantor Polsek
di seberang rumah."

Namun kepanikan kembali menyergap ketika salah sebuah
koran nasional terbesar menurunkan berita bahwa
kawasan Kelapa Gading merupakan satu-satunya sentral
ekonomi yang tidak tertembus perusuh. Sebab, para
penghuni kompleks perumahan itu lebih suka berita itu
menyatakan kalau wilayah mereka telah "kena", agar
tidak membangkitkan rasa penasaran di pihak perusuh.

Suasana ketakutan memang lahan yang subur bagi
berkembangnya isu, yang pada gilirannya semakin
meningkatkan kadar ketakutan warga. "Di puncak
ketegangan, untuk menjaga segala kemungkinan saya
mempersiapkan diri dan seluruh 'staf rumah tangga'
saya untuk kabur. Berulang-ulang saya beri tahukan
prosedur yang dilakukan anak saya seandainya keadaan
memaksa kami kabur," kisah Lilian.

Ia juga berprinsip, betatapun indahnya, mahalnya,
langkanya, atau saratnya kenangan, harta benda yang
mereka miliki tak seberapa nilainya dibandingkan
dengan nyawa orang-orang yang mereka kasihi. "Saat itu
saya dihadapkan pada cermin yang jujur tentang diri
sendiri. Di dalam tas darurat itu terdapat Kitab Suci,
kamera foto dan video, kaset-kaset rekaman pertumbuhan
kedua anak kami, di samping dua setel pakaian ala
kadarnya," ungkap Lilian.

Setelah krisis berlalu, ia baru menyadari, paspornya
masih tersimpan rapi di lemari.

Istrinya tak pulang
"Kamis kelabu itu saya tetap masuk kantor. Dari lantai
lima gedung kantor, saya bisa melihat asap hitam
mengepul dari sejumlah titik pusat kerusuhan di
Jakarta Barat. Dari laporan radio swasta saya tahu,
massa yang berkerumun di sekitar Kampus Universitas
Trisakti yang sedang berkabung mulai membakar kantor
stasiun pompa bensin di seberang kampus itu, dan
bergerak ke arah barat sambil merusak sejumlah deretan
pertokoan di Jl. Daan Mogot," tutur Suyanto (34).

Tampaknya pengaruh kerusuhan di kawasan itu mulai
berdampak terhadap situasi lalu lintas jalan yang
berasal atau menuju kawasan yang dilanda kerusuhan
itu. Berangsur-angsur jalanan di seputar kantor
tempatnya bekerja jadi lengang. Apalagi ketika deretan
pertokoan di dekat kantornya yang berjarak sekitar 2
km dari kerusuhan itu mulai dilanda kerusuhan dan
penjarahan pula. "Melihat perkembangan situasi yang
makin mengkhawatirkan itu, saya memutuskan pulang
lebih awal. Kebetulan teman sekantor yang tinggal
sekompleks mengajak saya pulang," kata Yanto.

Saat dalam perjalanan pulang ke kawasan Jatiasih,
Bekasi (sekitar 35 km dari Jakarta), menurut Yanto,
pengaruh itu semakin tampak. Ribuan calon penumpang
berderet di tepi-tepi jalan menunggu angkutan umum
yang saat itu menjadi barang langka. Suasana jalan tol
yang biasanya padat, siang itu sepi dan terasa
mencekam. Bahkan pengguna jalan tol dalam kota tidak
ditarik bayaran karena pintu gerbangnya sudah
ditinggalkan para petugas. "Jalanan benar-benar sepi
sehingga saya tiba di rumah satu jam lebih awal dari
biasanya," katanya.

"Bekasi seperti mau kiamat," kata istrinya, yang masih
berada di tempat kerjanya di Cikarang, lewat telepon.
Dari Cikarang menuju Jatiasih memang harus melewati
Bekasi yang ketika itu sudah dilanda kerusuhan.
Situasi itu menyebabkan istrinya terpaksa menginap di
rumah seorang teman kerjanya. Padahal di rumah ia
ditunggu bayinya yang masih menyusu. "Keruan saja saya
jadi khawatir apakah anak saya nanti tidak rewel?"
kata Yanto sembari menambahkan, semula ia bermaksud
mau menjemput istrinya dengan sepeda motor namun urung
mengingat situasi jalan menuju ke tempat kerja
istrinya, menurut laporan, sudah sangat gawat.

Wajar kalau pria ini tak bisa tidur dengan tenang.
Ketika rumahnya diketuk-ketuk orang sekitar pukul
02.00 dini hari, kontan saja jantungnya
berdebar-debar. Rupanya yang datang ketua RT. Ia
mengajak warganya untuk berjaga-jaga sembari membekali
diri dengan "senjata" apa saja mengingat keadaan di
sekitar perumahan semakin gawat. "Kabarnya ada perusuh
yang sudah mendekati perumahan kami. Sembari
berjaga-jaga, kami mendengarkan siaran radio yang
terus mengabarkan kerusuhan, pemabakaran, dan
penjarahan sudah berlangsung di banyak tempat. Malam
itu rasanya merambat sangat pelan. Untunglah perusuh
yang dikabarkan mau menyerang itu tidak datang, tapi
saya berharap malam kelabu itu tidak terulang lagi,"
kata pria asal Yogya ini.

Terkurung di gedung
Kalau di hari biasa perjalanan dari kantornya di
bilangan Senayan menuju tempat tinggalnya di Bogor
paling lama dua jam, pada Kamis, 14 Mei 1998, itu
"ditempuh" hampir delapan jam. "Itu pengalaman pahit
saya dan beberapa teman yang kebetulan tinggal di
Bogor dan bekerja di Jakarta," tutur Yahya (43).

"Sebenarnya beberapa waktu sebelum kerusuhan melebar
di berbagai sudut Jakarta, kami para karyawan sudah
diizinkan pulang lebih awal. Namun saya tidak pernah
mengira kalau kerusuhan itu bakal menjalar ke
mana-mana sehingga saat memutuskan pulang, keadaan
sudah cukup parah terutama soal sulitnya memperoleh
sarana transportasi," katanya.

Pukul 15.45 ia bersama 12 rekan sekantor (tujuh
laki-laki, lima wanita), yang sebagian besar bertempat
tinggal di Bogor, memutuskan untuk mencoba nebeng bus
karyawan Departemen Kehutanan di Gedung Manggala Wana
Bhakti, Jl. Gatot Subroto. Sebagian besar dari 20 bus
karyawan Dephut itu bertujuan Bogor, dan biasanya
meninggalkan gedung itu pukul 16.15. "Kantor saya
hanya berjarak sekitar 10 menit berjalan kaki ke
Gedung Manggala Wana Bhakti," ujar Yahya.

Mereka memang diperbolehkan ikut menumpang. Cuma kapan
berangkatnya, para pengemudi tidak bisa memastikan.
"Mula-mula ada yang bilang bus akan berangkat jam enam
sore," tutur Yahya.

Karena pada pukul 17.30 bus belum berangkat mengingat
situasi di sekitar jalur dalam kota menuju Bogor masih
dilanda kerusuhan, mereka pun ikut turun dari bus dan
berbaur dengan para penumpang lain karyawan Dephut.
Sementara terus menunggu, perut tampaknya mulai minta
diisi. Seperti dikomando, mereka menyerbu para penjual
makanan di sekitar gedung itu sampai banyak calon
pembeli yang gigit jari tidak kebagian. "Untung saya
masih kebagian tahu sumedang berikut lontongnya dan
cukup untuk beberapa rekan saya lainnya. Lumayan untuk
ganjal perut," tutur Yahya.

Sementara itu, asap hitam masih tampak mengepul dari
arah Pasar Palmerah. Kawasan pasar itu hanya beberapa
ratus meter saja dari Gedung Manggala. "Selama itu
pula kami mendapat kabar, entah dari mana datangnya,
kalau kerusuhan serupa sudah melanda Cibinong, Ciawi,
dan juga Bogor. Saya semakin tidak tenang mengingat di
rumah hanya ada ibu dan kakak perempuan saya. Namun
ketika ibu saya bilang lewat telepon bahwa Bogor
aman-aman saja, saya agak lega."
Pukul 18.30 bus diputuskan untuk berangkat secara
konvoi. Situasi jalanan yang dilewati sangat sepi dan
gelap bak kota mati. Begitu pula ruas jalan tol Grogol
- Cawang nyaris tak ada kendaraan lewat. Karena itu
para pengemudi bus itu pun merasa sah saja masuk tol
lewat pintu keluar yang pertama kali dijumpai dengan
cara mundur sebelum kemudian melaju ke arah Cawang.

Namun ketika baru tiba di jembatan layang Kuningan,
bus tidak bisa melanjutkan perjalanan karena, menurut
laporan, kerusuhan sudah merambah jalan tol di depan
sana. "Katanya, kendaraan yang lewat di jalan tol itu
pada dilempari perusuh," kata Yahya. Konvoi bus
karyawan Dephut pun tak mau ambil risiko (meskipun
kabarnya ada dua bus yang nekat melaju), dan ikut
berbalik arah bersama beberapa kendaraan lain.

Semakin malam suasana membuat mereka semakin tegang.
Kompleks pertokoan Palmerah akhirnya dibakar setelah
dijarah. Cerita mengenaskan pun bermunculan. Misalnya,
sebuah keluarga yang tinggal di seberang kompleks
pertokoan itu akhirnya tewas terbakar berikut tempat
tinggalnya yang merangkap toko.

Sebuah lobi Gedung Manggala Wana Bhakti malam itu tak
pelak berubah menjadi semacam tempat penampungan
pengungsi. Para penumpang bus bergeletakan di lantai
menunggu keberangkatan bus sambil menahan kantuk dan
lapar serta dinginnya AC. "Suatu ketika, entah dari
mana sumbernya, beberapa teman wanita yang sudah
kelaparan mengajak naik ke lantai dua. Katanya, di
sana ada pembagian mi instan. Ternyata kami kecele, di
tempat itu tidak ada apa-apa," cerita Yahya.

Akhirnya, sekitar pukul 00.25 bus diberangkatkan
menuju Bogor. Kali ini, kata Yahya, bus masuk jalan
tol lewat prosedur yang benar meskipun pintu
gerbangnya sudah ditinggalkan petugas. Jalan yang
dilalui konvoi bus tampak sudah aman, kendati di
beberapa bangunan yang dibakar tampak api masih
menyala serta sejumlah bangkai mobil. Memasuki gerbang
tol Jagorawi keadaan aman-aman saja. "Namun tak berapa
lama setelah itu di depan bus serombongan orang
tamapak mengacung-acungkan tangan di tengah jalan tol.
Saya, dan mungkin juga penumpang bus yang lain cemas,
jangan-jangan mereka penjarah. Kami tak mau ambil
risiko, pengemudi bus pun tancap gas atas permintaan
para penumpang setelah sempat memperlambat laju
kendaraannya atas permintaan penumpang juga,"
tuturnya.

Tepat pukul 01.05 bus yang ditumpangi Yahya tiba
dengan selamat di depan Terminal Baranangsiang, Bogor.
Ia dan beberapa rekannya turun setelah mengucapkan
terima kasih kepada pengemudi dan penumpang "resmi"
lainnya. "Perjalanan kami lanjutkan dengan mencarter
sebuah angkot yang kebetulan lewat pada dini hari itu.
Salah seorang teman saya melanjutkan perjalanan ke
rumah dengan naik ojek. Tiba di rumah saya tak mampu
segera memejamkan mata setelah mimpi buruk sepanjang
sore dan malam hari itu," kata Yahya mengakhiri
kisahnya.

Hari-hari kemarin "macan-macan yang melintas gunung"
memang tengah masuk ke kota dan keluyuran tak keruan
mencari mangsa. Syukurlah, peristiwa mengenaskan ini
sudah berlalu. Memang setelah semua kembali normal,
berbagai gugatan muncul dalam hati. Mengapa musibah
ini terjadi? Apa yang menyebabkan masa mengamuk,
membakar, dan menjarah? Siapa sebenarnya biang keladi
semua ini? Sambil menunggu jawaban dari deretan
pertanyaan di atas, ada baiknya semua pihak mengambil
hikmah. Dari kepulan asap pertokoan yang terbakar,
kepanikan warga masyarakat, dan riuh rendahnya aksi
penjarahan, terlukis cermin besar. Sebagian wajah kita
ada di sana. Ada yang licin bersih, ada yang
berkeringat, dan samar-sama ada yang berlepotan.
Semoga ini tak terulang lagi. (Tim Intisari)

http://www.indomedia.com/intisari/1998/juni/14mei.htm

--
ULAH PENJARAH

SEORANG bocah lelaki seusia kelas V SD tampak berjalan
tergopoh-gopoh sembari memegangi saku-saku baju dan
celananya yang tampak menonjol-nonjol.

Di tengah jalan bocah itu bertemu dengan teman
sebayanya yang menyapa, "Dapat apa kamu?"

"Henpon (maksudnya handphone atau telepon genggam -
Red.)"

"Bagi dong satu!"

Tanpa pikir panjang bocah lelaki yang habis
"memborong" sejumlah telepon genggam dengan harga
"diskon" 100% di sebuah toko itu dengan entengnya
merogoh salah satu saku dan mencomot sebuah telepon
genggam untuk diberikan kepada temannya.

Penjarahan oleh sekelompok massa terhadap toko ataupun
pusat perbelanjaan di Jakarta beberapa waktu lalu
seperti itu, dalam sekejap telah melahirkan
tindakan-tindakan anarkis di mana si pelaku seperti
kehilangan rasa bersalah. "Saya mendapat lima kantung
besar sembako. Ada susu kaleng, gula pasir, dan
macam-macam biskuit. Selain itu saya juga dapat sebuah
gitar Spanyol," kata tukang ojek, langganan Heryono
(33), yang ikutan menjarah sebuah pasar swalayan di
bilangan Matraman. "Kalau ada yang berani menawar Rp
150.000,-, gitar itu akan saya lepas," lanjutnya.

Heryono juga sempat menguping pembicaraan empat anak
muda di gang belakang rumahnya di kawasan Matraman.
Mereka ternyata sedang berembuk soal hasil jarahan
mereka. "Pokoknya kalau barangnya sudah laku dijual,
uangnya harus dibagi rata," kata salah seorang. "Dan,
uang dolarnya ditukar dulu."

Heryono yang sempat pulang jalan kaki dari kantornya
di bilangan Senayan ketika peristiwa kerusuhan terjadi
itu bahkan sempat ketamuan tetangganya yang menanyakan
harga komputer di pasaran. "Ya, tergantung mereknya,"
jawab Heryono. Namun tetangganya itu langsung pamit
dan mengeloyor pulang setelah tahu kalau Heryono itu
salah seorang karyawan perusahaan yang masih satu grup
dengan toko tempat ia ikut menjarah.

Barangkali tetangga Heryono tergolong penjarah yang
masih punya urat malu. Namun penjarah yang satu ini
boleh dijuluki "pahlawan". Di Cireundeu, selatan
Jakarta, sebuah toko penjual beras yang sudah
ditinggalkan pemiliknya mengungsi dijebol perusuh.
Tapi ada seorang di antara kerumunan penjarah yang
melakukan gagasan tak lazim di kalangan kaum penjarah.
Bukannya mengambili barang-barang di dalam toko, tapi
ia malah menjual barang dagangan di toko itu bagi
masyarakat kurang mampu. Sekarung beras 25 kg yang
dalam kondisi normal dijual seharga Rp 50.000,-,
misalnya, waktu itu dijual cuma Rp 30.000,-.

"Uang hasil penjualan ini akan saya berikan lagi ke si
engkoh, saya tahu kok rumahnya," ujarnya kepada Shanti
(31) yang ikut iseng menonton aksi penjarahan itu.

Betapapun pahitnya tragedi masih ada komedi.

http://www.indomedia.com/intisari/1998/juni/b_14mei.htm






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Ever feel sad or cry for no reason at all?
Depression. Narrated by Kate Hudson.
http://us.click.yahoo.com/LLQ_sC/esnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke