Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia 
 
Oleh : Benny G.Setiono

Peristiwa 13-14 Mei 1998 yang telah meluluh-lantakkan
ribuan ruko, toko, rumah tinggal, pusat pertokoan,
bengkel, apartemen, supermarket, kendaraan bermotor
baik roda empat maupun roda dua, bahkan juga perkosaan
terhadap perempuan-perempuan Tionghoa di Jakarta dan
Solo merupakan puncak kehancuran martabat dan jati
diri etnis Tionghoa di Indonesia. 

Selama pemerintahan rejim Orde Baru secara
terus-menerus terjadi kerusuhan anarkis anti Tionghoa,
namun kerusuhan Mei adalah puncak dari aksi kerusuhan
tersebut. Banyak orang sebelumnya berpendapat bahwa
kerusuhan anti Tionghoa tidak mungkin terjadi di 
Jakarta, tetapi ternyata menjelang keruntuhan rejim
Orde Baru, puncak kerusuhan tersebut justeru 
dibiarkan berlangsung aparat keamanan di ibukota.
Dengan kasat mata seluruh dunia dapat menyaksikan
bagaimana kerusuhan yang berlangsung selama dua hari
penuh, dibiarkan aparat keamanan tanpa melakukan suatu
tindakan apapun. Jadi terbukti  apa yang selama ini
dikuatirkan, etnis Tionghoa memang dijadikan bumper
dan tumbal keruntuhan rejim Orde Baru pimpinan
Presiden Soeharto.

Sungguh menyedihkan sekali melihat etnis Tionghoa
demikian tidak berdaya menghadapi segala penindasan
terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan hanya
menyelamatkan diri untuk sementara waktu ke luar
negeri, atau ke Bali dan Kalimantan Barat bagi mereka
yang masih mempunyai uang, bagi yang tidak mempunyai
uang  sudah tentu hanya bisa pasrah atas semua
kekerasan dan penderitaan yang menimpa dirinya
tersebut.

Etnis Tionghoa yang semasa pemerintahan rejim Orde
Baru tampak seolah-olah demikian “gagahnya” ternyata
hanya  dalam waktu sekejap dapat dibuat tidak berdaya.
Ini yang tidak pernah disadari oleh kebanyakan etnis
Tionghoa di Indonesia. Mereka selama ini terlampau
dinina-bobokan, seolah-olah rejim Orde Baru adalah
adalah segala-galanya, yang memberikan kemakmuran dan
keamanan atas dirinya. Mereka selalu berusaha
menghindari wilayah politik, seolah-olah politik
adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Mereka tidak
menyadari bahwa tanpa turut bermain di wilayah
politik, sebesar apapun kekuatan mereka di bidang
ekonomi akan dengan mudah dibuat tidak berdaya. Memang
oleh rejim Orde Baru peluang etnis Tionghoa untuk
terjun ke wilayah politik sangat dibatasi, terutama
dengan melekatkan stigma “Baperki” yang hasilnya
terbukti sungguh-sungguh sangat ampuh. Sebaliknya
segelintir etnis Tionghoa “dirayu” agar mau menjadi
kroni dalam melakukan KKN yang sangat menyengsarakan
rakyat, yang akibatnya kita tanggung sampai saat ini.

Sebagai perantau yang mencari kehidupan baru di
Indonesia, selama ratusan tahun etnis Tionghoa selalu
menjadi pelengkap penderita, walaupun kedatangan etnis
Tionghoa di negara-negara yang menjadi pilihannya
semata-mata bertujuan mencari kehidupan baru atau
memajukan perdagangan tanpa sedikitpun melakukan
kekerasan, apalagi dengan tujuan-tujuan untuk menjajah
seperti yang dilakukan bangsa-bangsa kulit putih.

Dari sejarah kita memperlajari bahwa jauh sebelum
kedatangan orang kulit putih, telah berdiri
pemukiman-pemukiman etnis Tionghoa di sepanjang
pesisir utara pulau Jawa. Demikian juga di Sumatera
Selatan (sekitar Palembang) dan pantai barat
Kalimantan (sekitar Singkawang dan Pontianak). Mereka
hidup damai dengan penduduk setempat dan mengajarkan
cara-cara bercocok tanam dan pertukangan yang sudah
tentu sangat membantu penduduk setempat. Di samping
melakukan pengumpulan hasil-hasil pertanian mereka
juga melakukan perdagangan eceran, pertukangan,
industri kecil seperti industri tahu, gula, alcohol
dsbnya. Mereka juga turut menyebarkan agama Islam di
sepanjang pesisir pulau Jawa, yang dapat kita buktikan
apabila kita mengunjungi mesjid-mesjid dan makam-makam
para  Walisongo.[1]

Namun kedatangan orang kulit putih terutama Belanda
yang mempunyai niat untuk menguasai kepulauan
Nusantara merusak hubungan baik etnis Tionghoa dengan
penduduk setempat terutama dengan etnis Jawa.

Pada awalnya orang-orang Belanda menggunakan etnis
Tionghoa untuk membantu membangun kota Batavia. Ketika
pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi
Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda dan bermaksud
memindahkan kantor dagangnya dari Maluku ke Jayakarta,
ia merayu Souw Beng Kong pemimpin komunitas Tionghoa
di Banten untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa
dari Banten ke Jayakarta yang kemudian diubah namanya
menjadi Batavia. Kepada bawahannya Coen berkata :
“Siapa pun yang berniat membangun dan memperluas
pengaruh Belanda harus bekerja- sama dengan
orang-orang Tionghoa, karena mereka bangsa yang ulet,
rajin dan suka bekerja“. Dalam laporannya kepada
Heeren XVII di Belanda ia menyatakan : “ Tak seorang
pun  di dunia yang mengabdi kepada kita dengan lebih
baik selain orang Tionghoa, terlampau banyak dari
mereka yang tidak dapat dibawa ke Batavia “.[2]

Sebagai balas jasa, Souw Beng Kong diberi pangkat
Kapitan Tionghoa ( Kapitein der Chinezen) yang pertama
di Hindia Belanda. Inilah untuk pertama kali seorang
tokoh etnis Tionghoa berhasil dirayu Belanda untuk
bekerja sama dengan mereka dan memisahkannya dengan
penduduk setempat. 

Dengan pangkat tituler tersebut Souw Beng Kong
ditugaskan untuk mengatur dan mengendalikan  komunitas
Tionghoa di Batavia agar patuh kepada setiap peraturan
yang dibuat VOC. Coen segera memerintahkan agar Souw
Beng Kong membangun kota dan  memajukan perdagangan
Batavia dengan mengalihkan jung-jung  dari Tiongkok
untuk merapat di bandar Batavia. Ia melakukan monopoli
perdagangan  dengan memblokade pelabuhan Banten dan
melarang pedagang Tionghoa memasuki Banten. Akibatnya
pelabuhan Banten menjadi sepi dan hubungan etnis
Tionghoa dengan Sultan Banten menjadi renggang dan
kurang harmonis.  

Pada masa pemerintahannya di samping membujuk dan
mengusahakan pindahnya etnis Tionghoa dari Banten,
Coen banyak mendatangkan tenaga dari daratan Tiongkok
untuk dijadikan kuli, tukang dan pedagang eceran demi
memajukan koloni dan perdagangannya. Pelaut Belanda
tidak segan-segan merompaki jung-jung Tionghoa secara
terang-terangan dan menahan awak kapalnya untuk
bekerja di Batavia. Pad tahun 1622 kapal-kapal Belanda
menculik pria, wanita dan anak-anak di pantai Tiongkok
Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut dengan
sangat kejam di kepulauan Pescadores. Banyak yang
meninggal sebelum tiba di Batavia dan kalau ingin
bebas mereka harus bekerja keras terlebih dahulu untuk
mengumpulkan uang tebusan.

Pada masa inilah terjadi gelombang kedatangan etnis
Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa yang pada
umumnya berasal dari provinsi Fujian. Jumlah etnis
Tionghoa naik dengan pesat, dari 3.101  orang pada
tahun 1682 menjadi 10.574 orang pada tahun 1739.[3]
Pada tahun 1740 terdapat 2.500 rumah etnis Tionghoa di
dalam tembok kota Batavia, sedangkan seluruh jumlah
etnis Tionghoa  termasuk yang berada di luar tembok
kota diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 15.000
orang. Jumlah tersebut merupakan 17 % dari keseluruhan
jumlah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan
jumlah etnis Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar,
karena berdasarkan sensus tahun 1778, 26 % jumlah
penduduk yang berada di luar tembok kota adalah etnis
Tionghoa. Sedangkan pada masa pemerintahan Inggris
(1811-1816) jumlah etnis Tionghoa merupakan 24 % dari
seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di
luar tembok kota.

Mereka pada umumnya bekerja di perkebunan-perkebunan
tebu atau pabrik gula dan perusahaan-perusahaan
perkayuan yang diusahakan orang-orang Tionghoa di
pinggiran kota Batavia yang tanahnya disewa dari
pemerintah. Namun berbeda dengan orang-orang Tionghoa
yang tinggal di dalam kota yang dapat dikendalikan
melalui pemimpinnya, orang-orang Tionghoa di luar kota
atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena
berada di luar sistim institusi. Mereka tidak diatur
ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di dalam kota
dan berada di luar jangkauan, sehingga tidak pernah
ada perundingan dengan mereka. Banyak dari mereka yang
sukar mendapatkan pekerjaan dan menjadi penganggur.

Akibatnya penguasa Belanda merasa jumlah orang
Tionghoa di Batavia terlampau banyak, yang dikuatirkan
menimbulkan ekses yang buruk, sehingga pada awal abad
ke- 18 kedatangan orang Tionghoa mulai dibatasi,
malahan selama lima belas tahun jung-jung dari
Tiongkok dilarang berlabuh di Batavia.

http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-martabattionghoa1.htm

Pembunuhan massal etnis Tionghoa di Batavia tahun
1740.

Apa yang dikuatirkan penguasa Belanda menjadi
kenyataan, pada tahun 1740 terjadi pembunuhan massal
terhadap orang Tionghoa di Batavia. Penguasa Belanda
di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier
mengeluarkan peraturan permissiebriefje atau surat
ijin menetap bagi orang Tionghoa dan sebuah Resolusi
“bunuh atau lenyapkan” Resolusi ini memerintahkan
bahwa semua orang Tionghoa yang “mencurigakan” tanpa
perduli apakah mereka mempunyai surat ijin atau tidak,
harus ditangkap dan diperiksa, apabila ternyata tidak
mempunyai penghasilan atau menganggur, harus pulang ke
Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan ke
Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan
pertambangan sebagai kuli.[4]

Ternyata kebijaksanaan ini menimbulkan implikasi yang
sangat negatif. Ribuan etnis Tionghoa, bukan hanya
penganggur dan bandit-bandit kriminal, tetapi para
pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan
paksa dan dengan kekerasan dimasukkan ke kapal-kapal
yang akan membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan.
Pemeriksaan rumah etnis Tionghoa dengan dalih mencari
senjata sering kali disertai penganiayaan dan
perampasan barang berharga.

Pejabat-pejabat Belanda juga mempergunakan kesempatan
ini untuk memeras orang-orang Tionghoa kaya yang
dimintai uang dalam usaha mendapatkan surat ijin,
untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan
keresahan di kalangan etnis Tionghoa. Kabar angin
segera berhembus bahwa orang-orang Tionghoa yang
ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan dibunuh.
Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia
di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut. Akibatnya
situasi menjadi sangat tegang dan orang-orang Tionghoa
yang resah kemudian berkumpul dan membentuk
kelompok-kelompok yang mempersenjatai diri untuk
membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang
sewenang-wenang tersebut.

Untuk menumpas perlawanan orang-orang Tionghoa
tersebut, penguasa Belanda bertindak dengan sangat
kejam. Orang-orang Belanda dengan serdadu bayarannya
dengan dibantu para budak,  kelasi kapal dan 
gelandangan memburu orang-orang Tionghoa dari rumah ke
rumah. Setiap orang Tionghoa yang ditemuinya, tidak
perduli laki-laki atau perempuan, tua maupun muda,
bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai
dengan sadis dan di luar batas peri kemanusiaan.
Barang-barang mereka dijarah kemudian rumahnya
dibakar. Demikian juga para tahanan dan pasien rumah
sakit diseret keluar dan dibunuh dengan sangat kejam. 

Aksi pembunuhan tersebut berlangsung selama dua minggu
 dan menelan korban lebih dari 10.000 orang etnis
Tionghoa. Seluruh etnis Tionghoa yang tinggal di dalam
kota oleh orang-orang Belanda telah disapu bersih.
Inilah peristiwa pembunuhan massal yang pertama
sepanjang  sejarah terhadap perantau Tionghoa yang
dilakukan secara brutal.

Baru dua minggu kemudian Gubernur Jenderal Valckenier
menghentikan perbuatan keji tersebut. Amnesti bagi
semua orang Tionghoa diumumkan, peraturan surat ijin
dihentikan. Orang-orang Tionghoa diharuskan tinggal di
tempat tersendiri (ghetto) di luar tembok kota, agar
pemerintah dapat mengawasi kegiatan mereka.
Perlahan-lahan orang-orang Tionghoa yang telah
melarikan diri, kembali ke Batavia. Menurut Cator
dalam  bukunya “Economic Position of Chinese”, setelah
amnesti tersebut masih tersisa 3.341 orang Tionghoa di
Batavia, termasuk 1.442 orang pedagang, 935 orang
pengolah tanah dan tukang kebun, 728 orang pekerja di
perkebunan tebu dan perkayuan dan 236 orang tukang
kayu dan batu.[5]

Setelah kejadian tersebut terjadi kegemparan di
kalangan orang-orang Belanda terutama para anggota
Dewan Hindia yang sangat terkejut dengan apa yang
terjadi. Mereka saling menyalahkan dan melempar
tanggung jawab dalam peristiwa pembunuhan etnis
Tionghoa (Chinezenmoord) ini dan menuding Gubernur
Jenderal Valckenier yang paling bertanggung jawab.
Mereka juga merasa kuatir akan pembalasan yang datang
bukan saja dari etnis Tionghoa yang ada di Batavia,
tetapi juga dari pemerintah Tiongkok. Untuk
mengantisipasinya mereka menulis surat kepada Kaisar
Tiongkok, meminta pengertiannya atas tindakan mereka
terhadap “bandit-bandit” Tionghoa yang telah
mengganggu ketentraman penduduk Batavia, walaupun
diakuinya bahwa banyak orang Tionghoa yang tidak
bersalah telah menjadi korban.

Namun ternyata Kaisar Qianlong (1736-1795) dari
dinasti Qing secara mengejutkan menjawab, ia merasa
prihatin bahwa warganya yang karena memburu harta
kekayaan, telah meninggalkan negaranya tanpa mengingat
akan kuburan leluhurnya dan pantas mendapatkan
hukuman. 

Sikap dan kebijaksanaan Kaisar Qianlong ini untuk
pertama kalinya membuktikan bahwa etnis Tionghoa yang
telah melakukan diaspora ke berbagai negara sama
sekali tidak dapat mengandalkan atau menggantungkan
diri kepada negara leluhurnya. Bukannya melakukan
protes dan memberikan pelajaran kepada penguasa
Belanda di Batavia, malahan menyalahkan orang-orang
Tionghoa yang terpaksa meninggalkan negaranya karena
menghadapi kesulitan, bencana alam dan perang atau
dalam rangka memajukan perdagangan internasional.[6] 

Seperti diketahui dengan runtuhnya Dinasti Ming pada
tahun 1644 dan naiknya Kaisar Shunzhi (1644-1661) dari
Dinasti Qing (1644-1911) dimulailah masa penjajahan
daratan Tiongkok oleh bangsa Manchu. Karena pada awal
masa pemerintahan Kaisar Shunzhi masih terdapat
perlawanan dari orang-orang Tionghoa, maka untuk
menghancurkan martabat dan jati diri bangsa Tionghoa
tersebut, ia memerintahkan seluruh bangsa  Tonghoa
untuk memakai taochang atau kuncir dan mewajibkan
pembesar-pembesar Tionghoa dan rakyat Tiongkok
mengenakan semacam pakaian, yang kedua ujung bajunya
berbentuk kaki kuda dan bagian punggungnya disulam
gambar pelana kuda.  Dengan berpakaian semacam itu
setiap orang Tionghoa yang memakai kuncir pada waktu
berlutut, tampak persis seekor kuda dengan kuncir yang
menjuntai bagaikan ekor kuda di pantatnya.[7] Sungguh
penghinaan yang luar biasa !

Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Khubilai Khan
(1279-1294) dari dinasti Yuan yang segera mengirimkan
pasukannya ke Jawa untuk memberikan pelajaran kepada
Raja Kertanegara dari Singosari, setelah mendapatkan
laporan dari utusannya Meng Chi yang menerima
penghinaan dari raja tersebut dengan cara merusak muka
dan memotong kedua telinganya dan mengusirnya kembali
ke daratan Tiongkok. Kubilai Khan merasa terhina dan
marah karena utusannya diperlakukan semacam itu.[8]

Pelajaran apa yang dapat kita peroleh dari kedua
kejadian tersebut ? Demi kepentingan politik dan
ekonomi Tiongkok, nasib etnis Tionghoa di perantauan
bisa saja diabaikan atau dikorbankan. 

Pembunuhan massal (genocide) etnis Tionghoa ini
merupakan pembunuhan perantau Tionghoa yang terbesar
di sepanjang sejarah. Memang pada beberapa abad yang
lalu pernah terjadi pembunuhan perantau Tionghoa di
Filipina oleh penguasa Spanyol, tetapi tidak sehabat
yang terjadi di Batavia. Inilah kehancuran jati diri
etnis Tionghoa yang pertama di Indonesia.

Menyusul peristiwa pembunuhan massal itu, sebagian
pemuda-pemuda Tionghoa yang berhasil meloloskan diri
merasa harga dirinya diinjak-injak dan semangatnya
bangkit kembali untuk melawan perbuatan
sewenang-wenang tersebut. Mereka kemudian berangkat ke
Jawa Tengah untuk bergabung dengan orang-orang
Tionghoa di sana yang marah atas kejadian tersebut dan
membentuk pasukan-pasukan perlawanan terhadap Belanda.
Kemudian mereka bersekutu dengan Sunan Paku Buwono II
dan Pangeran-pangeran Jawa yang anti Belanda. Mereka
berhasil mengepung pasukan Belanda di kota Semarang
sampai berbulan-bulan lamanya. Mereka juga berhasil
membakar kraton  Kartasura ketika Sunan Paku Buwono II
berkhianat dan memihak Belanda. Kalau saja tidak
dibantu oleh Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari
Madura, pasukan Belanda pasti berhasil diusir dari
Jawa dan jalannya sejarah akan berbeda. Setelah
berlangsung tiga tahun lamanya, pemberontakan etnis
Tionghoa bersama etnis Jawa tersebut berhasil
ditumpas. Meskipun gagal namun pemberontakan ini telah
membuktikan bahwa etnis Tionghoa juga turut mengisi
lembaran sejarah bangsa Indonesia dalam perjuangan
bersenjata mengusir penjajah Belanda.[9]

Setelah pemberontakan itu, penguasa Belanda menyadari
bahwa posisi etnis Tionghoa di Jawa sangat penting.
Etnis Tionghoa  dapat digunakan  untuk mengkokohkan
kekuasaan mereka terutama memajukan bidang
perdagangan. Mereka adalah pedagang-pedagang pengumpul
hasil pertanian dan eceran yang  ulet dan rajin
bekerja. Mereka juga merupakan tukang-tukang yang ahli
dalam berbagai macam pekerjaan. Seperti yang
dinyatakan J.P.Coen sebelumnya, mereka harus bekerja
sama dengan etnis Tionghoa bukan memusuhinya.

Namun kenyataan membuktikan bahwa etnis Tionghoa yang
keberadaannya di Jawa telah berlangsung ratusan tahun,
pengaruhnya telah berakar di kalangan penduduk
setempat. Etnis Tionghoa pandai menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana mereka berdiam dan hidup
rukun dengan penduduk setempat. Hubungannya dengan
raja-raja dan Pangeran-pangeran Jawa dapat
membahayakan posisi Belanda, oleh karena itu etnis
Tionghoa harus digunakan untuk kepentingan Belanda.
Untuk itulah mereka berpendapat bahwa  tindakan
pertama yang harus diambil adalah memisahkan etnis
Tionghoa dari penduduk pribumi.

Mulai saat itu diberlakukan wijkenstelsel, peraturan
yang mengharuskan orang-orang Tionghoa bermukim di
tempat yang sudah ditentukan (ghetto) agar kegiatannya
mudah diawasi. Ghetto-ghetto inilah yang kemudian
berkembang menjadi pecinan (China Town). Untuk keluar
atau berpergian dari daerah pecinan, mereka harus
meminta ijin dari penguasa Belanda terlebih dahulu
yang diatur dalam sebuah peraturan yang disebut
passenstelsel. Peraturan-peraturan yang sangat rasis
ini menjadi awal politik segregasi Belanda untuk
memisahkan etnis Tionghoa dengan penduduk setempat.

Sebaliknya untuk merangkul etnis Tionghoa yang akan
dijadikan partner dan bumper terhadap etnis Jawa,
tokoh-tokoh komunitasTionghoa (para opsir Tionghoa) 
tertentu diberi hak untuk memungut pajak tol jalan,
jembatan, pasar dsbnya. Demikian juga mereka diberi
ijin untuk menyelenggarakan rumah-rumah judi, tempat
penghisapan candu, rumah pelacuran, monopoli
perdagangan garam  dsbnya. Selama ratusan tahun
seluruh bisnis yang kotor dan merusak serta tidak
populer di mata penduduk setempat diberikan kepada
etnis Tionghoa, sehingga menimbulkan antipati yang
mendalam di kalangan pribumi Indonesia yang dampaknya
hingga kini masih dirasakan.

Sebelumnya Kaisar Tiongkok mengeluarkan pengumuman
yang melarang seluruh pelayaran ke Nanyang dan
menghentikan pembangunan jung-jung yang akan
mengarungi lautan. Pedagang dan pelaut yang
membangkang dan melanggar peraturan tersebut akan
ditangkap dan dibunuh. Peraturan ini dikeluarkan
disebabkan banyaknya gangguan dari pemberontak anti
dinasti Qing  di bawah pimpinan Koxinga (Zheng
Zhilong). Akibatnya selama lebih dari seratus tahun
jumlah orang Tionghoa yang melakukan diaspora ke
berbagai negara menyurut. 

Orang-orang Tionghoa yang berdiam di Jawa walaupun
telah dipisahkan dari penduduk setempat namun karena
dibutuhkan penguasa Belanda untuk menjadi pedagang
perantara dan pengecer, tetap saja hidup membaur
dengan penduduk setempat. Apalagi kebanyakan dari
mereka telah mengambil istri orang-orang pribumi
setempat dan keturunannya telah menjadi peranakan yang
pada umumnya tidak lagi mampu berbahasa Fujian,
malahan mereka telah mengadaptasi bahasa dan kebiasaan
ibunya yang pribumi. Namun pada umumnya secara
turun-temurun mereka masih memegang teguh budaya,
kepercayaan  dan tradisi leluhurnya. 

Dengan adanya larangan dari Kaisar Tiongkok dan
penguasa Belanda, maka selama lebih dari seratus tahun
nyaris tidak ada migrasi etnis Tionghoa dari daratan
Tiongkok ke Indonesia yang cukup berarti. Etnis
Tionghoa di Jawa hampir seluruhnya adalah peranakan
yang sudah tidak mampu lagi berbahasa Tionghoa/Fujian.
Pada masa Perang Jawa (1825-1830) tidak sedikit etnis
Tionghoa yang ikut bergabung dengan pasukan Pangeran
Diponegoro melawan pasukan Belanda. Namun setelah
Perang Jawa usai, seperti juga etnis Jawa dengan para
Sultannya, etnis Tionghoa pada umumnya telah berhasil
dijinakkan dan sepenuhnya tunduk kepada penguasa
Belanda.

Sebagai puncak politik segregasinya, pada tahun 1854
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang
membagi-bagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga
golongan. Yang pertama golongan orang Eropa termasuk
ke dalamnya orang-orang Indo Eropa. Yang kedua
golongan Vreemde Oosterlingen atau orang Timur Asing
yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan orang Asia
lainnya. Yang ketiga golongan inlander atau pribumi.
Ketiga golongan ini tunduk kepada sejumlah
undang-undang yang berbeda dan diadili di pengadilan
yang berbeda-beda pula. Dengan demikian status hukum
etnis Tionghoa berada di tengah-tengah, antara orang
Eropa dan pribumi. Tetapi dalam hal perdagangan sejak
awal VOC bagi etnis Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang
Belanda, sepanjang hukum tersebut masih dapat
diterapkan. Hukum Perdata Belanda berlaku sepenuhnya
untuk urusan perdagangan orang Tionghoa. Untuk urusan
keluarga seperti soal perkawinan, pergundikan, garis
keturunan dan adopsi diatur oleh hukum adat mereka
sendiri. Anehnya bila menghadapi masalah pidana, orang
Tionghoa harus dibawa ke politie-roll (pengadilan
polisi tanpa hak banding) untuk perkara kriminil kecil
atau landraad (pengadilan pribumi) untuk
perkara-perkara berat dan bukan ke Raad van Justitie
seperti golongan Eropa. Jadi dalam hal ini golongan
Tionghoa disamakan dengan golongan pribumi. 

Untuk mendukung kebijaksanaan ini pada tahun 1883,
pemerintah Kerajaan Belanda dan pemerintah Kerajaan
Tiongkok telah menanda-tangani perjanjian extra
teritorial yang memberi hak dan wewenang kepada
pemerintah Belanda untuk membentuk pengadilan dan
institusi-institusi lainnya sendiri yang tidak tunduk
kepada hukum Tiongkok dan memberi ijin kepada
misi-misi Kristen untuk menyebarkan agamanya di
seluruh daratan Tiongkok. Sebaliknya karena demikian
lemahnya pemerintahan Kerajaan Tiongkok sehingga
kantor Konsulat pun dilarang dibuka di Hindia Belanda.
Akibatnya sebagai warga negara asing, etnis Tionghoa
di Hindia Belanda tidak memperoleh perlindungan sama
sekali dari pemerintah Kerajaan Tiongkok.

Politik segregasi pemerintah kolonial Hindia Belanda
ini menjadi salah satu sebab utama timbulnya masalah
Tionghoa yang akibatnya kita rasakan sampai sekarang.
Dipisah-pisahkannya kedudukan hukum penduduk Hindia
Belanda berdampak sangat buruk bagi hubungan antar
penduduk dan menimbulkan banyak masalah antara etnis
Tionghoa dan pribumi. Inilah yang menjadi tujuan utama
pemerintah kolonial Hindia Belanda.

http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-martabattionghoa2.htm

Masa Kebangkitan Etnis Tionghoa di awal abad ke-20.

Akibat berkembangnya kapitalisme dan liberalisme di
Eropa, pada tahun 1870 diterbitkan Undang-undang yang
membuka pulau Jawa bagi investasi swasta dengan
menjamin keamanan dan kebebasan mereka. Hanya orang
pribumi yang boleh memiliki tanah, tetapi orang-orang
asing boleh menyewa tanah (erf-pach) dari pemerintah
untuk jangka waktu tujuh puluh lima tahun dan dari
pribumi paling lama dua puluh lima tahun. Orang-orang
Tionghoa yang termasuk Timur Asing juga tidak boleh
memiliki tanah, sehingga mereka harus berusaha melalui
orang-orang pribumi yang bekerja sama dengan mereka.
Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menjalankan
kebijaksanaan laissez faire menyebabkan terjadinya
perubahan dari sistim monopoli negara menjadi sistim
persaingan bebas, diikuti dengan perkembangan dan
pertumbuhan bank-bank kolonial.

Dengan serentak pengusaha-pengusaha swasta Eropa
membuka perkebunan secara besar-besaran untuk memenuhi
permintaan pasar internasional antara lain  kopi, teh,
tembakau, karet, kina dllnya. Demikian juga dengan
pertambangan-pertambangan terutama timah di pulau
Bangka dan Bilitung. Ekspor swasta pada tahun 1860
kira-kira sama besarnya dengan ekspor pemerintah
tetapi pada tahun 1885, ekspor swasta menjadi sepuluh
kali lebih besar dari ekspor pemerintah.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
perkebunan-perkebunan dan pertambangan-pertambangan
tersebut maka didatangkanlah secara besar-besaran
tenaga-tenaga kerja dari daratan Tiongkok. Hal ini
dimungkinkan karena pada tahun 1860, pemerintah
Kerajaan Tiongkok (dinasti Qing) mengeluarkan maklumat
yang memberikan ijin orang-orang Tionghoa yang ingin
merantau meninggalkan daratan Tiongkok. Padahal sejak
tahun 1717 semua orang Tionghoa yang berada di
perantauan dipanggil kembali untuk pulang ke Tiongkok
dan pada tahun 1726, seluruh imigran yang belum pulang
dilarang untuk kembali ke Tiongkok.[10] Baru pada
tahun 1898 pemerintah Kerajaan Tiongkok dengan resmi
mencabut larangan para imigran Tionghoa yang ingin
kembali ke Tiongkok, walaupun sebelumnya telah banyak
orang Tionghoa yang pulang ke kampung halamannya.[11]

Puncak migrasi orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda
adalah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
sampai menjelang Perang Dunia ke II. Pada masa itu,
setelah  merasa mapan di tempat yang baru, mereka
mendatangkan istri atau perempuan-perempuan Tionghoa
dari kampung halamannya masing-masing untuk diajak
hidup bersama dan membangun keluarga di tempat baru
tersebut. Hal ini juga dipermudah dengan beroperasinya
kapal-kapal motor yang lebih aman dan murah. Mulai
masa inilah etnis Tionghoa di Hindia Belanda  terbagi
menjadi kelompok “peranakan” dan “totok”.[12] Jumlah
kelompok totok bertambah dengan sangat menyolok dan
perlahan-lahan mulai menggeser peranan kelompok
peranakan di dunia perdagangan.

Karena  hampir dua ratus tahun terpisah dengan tanah
leluhurnya, kelompok peranakan Tionghoa di Hindia
Belanda boleh dikatakan telah membaur dengan
masyarakat setempat, walaupun masih memegang teguh
adat istiadat dan tradisi yang di bawa dari daratan
Tiongkok. Namun pada umumnya mereka tidak dapat lagi
bercakap-cakap dalam bahasaTionghoa/Fujian.

Pelaksanaan Politik Etis yang mereka rasakan tidak
adil karena tidak menyentuh kelompok mereka dan
timbulnya gerakan pembaruan di Tiongkok memberikan
dorongan dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa
akan perlunya pendidikan, persatuan dan adanya
organisasi yang dapat mengangkat kehidupan mereka.
Pada saat bersamaan di Asia berkembang gerakan
Tiongkok Raya (Pan China) yang pengaruhnya mengimbas
ke Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1900, di
Batavia atas prakarsa beberapa orang-orang peranakan
Tionghoa, berdiri sebuah perkumpulan Tionghoa yang
bernama Tiong Hoa Hwe Koan yang mendirikan
sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa  (Tiong Hoa
Hak Tong) di seluruh Hindia Belanda.[13] Maka mulai
saat itu dimulailah masa yang disebut masa kebangkitan
etnis Tionghoa di Hindia Belanda, yang kelak akan
memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan
nasional Indonesia.

Berdirinya ratusan sekolah-sekolah Tionghoa yang juga
mengajarkan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa
(resinifikasi) dengan cepat membangkitkan semangat
nasionalisme Tiongkok di kalangan masyarakat Tionghoa.
Ditambah lagi dengan terbitnya surat-surat kabar
Melayu Tionghoa dan berkembangnya pers peranakan
Tionghoa yang memainkan peranan yang sangat penting
dalam membakar semangat nasionalisme Tiongkok
tersebut.

Pada tahun 1907-1908 telah terbentuk “Siang Hwee” atau
Kamar Dagang Tionghoa di berbagai kota di Jawa.
Walaupun Siang Hwee dibentuk oleh gabungan golongan
peranakan dan totok, namun ternyata golongan totok
berperan lebih besar dalam organisasi dagang ini. Juga
pada tahun 1907, “T’ung-meng Hui” (perhimpunan yang
disumpah bersama, partai revolusioner Dr.Sun Yat Sen)
membentuk cabang di Batavia. T’ung-meng Hui kemudian
mengganti namanya menjadi “Chi-nan She” (Perkumpulan
Perantau Nanyang) dan mendirikan taman-taman bacaan
atau “Soe Po Sia” yang bertujuan menyebarkan
doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran revolusioner Dr.Sun
Yat Sen. Kalau Tiong Hoa Hwe Koan dipimpin oleh
orang-orang peranakan, maka organisasi-organisasi
lainnya seperti Siang Hwee, Soe Po Sia, T’ung-meng Hui
dipimpin oleh orang-orang totok. Sejak masa inilah
masalah dikotomi totok dan peranakan timbul dalam
setiap organisasi Tionghoa di Indonesia.

Sejak akhir abad ke-19 pemerintah dinasti Qing mulai
menaruh perhatian kepada orang-orang Tionghoa
perantauan, termasuk yang berada di Hindia Belanda
yang dinilai mempunyai potensi besar, baik di bidang
politik maupun keuangan. Orang-orang Tionghoa
perantauan ini kalau diperhatikan akan dapat
memberikan dukungan yang besar, terutama di bidang
keuangan bagi kelangsungan pemerintahan Kerajaan
Tiongkok. Untuk itu dikirim beberapa orang pejabat
untuk memajukan dan mengawasi pendidikan anak-anak
Tionghoa dan memberikan beasiswa untuk belajar di
Tiongkok serta mendirikan sebuah sekolah khusus untuk
menampung anak-anak Tionghoa perantauan. Sekolah
tersebut didirikan di Nanjing pada tahun 1906 dan
diberi nama “Kay Lam Hak Tong”. Pada tahun 1908, atas
pertanyaan L.H.W.Sandick, anggota Raad van Justitie,
pengurus Tiong Hoa Hwe Koan Batavia menyatakan bahwa
ada 111 orang murid T.H.H.K. yang dikirim belajar ke
Nanjing dengan bantuan pemerintah Kerajaan
Tiongkok.[14]

Pada tahun 1907, Assisten Sekretaris Departemen
Pertanian Yuan Shih-tshi mengunjungi Hindia Belanda
untuk mempelajari masalah-masalah perdagangan dan
sebagai hasil kunjungannya tersebut, banyak usul dan
petisi yang dikirim ke Beijing untuk kepentingan
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, terutama di
bidang pendidikan. Pada tahun 1908 Wang Kang-ky,
sekretaris delegasi Kerajaan Tiongkok di The Hague,
melakukan perjalanan ke Hindia Belanda untuk beberapa
bulan lamanya. Di Surabaya ia melakukan sensus
setengah resmi dan memberikan rekomendasi bahwa
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda harus memilih
kewarganegaraan Tiongkok atau Belanda. Pada tahun
1909, dua kapal perang Kerajaan Tiongkok merapat di
pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, membawa Wa Ta-cheng,
Sekretaris Departemen Pendidikan yang untuk beberapa
waktu lamanya mempelajari kondisi perdagangan di
Hindia Belanda. Pada tahun 1910, Chao T’sun-fan,
Penasihat Departemen Pertanian, Industri dan
Perdagangan datang dengan maksud yang sama.

Perkembangan sekolah-sekolah T.H.H.K. dan tumbuhnya
nasionalisme Tiongkok di kalangan masyarakat Tionghoa,
ditambah dengan usaha-usaha pemerintah Kerajaan
Tiongkok untuk mendekati para perantau Tionghoa
menimbulkan kekuatiran pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Untuk mengantisipasinya, dibentuk Biro Urusan
Tionghoa yang bertugas memberikan masukan dan nasihat
kepada pemerintah untuk melaksanakan politik yang
tepat dalam menghadapi masalah Tionghoa. Anggota Biro
ini antara lain L.H.W. van Sandick dan P.H.Fromberg
yang kemudian mendesak pemerintah agar membuka
sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa. Pada tahun
1907, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka
Holland Chineesche School (HCS) dan kemudian
sekolah-sekolah lanjutan antara lain MULO, HBS, HCK
dsbnya. Sekolah-sekolah ini berhasil menarik minat
golongan peranakan yang berpendapat lulusan sekolah
Belanda ini lebih mudah memperoleh pekerjaan. Dengan
dibukanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda
ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil
mempertajam perpecahan di antara golongan peranakan
dan totok.

Selanjutnya pada tahun 1907, pemerintah  kolonial
Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang yang
memungkinkan orang Tionghoa mengajukan permohonan
untuk memperoleh persamaan status hukum dengan
golongan Eropa (gelijkstelling). Syarat yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan status Eropa tersebut
antara lain, fasih berbahasa Belanda, mempunyai
kekayaan yang cukup dan harus mengikuti wajib militer.
Di samping itu pemohon harus dengan tegas menyatakan
secara tertulis bahwa ia sudah tidak cocok lagi hidup
di kalangan masyrakat Tionghoa. Lengkaplah usaha
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memecah-belah
etnis Tionghoa.

Untuk menghadapinya, pada tahun 1909 pemerintah
Kerajaan Tiongkok mengeluarkan Undang-undang
Kebangsaan yang menyatakan bahwa seluruh orang
keturunan Tionghoa atau setiap anak yang sah maupun
tidak sah dengan seorang ayah Tionghoa (atau seorang
ibu Tionghoa apabila ayahnya tidak diketahui) adalah
berkebangsaan Tiongkok (azas jus sanguinus). Sudah
tentu hal ini menimbulkan kegoncangan di kalangan
pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Untuk menandinginya, pada tanggal 10 Februari 1910,
pemerintah Kerajaan Belanda mengumumkan berlakunya
“Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap” (WNO) atau
Undang-undang tentang Kawula Belanda (Ned.Stbl.
No.55). WNO menyatakan bahwa seluruh orang Tionghoa
yang telah menjadi keturunan kedua yang lahir di
Hindia Belanda adalah kawula Belanda ( azas jus soli).
Akibatnya timbul masalah dwi-kewarganegaraan, karena
kedua pemerintah tersebut mengklaim bahwa seluruh
orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda menjadi
warganya. Masalah dwi-kewarganegaraan ini terus
berlanjut sampai ditanda-tanganinya Perjanjian
Dwi-kewarganegaraan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada
tahun 1955.

Setelah dilakukan serangkaian perundingan, akhirnya
kedua pemerintah pada tahun 1911 menanda-tangani
Perjanjian Konsuler (Traktat) yang isinya menyatakan
bahwa Pemerintah Kerajaan Tiongkok mengakui bahwa
orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda selama
berada di negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya
tunduk kepada Undang-undang Belanda, tetapi mereka
bebas untuk memilih kebangsaan mereka apabila mereka
meninggalkan wilayah kekuasaan Belanda. Sebaliknya
Pemerintah Kerajaan Belanda menyetujui dibukanya
Konsulat Tiongkok di Hindia Belanda yang berlaku untuk
lima tahun lamanya dan harus diperbarui setiap
tahun.[15] Traktak ini kembali mencerminkan lemahnya
Pemerintah Kerajaan Tiongkok yang selalu mengalah
kepada negara-negara Barat. Namun kalangan etnis
Tionghoa yang sedang tumbuh dan berkobar rasa
nasionalismenya menolak WNO dan Traktat tahun 1911
tersebut.

Berkobarnya rasa nasionalisme di sebagian besar etnis
Tionghoa di Hindia Belanda, baik yang totok maupun
yang peranakan mencapai puncaknya dengan runtuhnya
Kerajaan Tiongkok (dinasti Qing) dan berdirinya
Republik Tiongkok pada tahun 1911. Dengan serentak
mereka melakukan kampanye untuk menentang WNO dan
mendapatkan kebangsaan Tiongkok, karena orang Tionghoa
di Hindia Belanda merasa dirinya adalah bagian tidak
terpisahkan dari nasion Tiongkok Raya. Karena merasa
dirinya bukan kawula Belanda maka dengan sendirinya
mereka menolak Indie Weerbar, semacam wajib militer
(militairy service) yang  dikenakan kepada seluruh
kawula Belanda. Mereka beranggapan bahwa percuma untuk
membela kepentingan kapitalis Belanda, padahal etnis
Tionghoa dilarang memiliki tanah. Lebih baik mereka
membela dan mendukung pemerintah  nasionalis Tiongkok,
karena kalau Tiongkok kuat, kedudukan etnis Tionghoa
di Hindia Belanda akan lebih kuat dan pemerintah
Belanda akan menyamakan status hukum mereka dengan
golongan Eropa.

Namun ternyata kebijaksanaan pemerintah Republik
Tiongkok yang sedang banyak menghadapi persoalan di
dalam negeri sama saja dengan kebijaksanaan pemerintah
Kerajaan Tiongkok sebelumnya. Pemerintah nasionalis
Tiongkok tidak sedikitpun memberikan dukungan atas
perjuangan etnis Tionghoa di Hindia Belanda sehingga
mereka gagal memperoleh hak untuk menolak menjadi
kawula Belanda, demikian juga usaha untuk memperoleh
status Eropa diabaikan pemerintah Belanda dengan
alasan akan melukai perasaan golongan pribumi yang
akan menimbulkan pergolakan di Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya etnis Tionghoa di Hindia Belanda
terbagi menjadi tiga :

Yang pro Belanda mendirikan Chung Hwa Hui dengan
corongnya Harian Perniagaan (Siang Po). 

Yang Pro Tiongkok dipimpin Harian Sin Po. 

Yang Pro Kemerdekaan terhimpun di Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian
dengan corongnya Harian Sin Tit Po        

Situasi ini terus bertahan sampai datangnya masa 
pendudukan Jepang pada tahun 1942 . Pada masa revolusi
terjadi berbagai aksi-aksi anarkis anti Tionghoa di
berbagai tempat di Jawa dan Sumatera Utara. Ribuan
rumah orang Tionghoa menjadi korban penjarahan,
perampokan dan pembakaran, demikian juga  ratusan
orang Tionghoa yang mati terbunuh dan puluhan
perempuan Tionghoa menjadi korban perkosaan, terutama
di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.[16]  

Pada masa inilah dimulai penggunaan pejoratif “Cina”
dalam memaki-maki etnis Tionghoa yang dituduh menjadi
agen dan kaki-tangan Nica sebagai usaha menghina dan
merendahkan martabat dan harga diri etnis Tionghoa.
Padahal sebutan Cina yang mengacu kepada “Cina
kunciran” telah lama ditinggalkan kalangan etnis
Tionghoa, yaitu sejak berdirinya T.H.H.K. pada tahun
1900 dan Republik Tiongkok (Chung Hua Ming Kuo) pada
tahun 1911. Pada tahun 1928 untuk menghormati
kemenangan golongan nasionalis yang berhasil
menumbangkan dinasti Qing dan mendirikan Republik
Tiongkok yang banyak mempengaruhi pemimpin pergerakan,
dan  untuk membalas budi  kalangan pers
Melayu-Tionghoa yang banyak memuat artikel-artikel
tokoh-tokoh pergerakan Nasional, dicapai konsensus
(kesepakatan) seluruh pimpinan pergerakan Nasional
untuk mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Jadi
sebutan Tionghoa ini bukan sekedar sebutan tok yang
tidak ada maknanya, seperti yang sering dijadikan
argumentasi berbagai kalangan dalam membela
penggunaaan sebutan Cina  dan keengganannya 
menggunakan sebutan Tionghoa yang menurut mereka lebih
sulit diucapkan.

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno walaupun
beberapa kali terjadi usaha-usaha untuk melakukan
tindakan diskriminatif dan rasis yang dilakukan oleh
orang-orang reaksioner tertentu (orang-orang PSI)
seperti program “Benteng Importir”, peraturan
pembatasan perusahaan angkutan dan pergudangan
(ekspedisi dan veem), peraturan pembatasan
penggilingan padi (huller) dan “Gerakan Assat” yang
mencapai puncaknya  dengan dikeluarkannya PP-10, namun
martabat dan jati diri etnis Tionghoa masih tetap
terjaga. Pada masa itu etnis Tionghoa dengan bebas
dapat mempertahankan dan merayakan tradisi,
adat-istiadat dan kepercayaannya dengan bebas.
Demikian juga bahasa Tionghoa/Mandarin dengan bebas
dapat dipergunakan baik lisan maupun tertulis.
Hubungan etnis Tionghoa dengan penduduk setempat cukup
harmonis. Jurang perbedaan di bidang pendidikan dan
ekonomi belum sedalam seperti di masa Orde Baru.

http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-martabattionghoa3.htm

Puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis
Tionghoa.

Puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis
Tionghoa adalah di masa pemerintahan rejim militer
pimpinan Jenderal Soeharto yang didukung AS, Inggris
dan negara-negara kapitalis/imperialis lainnya. Pada 
masa penumpasan G30S ribuan etnis Tionghoa turut
menjadi korban penangkapan dan pembunuhan dengan
tuduhan “Baperki” atau ormas-ormas PKI lainnya.
Sebenarnya mereka ditangkap hanya untuk diperas
uangnya dan dirampas harta kekayaannya, karena seperti
korban-korban penangkapan lainnya yang dituduh PKI,
kaitannya dengan kegiatan G30S ternyata tidak terbukti
sama sekali.

Keterlibatan CIA dan MI-6 (dinas rahasia Inggris)
dalam melakukan provokasi anti Tionghoa telah banyak
dibuktikan oleh buku-buku yang sekarang banyak
bertebaran di toko-toko buku. Pada masa itu Amerika
Serikat dan Inggris berusaha mengobarkan sentimen anti
Tionghoa dengan melakukan provokasi dan tuduhan bahwa
musuh utama  bangsa Indonesia selain PKI adalah etnis
Tionghoa yang menjadi agen RRT.[17] Ditambah oleh
situasi di daratan Tiongkok yang pada masa itu sedang
berlangsung Revolusi Besar Kebudayaan di bawah
pimpinan Mao Zedong dengan dibantu “The Gang of Four”
yang sangat radikal . Seluruh sekolah-sekolah Tionghoa
ditutup dan gedungnya diambil  alih pihak militer.
Hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan, akibatnya 
ratusan ribu warga negara RRT nasibnya menjadi
terkatung-katung, tanpa mendapatkan perlindungan
sedikitpun dari negaranya.

Dalam usaha menghancurkan martabat dan jati diri etnis
Tionghoa, langkah pertama yang dilakukan rejim militer
Orde Baru adalah mengganti sebutan Tiongkok dan
Tionghoa menjadi “Cina”. Usul ini sebagai hasil
Seminar Angkatan Darat ke-2 tahun 1966 di Lembang.
Usul ini kemudian ditindak lanjuti pemerintah dengan
mengeluarkan instruksi Presidium Kabinet Ampera agar
sebutan Tionghoa dan Republik Rakyat Tiongkok diganti
menjadi Cina dan Republik Rakyat Cina. Tindakan
selanjutnya adalah  mengeluarkan larangan perayaan
ritual kepercayaan, tradisi dan adat-istiadat Tionghoa
di luar rumah. Kemudian  dikeluarkan anjuran agar
nama-nama Tionghoa diganti menjadi nama-nama
Indonesia. Selanjutnya diumumkan larangan mengimpor
dan mengedarkan barang-barang cetakan dalam bahasa
Tionghoa. Ironisnya, usulan-usulan tersebut berasal
dari segelintir etnis Tionghoa sendiri, yaitu
tokoh-tokoh LPKB di bawah pimpinan K.Sindhunata.[18]

Di masa Orde Baru etnis Tionghoa benar-benar dibuat
tidak berdaya dan hanya diarahkan untuk bergerak di
bidang bisnis saja. Etnis Tionghoa diintimidasi agar
menjauhi wilayah politik. Segelintir etnis Tionghoa
dijadikan kroni untuk melakukan KKN dengan cara
menjilat-jilat para penguasa yang menimbulkan
“kemuakan” seluruh rakyat Indonesia. Perbuatan
segilintir etnis Tionghoa yang menjijikkan dalam
mengejar kekayaan menyebabkan semakin terpuruknya
martabat dan jati diri etnis Tionghoa di mata rakyat. 

Setiap kejahatan ekonomi mulai dari penyelundupan,
perjudian, pelacuran, narkoba, pembobolan bank, mark
up, penggusuran tanah rakyat dsbnya pasti melibatkan
segelintir etnis Tionghoa, karena semua kebijakan
tersebut dibuat rejim Orde Baru dengan tujuan
menghancurkan jati diri dan martabat serta kehormatan
etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa sejak awal berdirinya
Orde Baru memang telah disiapkan untuk dijadikan
kambing hitam, tumbal dan bumper rejim tersebut
apabila pada suatu saat menghadapi perlawanan dari
rakyat Indonesia. 

Akibatnya timbul kesan di masyarakat bahwa etnis
Tionghoa adalah “monster ekonomi yang rakus” yang
semata-mata mengejar kekayaaan belaka, yang asosial
tanpa mau perduli akan nasib bangsa Indonesia. Seluruh
sumbangan etnis Tionghoa telah disedot oleh para
penguasa di bawah pimpinan Presiden Soeharto melalui
berbagai yayasannya, sehingga rakyat Indonesia tidak
melihat adanya sumbangan untuk masyarakat dari para
konglomerat Tionghoa yang secara gebya uyah dianggap
mewakili seluruh etnis Tionghoa. Apalagi para
konglomerat tersebut secara ekslusif menghimpun diri
di Yayasan Prasetya Mulia, khusus untuk melayani
kepentingan Presiden Soeharto.

Hubungan etnis Tionghoa dengan golongan “pribumi” yang
 cukup harmonis di masa sebelum rejim Soeharto dengan
sendirinya menjadi rusak. Untuk menghadapi persaingan
dengan pengusaha Tionghoa dibentuk Himpunan Pengusaha
Pribumi Indonesia (HIPPI) yang semakin memperburuk
hubungan antara pengusaha Tionghoa dengan  pengusaha
pribumi. Demikian juga dalam organisasi KADIN hampir
tidak seorangpun pengusaha Tionghoa yang menduduki
posisi yang penting kecuali bendahara.

Selama pemerintahan Orde Baru entah berapa puluh kali
terjadi aksi kekerasan anti Tionghoa, mulai dari Medan
sampai ke Makassar, apalagi di Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Bukan hanya kuantitas tetapi kualitas
aksi kekerasan tersebut meningkat tanpa ada tindakan
dari aparat keamanan. Terorisme telah dirasakan etnis
Tionghoa sejak puluhan tahun yang lalu tanpa ada
perlindungan sedikitpun dari pemerintah dan dunia
internasional. Walaupun dari segi ekonomi etnis
Tionghoa tampak makmur namun dalam kenyataannya
sepanjang hidupnya dibayangi oleh rasa ketakutan. Jadi
tidak dapat disalahkan apabila untuk berjaga-jaga yang
mempunyai cukup uang menyimpan sebagian uangnya di
luar negeri.

Akhirnya “bom waktu” yang ditanam rejim Presiden
Soeharto  diledakkan pada tanggal 13-14 Mei 1998, di
saat-saat pemerintahannya sedang sekarat menghadapi
tuntutan seluruh rakyat Indonesia agar ia segera
lengser dari kekuasaannya. Namun aksi teror tersebut
bagaikan tarikan nafas terakhir orang yang sedang
sekarat, pada tanggal 21 Mei 1998 ia dengan “sukarela”
(baca terpaksa) lengser dari jabatannya. Di saat-saat
terakhir tersebut bukan hanya para mahasiswa, namun
para menteri  dan penjilat utamanya, Ketua DPR/MPR
turut mendesaknya agar ia lengser dan  menyerahkan
kekuasaannya. Tepatlah apa yang dikatakan  Soegiarso
Soerojo “ Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”. 

http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-martabattionghoa4.htm

Kebangkitan Etnis Tionghoa di Masa Reformasi.

Setelah rejim Presiden Soeharto jatuh dan berlangsung
reformasi, tumbuh kesadaran di sementara kalangan
etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat lemah dan
menyedihkan. Kesadaran ini membangkitkan keberanian
mereka untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa
diri mereka dan membela keadilan. Dengan segera 
berbagai organisasi dideklarasikan oleh orang-orang
peranakan yang merasa peduli kepada keadaan tersebut,
antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia
(Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI),
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik,
Gandi, PSMTI, INTI dllnya. Demikian juga berbagai
penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah antara
lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi,
Suara Baru dllnya bermunculan. 

Namun dengan berjalannya waktu ternyata beberapa
organisasi tersebut berguguran  dan beberapa media
cetak telah hilang dari peredaran. Masalah utama yang
dihadapi organisasi-orrgansasi  tersebut adalah
masalah klasik, tidak adanya program yang jelas,
semangat yang mengendur dan terjadinya perpecahan di
kalangan pemimpinnya. Masalah yang dihadapi media
cetak yang pada umumnya dikelola golongan peranakan
adalah masalah finansial dan SDM. Hampir tidak ada
dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan
hidup media-media cetak tersebut.

Berbeda dengan organisasi-organisasi peranakan,
organisasi-organisasi di kalangan totok malahan tumbuh
dengan subur. Organisasi-organisasi tersebut didirikan
berdasarkan asal kampung halaman, suku (clan), marga,
alumni sekolah dsbnya. Program mereka pada umumnya 
tidak jelas dan pada umumnya berorientasi ke daratan
Tiongkok. Bahasa yang digunakan  bahasa Tionghoa 
karena pada umumnya para pemimpin
organisasi-organisasi tersebut kesulitan dalam
berbahasa Indonesia. Organisasi-organisasi ini seperti
organisasi-organisasi Tionghoa perantauan di manapun,
pada umumnya sangat paternalistik dan para pemimpinnya
diangkat berdasarkan senioritas dan keberhasilan dalam
bisnis. Kelebihan organisasi-organisasi ini adalah
dukungan dana yang kuat dari para pemimpinnya. Namun
perpecahan juga muncul di antara para pemimpinnya,
terutama di kalangan suku Hakka yang menyebabkan saat
ini berdiri tiga buah organisasi suku Hakka yang
berbeda.  Kegiatan utama organisasi-organisasi ini
adalah menyelenggarakan pertemuan/resepsi di antara
para anggotanya tanpa tujuan yang jelas.

Selaras dengan munculnya organisasi-organisasi totok
tersebut, berbagai penerbitan dalam bahasa Tionghoa
baik harian maupun majalah bermunculan. Walaupun tiras
setiap harian dan majalah tersebut tidak besar karena
pembacanya yang sangat terbatas, namun karena didukung
dana oleh para pemiliknya maka sampai saat ini
penerbitan-penerbitan ini masih dapat bertahan. Pada
umumnya media-media cetak tersebut digunakan untuk
mempublikasikan kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan
para tokohnya. 

Di bidang media elektronik, dengan cepat Metro TV
merebut peluang pasar di kalangan totok dengan
menyelenggarakan acara Metro Xinwen dalam bahasa
Tionghoa. Demikian juga dengan stasion radio komersiil
Cakrawala yang menyiarkan  acara-acara dalam bahasa
Tionghoa. Namun karena kurang didukung oleh SDM yang
memadai tampaknya kedua stasion media elektronik
tersebut dalam perkembangannya juga mengalami kendala.

Hasil-hasil apakah yang diperoleh dengan berdirinya
organisasi-organisasi yang menghimpun etnis Tionghoa
baik peranakan maupun totok ? Walaupun sangat lamban,
kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat, namun
trauma masih lalu dan stigma Baperki masih menghantui
sebagian besar etnis Tionghoa sehingga mereka selalu
berusaha menghindari wilayah politik. Di samping itu
perjuangan organisasi-organisasi peranakan dalam
membela hak-hak etnis Tionghoa dan menuntut
penghapusan peraturan-peraturan yang diskriminatif
telah banyak menunjukkan kemajuan. Dihapusnya segala
peraturan-perauran yang bersifat rasis dan
diskriminatif  oleh Presiden Wahid maupun Tahun Baru 
Imlek yang dijadikan hari libur nasional oleh Presiden
Megawati merupakan suatu kemenangan yang diperjuangkan
oleh seluruh organisasi Tionghoa tersebut.

Di samping hasil-hasil tersebut masih banyak kelemahan
dan kendala yang dihadapi organisasi-organisasi etnis
Tionghoa antara lain, masih langkanya pemimpin dan SDM
yang dibutuhkan untuk memimpin dan menggerakkan roda
organisasi. Pada umumnya pemimpin/pengurus dan anggota
organisasi-organisasi etnis Tionghoa telah berusia
lanjut. Untuk mengatasinya para tokoh-tokoh Tionghoa
harus dengan legowo mau melakukan peremajaan
kader-kader yang akan memimpin organisasi-organisasi
tersebut. 

Kalau ingin bertahan organisasi-organisasi Tionghoa
harus dijadikan organisasi modern yang mempunyai
program yang jelas dan berorientasi ke bumi Indonesia
sesuai dengan semboyan luo di sheng gen sehingga
menarik generasi muda untuk bergabung ke dalamnya.
Organisasi-organisasi Tionghoa harus berani
memperingatkan dan menindak anggotanya yang berprilaku
tidak pantas di masyarakat agar pengalaman  buruk di
masa lalu tidak terulang lagi. Organisasi-organisasi
Tionghoa harus mau membuka diri dan melakukan
kerjasama dan menggalang persahabatan dengan
organsisasi-organisasi di luar kalangannya agar tidak
dituduh eksklusif. 

Harian-harian berbahasa Tionghoa harus dimerger agar
dapat tumbuh dengan sehat dan membawa manfaat bagi
kita semua. Setelah mempunyai bekal yang cukup
diharapkan para kader Tionghoa mau menceburkan diri ke
dalam partai-partai politik yang dapat menampung
aspirasi etnis Tionghoa dalam membangun bangsa dan
negara.

Yang terakhir demi kepentingan jangka panjang,
organisasi-organisasi Tionghoa harus menjaga jarak
dalam berhubungan dengan pemerintahan negara asalnya.
Pengalaman masa lalu telah mengajar kita bahwa
hubungan antar negara setiap saat bisa mengalami
pasang surut, namun etnis Tionghoa di sini yang akan
menanggung getahnya, karena tidak pernah ada
“perlindungan” yang kita peroleh dari negara leluhur
kita.

http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-martabattionghoa5.htm



__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to