Hati Nurani dan Rekonsiliasi Christianto Wibisono HARI ini, 13 Mei 2003 pukul 21.00 malam, lima tahun yang lalu, anak saya Jasmine Wibisono dan suaminya Tandyo Welianto dengan mobil Kijang, meninggalkan rumahnya di Kapuk karena massa sudah mulai mengepung wilayah itu. Dua bayi, Christabel (15 bulan), dan Christopher (lahir 22 Maret atau belum dua bulan) beserta babysitter hanya membawa sejumput pakaian. Mereka mengungsi ke rumah saya di Jalan Kartini.
Sehari sebelumnya, 12 Mei, aparat keamanan menembaki demonstran mahasiswa Trisakti yang sudah mundur memasuki kampus menjelang sore hari. Suatu provokasi yang hingga hari ini tidak terungkap tuntas, siapa intellectual actor-nya. Besok paginya, 14 Mei, Jakarta lumpuh. Massa direkayasa untuk membakar dan menjarah. Dari atas kantor PDBI di Kartini 8 saya bisa menyaksikan massa bergerak dari arah Mangga Besar menuju Gunung Sahari. Jika massa itu belok ke Jalan Kartini, maka barangkali daerah sekitar rumah saya juga akan terkena penjarahan dan perusakan. Dari atas lantai gedung itu terlihat bagaimana kelompok perusak dengan keahlian profesional tim demolition(penghancuran) merangsek pintu besi pertokoan di sepanjang jalan yang akan berujung pada rumah Liem Sioe Liong di Gunung Sahari 6 (di dekat areal bekas Bandara Kemayoran). Tanggal 15 Mei barulah sopir saya bisa meninjau Kapuk, ternyata rumah Jasmine termasuk dalam 80 yang dibakar dan 500 yang dijarah habis pada 14 Mei. Tanggal 10 Juni 1998 saya menerima surat kaleng dari seorang "oknum" bernama Ponidjan yang bunyinya tidak patut diungkapkan di sini. Karena penuh dengan caci maki SARA yang sangat tidak beradab, mensyukuri pembakaran rumah Jasmine dan mengancam akan memenggal kepala saya karena kritik saya terhadap Orde Baru. Tanggal 11 Juni 1998 saya berketetapan hati untuk mengungsikan anak dan cucu saya dari kemelut yang sangat traumatik untuk memulihkan kondisi kejiwaan serta reuni dengan putri kedua Astrid Wardhani di AS. SETELAH lima tahun, bagaimana persepsi saya terhadap situasi Tanah Air dan rencana masa depan keluarga saya? Sebenarnya, di zaman globalisasi ini, faktor domisili sudah teratasi dengan komunikasi real time melalui internet. Semua yang terjadi di segala pelosok dunia dapat segera diikuti secara simultan. Saya juga melihat perkembangan dunia yang makin tergantung pada satu superpower AS. Di pusat percaturan politik global ini berlangsung lobbying lintas nasional dalam skala dan frekuensi tinggi di mana negara dan civil society mengusahakan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah AS. Gedung Putih, Kongres dan Senat, serta media massa, bersama-sama menentukan agenda politik global. Karena itu, saya memutuskan untuk berkiprah di Washington DC dalam proses pemulihan kondisi keluarga sekaligus membuktikan sebagai unsur civil society dari negara Dunia Ketiga dapat berperan di pusat lobby dunia ini. Di AS ini orang paling berpengaruh yang mengenal Indonesia adalah mantan Duta Besar AS Dr Paul Wolfowitz yang sekarang menjabat Deputi Menhan. Ada lagi eselon dua di Gedung Putih, Karen Brooks yang merupakan asisten langsung Condoleeza Rice dan kenal baik dengan Presiden Megawati serta fasih berbahasa Indonesia. Di Kongres dan Senat juga terdapat Representatives atau Senator yang berminat terhadap Indonesia. Yang memerlukan binaan lobby atau pendekatan personal dalam konteks multitrack diplomacy. Belum lagi belasan think-tanks, NGO dan civil society yang setiap saat bisa melakukan demo, aksi terhadap kebijakan pemerintah RI atau AS yang bisa berdampak bagi Indonesia. Dalam kondisi seperti itu saya melihat peluang untuk mendirikan sebuah lembaga thinktank yang bisa memberikan pemikiran dari perspektif Dunia Ketiga. Yang dapat mengajukan alternatif kebijakan positif dan konstruktif dalam hubungan AS dengan dunia pasca 11 September. Lembaga itu bernama Center for World Conscience (CWC) yang diluncurkan pada 6 November 2002 dengan website <www.cwcinfo.org>. CWC sedang melakukan studi tentang kaitan demokratisasi, liberalisasi dan amnesti utang bersyarat sebagai salah satu langkah mengatasi poverty gap yang dianggap merupakan salah satu akar masalah munculnya terorisme global. Memang tidak mudah. Untuk meluncurkan satu ide seperti HIPC, misalnya, perlu waktu hampir 20 tahun sebelum ide itu diterima oleh Bank Dunia dan negara donor. CWC sedang mempersiapkan satu konferensi tentang The Post 9/11 Geopolitics: War of Ideas Against Terrorism. Sementara itu Jasmine juga telah meluncurkan suatu NGO yang bergerak di bidang kesenian bernama GRACE Heritage. GRACE adalah singkatan dari Global Renaissance of ASEAN American on Culture and Entertainment. Berduet dengan Karina Sudyatmiko (putri mantan anggota MPR/DPR Djoko Sudyatmiko), GRACE Heritage akan menggelar 1st US ASEAN Film and Photography Festival 29 September 2003. Ini merupakan upaya terobosan civil society untuk berkiprah di Washington DC dan telah didukung oleh 10 Dubes ASEAN di AS. Di tengah kemelut SARS dan dampak bom Bali serta penandatanganan Free Trade Agreement antara Singapura dan AS, bagaimana RI bisa tetap muncul dan tidak tenggelam dalam citra? TADI pagi saya juga telah menurunkan artikel khusus berjudul "Trissha Melli, 14 Mei dan Rekonsiliasi" di Harian Media Indonesia. Keluarga Wibisono telah "menutup buku" tentang tragedi Mei seperti Trissha Melli "melupakan" peristiwa 19 April 1989. Trissha Melli adalah bankir usia 27 tahun waktu diperkosa oleh preman di Central Park New York dan nyaris mati serta hilang ingatan. Secara institusional, barangkali memang masih tetap perlu Komite Rekonsiliasi Nasional untuk menuntaskan trauma psikologis bangsa ini. Agar tragedi biadab itu tidak terulang lagi di masa depan. Hari Rabu 7 Mei lalu Council on Foreign Relations (CFR) telah mengedarkan laporan kajian situasi Papua oleh misi yang diketuai oleh mantan Panglima Angkatan Perang AS wilayah Pasifik, Laksamana Dennis Blair. Secara diplomatis, Komisi Blair menekankan perlunya otonomi khusus Papua untuk menghindari konflik. Di tengah kemelut Aceh yang sedang memasuki periode kritis, saya ingin mengingatkan elite Indonesia bahwa paradigma politik global sudah berubah. Kelompok Islam liberal di Timur Tengah akan mulai merombak haluan politik di sana, apalagi bila Abu Mahzen bisa mengikuti road map dengan menyetop teror intifada. Libia baru saja menyatakan kesediaan mengganti rugi korban teror pesawat PanAm yang meledak di Lockerbie dalam jumlah US$ 2,7 miliar atau US$ 10 juta per korban. Gelombang modernisasi, sekularisasi dan liberalisasi akan muncul di wilayah itu yang selama lebih dari setengah abad dikuasai oleh tirani dan teokrasi abad pertengahan. Alangkah menyedihkan bila Indonesia yang diproklamasikan sebagai Negara Pancasila 17 Agustus 1945, justru mundur ke pemikiran "syariah-isasi". Pelbagai perkembangan kebijakan dan pola pemikiran superpower AS serta arah perubahan haluan politik global seperti itulah yang menjadi pantauan rutin CWC. Para capres termasuk Presiden Megawati atau Cak Nur atau siapa saja, bila tidak bisa membaca transformasi global ke arah liberalisasi, sekularisasi dan demokratisasi hanya akan membawa negara RI ke arah disintegrasi. Bukan dari Aceh atau Papua, melainkan justru dari Jakarta sendiri, elite politik membunuh diri bila memaksakan "syariah-isasi". SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 13/5/03 -- TRISHA MELLI - 14 MEI & REKONSILIASI Oleh: Christianto Wibisono Siapa itu Trisha Melli? Bagi saya ia adalah pahlawan yang bisa menjadi model dari korban yang berjiwa besar untuk memaafkan dan melupakan perkosaan yang hampir merenggut nyawanya.Dan menjadi inspirator bagi semangat hidup melihat kedepan setelah mengalami tragedi biadab perkosaan berantai 19 April 1989 di Central Park New York. Pada hari Selasa 15 April 2003 saya berkesempatan bertatap muka dengan mantan investment banker Salomon Brothers itu dalam peluncuran buku kisah nyatanya. Toko buku Olsson di 12th and F Street, tempat Pramoedya Ananta Toer meluncurkan bukunya dipenuhi sekitar 100 peminat. Judul buku I am the Central Park Jogger : A Story of Hope and Possibility". Menceritakan bagaimana korban perkosaan dan penganiayaan itu menemukan kembali semangat hidup walaupun gegar otaknya membuat ia tidak ingat persis kejadian perkosaan itu sendiri. Kekejaman yang dilakukan pemerkosa yang secara berkelompok bergiliran memperkosa dan menyiksa dengan batu bata dan pipa sehingga Melli kehilangan 75-80% darah dari tubhnya dan pingsan selama 12 hari. Teman sekolahnya di Wellesley College, Ardith Eicher hampir tidak mengenali tubuh karena kepalanya nyaris hancur. Meurut Eicher, dokter syaraf yang memeriksa mengatakan kepada keluarga Melli, lebih baik Melli mati saja, ketimbang hidup akan menjadi seperti cangkokan tanaman. Pada hari naas 19 April 1989 Melli (waktu itu berumur 28 tahun), lulusan Yale dan bekerja sebagai investment banker pada Salomon Brothers sedang jogging di Central Park. Mendadak 5 remaja kulit hitam mengerubuti, memperkosa dan menganiaya Melli dengan kejam. Mereka dijatuhi hukuman antara 7-13 tahun. Dalam perkembangan mutakhir, seorang residivis mengaku sebagai pemerkosa utama karena pemeriksaan DNA dari sperma yang tercecer. Para "penggembira perkosaan" sekarang malah menggugat kepolisian New York US$50 juta. Trisha Melli tidak ingin memikirkan dendam kesumat dan proses pengadilan terhadap pemerkosa, ketika ditanya oleh hadirin dalam jumpa pengarang di Olsson. Ia memang ingin melupakan dan tidak terbelenggu oleh trauma tragedy 19 April 1989. Setelah sembuh secara ajaib, Melli bahkan ikut marathon New York selama 4,5 jam. Pada 1996 ia menikah dengan Jim Schwarz seorang sales consultant yang setia mendampingi dalam proses penyembuhan dan pemulihan mental Melli. Melli adalah seorang sekuler yang "tidak religious" tapi mengajak hadirin untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi selama beberapa menit untuk menenangkan batin dan pikiran. Ketika saya diminta oleh redaksi MI untuk menulis artikel khusus tentang tragedy Mei 1998, saya berpikir apakah kisah Melli bisa menjadi acuan untuk menyikapi tantangan masa depan bangsa Indonesia. MPR sudah bicara soal rekonsiliasi dan sudah banyak seminar tentang Komisi Rekonsiliasi bahkan mengundang pembicara dari Afrika Selatan sebagai bahan perbandingan. Kenapa masih seret? Kenapa rekomendasi TPF Komnas HAM tidak pernah ditindaklanjuti? Kenapa masih terjadi debat soal diskriminasi rasial? Kenapa masih muncul istilah asli dalam RUU Pemilihan Presiden? Kenapa aturan aturan diskriminatif masih terus berlaku walaupun 3 presiden setelah Soeharto berjanji akan menghapusnya? Menurut saya , inti masalah rasialisme yang menjadi salah satu pemicu tragedi Mei 1998 adalah politisasi tindak kriminal dan tindak diskriminatif secara munafik, Machiavellis dan sempit untuk kepentingan rezim politik dan politisi yang mengeksploiitir sentiment rasial ini secara sadar, sengaja dan tidak bermoral. Ratusan orang yang tidak bersalah dosa, kehilangan jiwa dan atau harta benda, terbunuh, diperkosa, terpuruk karena rumah dan mata pencahariannya lenyap dalam penjarahan. Dapatkah kepedihan ini dihilangkan tanpa peradilan terhadap pelaku dan otak dibelakang peristiwa biadab itu? Menurut saya, pemerintah harus tetap melakukan tindakan hukum terhadap pelaku dan author intelektual. Sementara itu masyarakat yang mengalami trauma peristiwa itu kiranya dapat belajar dari kasus Trisha Melli untuk berjiwa besar, melupakan masa lalu dan menyongsong masa depan dengan semangat hidup baru yang penuh ketabahan dan percaya diri serta pemulihan gairah hidup secara optimal. Keluarga saya telah mengalami peristiwa traumatik itu yang hampir saja mengganggu kejiwaan. Karena pada waktu putri saja Jasmine harus kabur dari rumah mereka di Kapuk pada 13 Mei malam, nasib dua bayi ( satu anak perempuan berumur 15 bulan dan satu bayi lelaki baru lahir 22 Maret, atau 45 hari) seolah olah seperti bayi yang harus lari dari kejaran Firaun dan Herodes. Ketika massa pada 14 Mei bergerak dari Hayam Wuruk ke Mangga Besar, untuk mereka tidak belok ke Kartini tapi ke Gunung Sahari. Sehingga dari kantor PDBI lantai 3 (di jalan Kartini VIII )saya bisa menyaksikan bagaimana gelombang penyerbuan itu terjadi dalam scenario mirip cerita James Bond. Gelombang pertama para pengrusak yang jelas berkekuatan fisik dan terlatih serta ahli dalam demolition (pengrusakan). Gelombang kedua adalah "milisia" yang berpakaian preman atau seolah anak sekolah, memberi contoh penjarahan. Setelah itu barulah massa, dari kampung sekitar berleha leha, mengangkuti barang seadanya dengan santai bagaikan pulang shopping melewati jalanan disekitar penjarahan. Saya sendiri hari itu membatalkan dan tidak bisa memenuhi undangan untuk memberi ceramah didepan Mabes ABRI di Cilangkap bersama DR Rizal Ramli. Dalam dialog per telpon dengan petugas di Cilangkap saya menyatakan tidak bisa berangkat karena tidak ada kendaraan bisa jalan dalam suasana anarki seperti itu. Menurut cerita yang saya baca dari koran, DR Rizal Ramli sempat naik turun mobil, taksi dan ojek untuk bisa sampai di Mabes ABRI Cilangkap dan dia memberi presentasi "solo "(alias sendirian) karena saya tidak bisa hadir hari itu. Sejak peristiwa itu Jasmine dan keluarganya memang berpindah pindah karena trauma dengan penyerbuan Kapuk. Karena situasi memang akan masih mencekam sampai jatuhnya Soeharto 21 Mei, maka Jasmine dan dua bayinya berpindah dari satu apartemen ke apartemen lain, trauma dengan pembakaran dan penjarahan rumah yang ditinggalinya. Pada 10 Juni 1998 sebuah surat kaleng dari orang bernama Ponidjan malah mensyukuri pembakaran rumah Jasmine dan memaki serta mengancam pembunuhan terhadap diri saya dengan nada penuh kebencian SARA yang memuakkan dan tidak layak untuk ditulis oleh manusia yang masih beradab. Dalam buku Masters of Terror yang diterbitkan oleh ANU Canberra 2002, nama Ponidjan termasuk dalam jajaran personalia dibawah seorang pati berbintang dua yang namanya masuk dalam daftar pelanggaran HAM Timtim 1999. Sejak bulan Juni 1998 itu keluarga besar Wibisono melakukan reuni dan pemulihan psikologis. Dengan melihat kepada besarnya peranan AS dalam percaturan politik global saya memutuskan untuk bermukim di Washington DC. Almarhum Waperdam Malaysia Dr Jusuf Ismael pernah menyatakan bahwa hidupnya selalu berada diluar agenda yang ia rencanakan. Jusuf Ismael akan meninggal karena kanker dan tidak sempat menggantikan Tun Abdul Razak. Pengganti Razak ialah Datuk Husein Onn yang kemudian diganti oleh Mahathir Muhammad sejak 1980 dan akan menjadi PM terlama dalam sejarah Malaysia. Meskipun berada di Washington DC berkat teknologi internet saya bisa mengikuti perkembangan politik tanah air secara real time. Juga setiap kedatangan pejabat Indonesia selalu bisa berhubungan langsung dalam acara di KBRI Washington DC termasuk dengan Presiden Gus Dur selama kunjungan beberapa kali ke AS. Dalam kaitan itulah, walaupun tidak "sowan" secara fisik ke Jakarta pada 9 Juni 2001 saya mendapat tawaran untuk menjadi Menko Ekuin oleh Presiden Abdurahman Wahid. Mengenai ini sudah saya ceritakan panjang lebar di media massa karena itu adalah menjelang ulang tahun ke21 putri kedua saya, Astrid. Wardhani. Setelah megateror 11 September saya mulai merintis lembaga think tank di Washington DC bernama Center for World Conscience. (CWC) Sejak lama dalam pelbagai kolom di Suara Pembaruan saya telah menganjurkan agar segera dibentuk Komite Rekonsiliasi Nasional mengacu kepada pengalaman Afrika Selatan. Pada 6 November 2002, CWC menyelenggarakan peluncuran kegiatan dengan Panel diskusi bersama DR Robert Pastor dari American University dan DR Hilton Root dari Economic Strategy Institute. Acara dibuka oleh Dubes RI di AS DR Sumadi Brotodiningrat. Ini adalah think tank pertama yang didirikan oleh Dunia Ketiga di ibukota superpower AS. CWC bergerak dibidang studi tentang akar masalah krisis negara berkembang dan menganjurkan mawas diri untuk mengentaskan Dunia Ketiga dari kekumuhan dan keterpurukan. Bagi keluarga Wibisono, tragedi Mei 1998 sudah "dimaafkan" sebagaimana Trisha Melli "memaafkan" para penyiksanya. Sekarang yang diperlukan bagi Indonesia adalah bagaimana menyongsong masa depan, tanpa melupakan proses pengadilan dan penghukuman yang dijiwai semangat pemaafan dan rekonsiliasi. Jasmine bersama Karina Sudyatmiko (putri mantan anggota MPR/DPR Djoko Sudyatmiko) mendirikan GRACE Heritage suatu NGO untuk mempromosikan hubungan ASEAN-AS. GRACE adalah singkatan dari Global Renaissance of Asean American on Culture and Entertainment. Pembentukan GRACE merupakan wujud rekonsiliasi konkret Jasmine yang memilih untuk tetap menghargai tradisi dan budaya Asianya. Bahkan terbeban untuk meningkatkan kualitas hidup warga keturunan ASEAN di AS melalui program kompetisi yang dirancangnya. Program pertama berupa Festival Film dan Fotografi tentang ASEAN yang akan diluncurkan pada 27 September 2003. Gebrakan ini untuk memulihkan citra ASEAN setelah bom Bali dan sekarang juga relevan untuk penanggulangan dampak SARS bagi ASEAN. 10 Dubes ASEAN di Washington telah mendukung program ini sebagai upaya peningkatan citra ASEAN di AS. Kehadiran GRACE juga disambut baik sebagai organisasi yang solid oleh berbagai lembaga mapan di AS seperti The Asia Society, American University, Smithsonian Institute, New York Film Academy dan majalah Asian Fortune Situasi global pascateror WTC 11 September dan langkah langkah "penghukuman" oleh AS di Afghanistan dan Iraq adalah bagian dari operasi pro justisia. Tapi dunia memerlukan juga naluri kemanusiaan model Trisha Melli . Sebab, bila korban tidak bisa sembuh dari trauma angkara murka, dendam kesumat dan balas dendam tujuh turunan, memang dunia tidak akan aman.Dan korban juga tidak akan bisa tenang menikmati sisa hidupnya dimasa depan. Sebagian korban teror 11 September malah sudah ada yang ikut dalam demo anti perang Iraq, karena mereka sudah berpikir seperti Trisha Melli untuk menutup lembaran lama dan mulai hidup baru. Dapatkah tragedi kolektif seperti The Rape of Jakarta Mei 1998 dimaafkan dan di-rekonsiliasi-kan? Libya baru saja mengakui dosa mereka dalam pemboman pesawat Panam flight 103 di Lockerbie dan bersedia memberikan ganti rugi kepada keluarga korban. Menlu Colin Powell telah menemui Presiden Bashir Assad dalam pembersihan teroris di Syria. Sementara roadmap perdamaian Israel Palestina yang disusun oleh kuartet (AS, PBB, Uni Eropa dan Rusia) telah diserahkan kepada dua pihak yang bersengketa. Ini menyusul pengukuhan Mahmud Abbas (alias Abu Mazen) sebagai PM baru Palestina. Kekuatan teroris dari kubu Palestina masih terus berusaha menjegal perdamaian dan langsung membom serta memancing tindakan balasan Israel. Melihat problem yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia dari Aceh sampai Papua serta Ambon, Poso dan Sampit, serta bom Bali dan sekarang ricuh soal RUU Sisdiknas dan polarisasi politik menjelang pemilu 2004, saya semakin percaya bahwa jika tidak ada pertobatan dalam elite nasional kita, maka akan sulit dicapai suatu pemulihan kesehatan dan kemampuan bangsa. Tanpa semangat rekonsiliasi, pemaafan dan pengadilan yang manusiawi, maka ganjalan dan sikap keras kepala sektarian yang Machiavelis dan Ken Arok-is serta dendam kesumat tujuh turunan akan tetap merasuki bangsa ini. Harus ada semangat rekonsiliasi yang besar seperti Trisha Melli secara kolektif dan juga harus ada mawas diri dari elite yang terlibat dalam proses desintegrasi bangsa. Bukan cuma tragedi Mei tapi juga dalam krisis Aceh hingga Papua termasuk Poso dan Maluku. Tanpa semangat rekonsiliasi, bangsa ini hanya akan jadi ajang pertarungan elite dan massa yang masing masing secara arogan, menjadi sombong. Dan bahkan menghujat Tuhan dengan ingin bertindak selaku Tuhan untuk menghakimi orang lain. Padahal diri sendiri terlibat dan melakukan kekejian yang tidak teradili dan terhakimi secara tuntas. Saya tidak tahu apakah idée "menjiplak" rekonsiliasi Trisha Melli sebagai model pribadi dan Afrika Selatan sebagai model kolektif ini akan efektif menyentuh hati nurani dan kemauan politik elite dan massa Indonesia atau tidak. Tapi sebagai keluarga korban yang mengalami tragedi Mei 1998 saya menerima sikap"mandito" Trisha Melli sebagai inspirasi. Dan secara kolektif saya menyerukan agar jangan berhenti sekedar studi banding dengan Afrika Selatan. Melainkan secara konkret segera mendirikan Komite Rekonsiliasi Nasional untuk menuntaskan permasalahan kita secara proaktif dan efektif. . Washington DC, 5 Mei 2003. -- ----- Original Message ----- From: "Ikranagara" <[EMAIL PROTECTED]> Bung Chistianto W yang baik; Tulisan Anda TRISHA MELLI - 14 MEI & REKONSILIASI telah saya baca, kiriman kolega saya KI DYOTI [EMAIL PROTECTED] dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Tapi maafkan saya kalau ada diantara beberapa kata-kata saya ini kurang pada tempatnya, mohon dilupakan saja bagian itu, anggap saja bagian itu tidak ada. 1. Pemerkosaan terhadap diri Trisha Melli itu memang sempat saya baca di koran. Di kalangan aktivis di Berkeley, di lingkungan putera saya Innosanto, juga sempat saya dengar. Tentu pembicaraan mereka itu tidak hanya membicarakan Trisha Melli, tetapi juga korban-korban yang lain, yang juga ada yang menuliskan pengalaman sangat pahit itu di buku atau intervius terbuka di radio, dll. Semua korban itu membeberkan penderitaannya itu secara terbuka kepada umum, dan juga foto mereka terpampang di media. Tapi korban pemerkosaan di Indonesia berbeda sekali. Jangankan maju ke depan publik membeberkan segalanya, bahkan beritanya di koran pun disembunyikan namanya, bahkan tidak ditulis inisialnya, kadangkala wartawannya menulis "sebut saja namanya Si Anu" yang bukan nama si korban. Kita pun tidak pernah menyaksikan foto korban. Paling tidak, itulah yang saya ketahui tentang yang di Jakarta pada 1998 itu. Kita pun hanyalah mendengar bisik-bisik dari kiri dan kanan berupa gosip, termasuk gosipan yang menyangkut nama Anda juga. Tapi saya cenderung menepiskan semua gosipan itu, karena tidak adanya sumber informasi yang meyakinkan saya. Tidak ada pengakuan. Tentu, saya pun bisa mengungkapkan sejumlah teori, kenapa sampaio demikian. Tapi terus terang, saya tidak puas dengan teori-teori saya maupun teoiri orang lain tentang kenapa sampai begitu. Juga, dari membaca tulisan Anda tentang Trisha Melli itu saya tidak menemukan jawabannya. Atau Anda juga sama seperti saya, tidak puas dengan teori apa pun yang Anda punya atau dengar? 2. Tapi yang jelas tentulah ada perbedaan antara korban yang di AS dengan korban yang di indonesia, selain bisa saja kita cari persamaan-persamaannya, bukan? Hanya saja, membandingkan Trisha Melli dengan korban di Indonesia pada saat kerusuhan Mei 98 itu berlangsung, saya kira lebih banyak perbedaannya dengan persamaannya. Yang di AS itu tampaknya bisa diisolir sebagai sebuah pristiwa kriminalitas kota. Yang di Indonesia itu tidak bisa diisolir sebagai peristiwa perkosaan saja, tidak bisa diisolir hanya sebagai sebuah peristiwa kriminalitas sebuah kota besar, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari sebuah peristiwa gemuruh sebuah negeri ketika sebuah rezim penguasa tumbang oleh gerakan reformasi total. Dalam tulisan Anda itu jelas sekali arah pembicaraan Anda itu mengarah kepada membahas perkosaan itu sebagai bagian dari sebuah gemuruh tumbangnya sebuah rezim. Karenanya, saya kurang merasa sreg Anda menampilkan contoh korban seorang Trisha Melli yang sedang lari pagi di sebuah taman di New York sebagai contoh untuk membahas rekonsiliasi di Indonesia. 3. Apalagi kalau tulisan Anda itu diharapkan untuk membahas mencari jalan keluar damai menuju pembangunan masa depan Indonesia, tentulah persoalannya jauh lebih rumit dari sekedar rekonsiliasi saja, bukan? Saya sebagai warganegara Indonesia, misalnmya, akan tetap ngotot bahwa masalah ekonomi bukanlah hanya sekedar mencari jalan untuk pertumbuhan ekonomi belaka, melain juga haruslah berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi itu adalah adanya pemertaan. Ungkapan bahwa kuenya dibuat dulu baru nanti belakangan dibagi-bagi, seperti sudah kita dengar di zaman Suharto, adalah sebuah ungkapan yang salah dalam melihat masalah sosial-politik terhadap ekonomi kita. Sistem yang diimpor oleh para ekonom kita dari luar negeri (terutama dari AS) memang hanyalah sistem kapitalisme yang hanya bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sehingga siapa yang dekat dengan timbunan hasil pembangunan maka mereka itulah yang kebagian hasilnya. Lihat saja kekayaan segelintir ABG (ABRI, Birokrat, Golkar), serta para pedagang yang dekat dengan mereka dan siap melakukan sogok suap, betapa mereka ini (yang jumlahnya menurut Gunawan Mohamad, antara lain hanya dua persen saja) telah menjadi kaum kaya raya bahkan tergolong konglomerat dan ada yang berhasil menjadi bagian Multinational Corporations. Bisnis ABRI sampai sekarang utuh! Bisnis pada Birokrat juga utuh! Dan orang-orang Golkar yang berhasil menjadi kaya pun utuh kekayannya. Juga para pedagang kita, kekayaannya utuh, termasuk yang melarikan diri dan modalnya ke luar negeri itu. Mereka itu tak lebih dari dua persen penduduk Indonesia, dan itulah yang sedang diciptakan kembali oleh Dorodjatun sekarang ini. Karena itu, saya pernah menyatakan kepada Anda mendukung Kwik dalam kaitannya dengan IMF. Kita akan putus dengan IMF, kata pemerintah (termasuk MPR), tetapi tidak keluar dari keanggotaan IMF! Ini sih namanya omong kosong! IMF sekarang dengan suara terbuka menerima hal itu, tetapi toh tetap memberikan opsi yang harus diambil salah satunya oleh pemerintah Indonesia. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia tidak punya pilihan lain, kecuali memilihnya. Sungguh, iniah selama ini yang dilakukan oleh IMF: menyusun politik/kebijaksanaan ekonomi kita! Apakah ini bukan berarti kita masih dijajah oleh yang berada di belakang IMF? Yaitu para penguasa di Washington DC, London, dll. Dan di belakang mereka siapa lagi kalau bukan Multinational Corporations. Hal ini dengan gambalang diungkapkan oleh David C. Korten dalam "When the corporations rule the world" itu. Maka ketimpangan kaya dan miskin akan tetap menjadi produk kebijakan politik ekonomi model Wijoyo/Suharto dan Dorodjatun/Mega. 4. Rekonsiliasi bukanlah masalah terpenting bagi kita. Keamanan kan makin hari makin berangsur menjadi baik juga akhirnya. Tapi akar masalah kita yang terpemnting adalah ketimpangan akses atas hasil pembangunan itu. Kecemburuan sosial telah menjelma menjadi salah satu unsur kekuatan terpenting yang menumbangkan rezim Suharto, dan juga rezim Soekarno, dan juga rezim-rezim yang akan datang. Jadi, jangan harapkan Indonesia akan bisa langgeng keamanan dan kesentosaannya kalau masalah gap ini tidak bisa temukan obatnya yang jitu. Ikra === -- --- rahardjo mustadjab <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Sebuah tulisan yang bagus sekali lagi dari CW yang > pesannya tak mungkin seorangpun bisa menyanggahnya. > Saya termasuk warga apakabar yang haus akan tulisan > yang berisi ajakan untuk membenahi kehidupan kita > yang senyata ini. > > RM Harry Adinegara <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Raharjo tepat kalau tulisan CW ini bagus. Saya hanya kepingin tanya, sebuah tulisan bagus ini bagaimana kriterianya? Perlu di amati tulisan CW ini bagus dalam penampilan tapi kurang bersandarkan realita, sehingga nilainya kurang bisa di pertahankan apalagi idee2nya, apakah itu bisa dilaksanakan. Mendirikan suatu Komisi Rekonsiliasi rupanya adalah suatu tindakan dengan jangkauan yang terlalu jauh kedepan. Sebabnya, rintangan2 untuk terwujutnya Komisi Rekonsiliasi masih kabur apalagi untuk mengharapkan bahwa Komisi ini akan berhasil. Coba kita perhatikan soal ini. Kita mulai dengan kasus perkosaan terhadap individu Trisha Melli ini. Yang kita ketahui Trisha ini hidup di negeri yang sudah mantap Hukum dan Law-enforcementnya. Perpetrators, pengganas sex telah di cekal dan diadili. Jadi soal Trisha itu memutuskan dan bertindak mengampuni para pengganas sex ini sebenarnya adalah suatu sikap kebebasannya, mau ,atau tidak, mengampuni adalah hak seseorang, tapi ,ada tapinya ,ini setelah perkara ini di majukan ke depan pengadilan dan ada keputusannya. Bukan se-kali2 mau memberikan komentar yang negatip atas sikap rekonsiliasinya Trisha, tapi ada hal lain yang mendasari mengapa Trisha bisa mengampuni tindakan pemerkosa2nya. Dari suara2 pembaca media berita di Amerika, banyak sebenarnya yang menyalahkan Trisha ini. Kenapa? Karena banyak orang tidak mengerti, bahkan heran mengapa pemerkosaan ini bisa terjadi yang sebetulnya bisa dihindari oleh Trisha. Kejadian ini karena victim ini, se-olah2 menantang bahaya. Dia berjogging di malam hari di taman2 yang cukup sepi. Orang perempuan sendirian jogging di malam hari? Suatu tindakan yang sembrono dan bodoh. Kalau orang Jawa bilang: "nggolek molo", cari penyakit. Apakah mungkin karena dia (Trisha), dalam hati kecilnya merasa bahwa dia juga punya andil: mengapa sampai dia diperkosa! Dari itu dia sedia mengampuni tindakan para pengganas sex ini. Bagaimana bila peristiwa Trisha Melli ini, yang jadi kepala tulisannya Bung CW ini, dikaitkan dengan peristiwa 13 Mei 98? Apakah CW mengharapkan victims dari pemerkosaan 13 Mei ini ber-bondong2 mengulurkan tangan rekonsiliasi? Kemana uluran tangan rekonsiliasi ini harus ditujukan? apabila para pengganas sexnya saja tidak pernah bisa ditunjuk dan didakwa sebagai perpetrators dari peristiwa Mei 98 ini. Ada banyak sudah yang menunjukan golongan ini, golongan itu, tokoh ini, tokoh itu yang diduga adalah aktor intelektuilnya dari peristiwa Mei 98 ini. Tapi konkritnya tidak ada yang jelas. Tidak ada satu instansi pun yang sanggup melanjutkan perkara ini sampai ke meja pengadilan. Ditambah pula orang2 yang jadi korban, victims dari peristiwa ini ogah atau tidak mau identitasnya tersiar kemana mana. Mungkin para korban ini merasa bahwa maju menuntut keadilan adalah suatu effort yang sia2 di Indonesia saat ini. Jadi untuk sekarang ber-angan2 mendirikan semacam Komisi Rekonsiliasi adalah suatu tindakan yang "kebablasan". Lain misalnya Dewan rekonsiliasi yang terjadi dan diangkat di Afrika Selatan. Mereka punya data2 atrocities yang dilakukan oleh para pengganas HAM, orang2 white supremacies dan lain2 kejahatan dalam era Apartheid. Baru setelah mereka2 ini di belejeti kejahatannya, baru diadakan usaha rekonsiliasi dan uluran tangan perdamaian. Tidaklah mengherankan, usaha Rekonsiliasi di Afrika Sel bisa jalan karena wadahnya ada yakni: negara hukum. Jadi mau mengadakan rekonsialisi sekarang ini tak lain adalah tindakan yang tidak tepat. Idee ini bak mimpi di siang hari bolong. Tunjukan dulu, dengan bukti2 semua individu yang punya andil besar dalam peristiwa Mei 98, dan adili mereka dulu. Baru apabila mereka menyesal bisa kita ajak rekonsiliasi. Inilah susahnya di Indonesia untuk bisa maju menegakkan keadilan dan hukum disini. Kenapa? karena negara ini masih di rudung kemalangan, kemalangan: yakni negara ini masuk perangkap para perampok, para pengganas anti HAM, keadilan porak poranda. Untuk itu yang diperlukan di Indonesia yalah penegakan Hukum. Rekonsiliasi hanya bisa jalan, hanya di negara hukum. Harry Adinegara. -- ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> In low income neighborhoods, 84% do not own computers. At Network for Good, help bridge the Digital Divide! http://us.click.yahoo.com/HO7EnA/3MnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/