Biasanya Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbanyak (sekitar 220 juta) - sementara yang lain paling banyak hanya sekitar 90 juta - selalu menempati urutan pertama dalam Sea Game.
Namun kali menempati urutan ke 5 di bawah Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand (padahal jumlah penduduk Malaysia paling di bawah 30 juta). Mungkin ini merupakan gambaran kurang gizinya mayoritas rakyat Indonesia. Tanpa gizi yang cukup, sulit jadi olahragawan nomor satu. Ada rakyat kita yang mati kelaparan. Banyak pula yang makan nasi aking (nasi basi). Bagaimana bisa sehat dan jadi olahragawan. Menurut perkiraan saya, paling sekitar 20% penduduk Indonesia saja yang gizinya memenuhi standar (sekitar 48 juta). Sisanya ya ngirit2 dengan lauk seadanya. Saya yakin pak Agum sudah berusaha keras. Namun stok olahragawan kita yang layak bukan lagi 220 juta. Tapi hanya sekitar 48 juta. Belum Pernah Dunia Olahraga RI Seterpuruk Ini Ada keheranan tak terperikan saat menyimak penjelasan Ketua Umum KONI Pusat Agum Gumelar tentang keterpurukan Indonesia di ajang SEA Games 2005. Menurut dia, prestasi Indonesia merosot karena lawan lebih siap! Sampai detik ini pun sulit untuk menerima penjelasan senaif itu dari salah satu pejabat yang paling bertanggung jawab terhadap pembangunan olahraga di Tanah Air ini. Memang, ada muram dan pedih dalam pernyataan Agum tersebut. Pertama, respons seperti itu ibarat canda yang disampaikan seorang atlet yang kalah saat diwawancarai. Mengapa Anda kalah? Yah, karena lawan yang menang, ujar sang atlet dengan senyum kecut. Ucapan ini lucu, tetapi ada keperihan di dalamnya. Kedua, alangkah bijaknya jika Agum justru mengakui bahwa pembangunan olahraga Indonesiayang sebagian diembannya, sebagai Ketua Umum KONI Pusatmemang sedang mengalami masa yang paling muram. Dan jauh lebih indah terdengar apabila setelah mengakui kegagalan ada janji, ada seucap harapan untuk kembali bangkit, terus berjuang memperbaiki kesalahan. Keterpurukan Indonesia di ajang SEA Games 2005 memang bukan semata kesalahan Ketua Umum KONI Pusat. Pun bukan semata kesalahan atlet, pembina cabang, atau stakeholders olahraga lainnya. Ini kesalahan kita bersama sebagai bangsa. Namun, toh bukan berarti tidak ada yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Kata bangsa kemudian menjadi terlalu absurd untuk dimintai pertanggungjawaban. Jadi, siapa yang harus mengemban tanggung jawab itu? Tentu peringkat pertamanya adalah pembina dan pelaku olahraga, mulai dari KONI, pengurus cabang, atlet, hingga pelatih. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault yang baru setahun lebih menjabat juga ketiban abu panas tanggung jawab ini. Strata kedua tentu saja stakeholders olahraga, termasuk dunia usaha, media massa, hingga pemerintah. Sinyal bahaya 1999 Terempasnya dunia olahraga Indonesia sebenarnya bisa dihindari jika para pembina mempunyai insting yang kuat terhadap krisis. Sinyal kejatuhan sesungguhnya sudah mengaum kencang sejak tahun 1999 ketika untuk pertama kalinya Indonesia jatuh ke peringkat tiga pada pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games. Dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di ajang SEA Games sejak tahun 1977, hanya dua kali Indonesia terpeleset ke posisi dua, yakni tahun 1985 di Bangkok dan tahun 1995 di Chiang Mai. Selebihnya, sampai tahun 1997, kontingen Merah Putih selalu juara umum. SEA Games memang menjadi tolok ukur paling pas untuk mengukur perkembangan olahraga. Pertama, di ajang itu lawan- lawan yang dihadapi relatif seimbang sehingga perbedaan catatan prestasi bisa diukur dengan lebih adil. Kedua, SEA Games adalah ajang ragam (multievent) yang bisa mengukur perkembangan hampir seluruh cabang olahraga. Namun, sinyal bahaya itu tak pernah ditanggapi serius. Pembina olahraga Indonesia masih terbius oleh keberhasilan semu di arena Olimpiade, di mana atlet-atlet bulu tangkis selalu bisa membawa pulang medali emas, minimal satu keping. Kita memang kalah dari Thailand di SEA Games, tapi unggul di Olimpiade, demikian selalu terucap dari mulut pembina olahraga. Sebuah kebanggaan yang sangat absurd. Semu. Sejak terpeleset di SEA Games 1999 di Brunei Darussalam, hingga luluh lantak, jatuh ke posisi kelima di SEA Games Filipina baru-baru ini, praktis tak ada hal baru yang dibuat pembina olahraga untuk kembali bangkit. Boro-boro desain besar pembangunan olahraga, terobosan-terobosan pembinaan pun hampir tak ada yang dibuat. Nyaris tidak ada kompetisi atau turnamen baru yang dibangun di semua cabang. Ironisnya, pada tiga cabang indukatletik, renang, dan senamhanya renang yang relatif paling giat menggelar kegiatan meski diakui hasilnya belum optimal. Atletik paling memilukan. Dalam 10 tahun terakhir Stadion Madya Senayan yang megah tak terdengar lagi gema riuhnya. Lapangan-lapangan atletik di seluruh Indonesia pun setali tiga uang, hanya jadi lahan untuk bermain layang-layang. Cabang-cabang olahraga lain nyaris bernada sama. Tidak ada pembinaan mulai dari usia dini. Jangankan kompetisi reguler teratur, turnamen kecil-kecilan saja praktis tak pernah digelar. Cabang hoki, misalnya, satu dasawarsa ini tak pernah menggelar kegiatan apa pun. Uniknya, ketua pengurus besarnya bisa bertahan hingga belasan tahun tanpa satu orang pun bisa menggusurnya. Meski demikian, masih ada beberapa cabang yang giat menggelar kegiatan, antara lain bulu tangkis, balap sepeda, bola voli, bola basket, dan catur. Cabang-cabang ini meski belum bisa berbicara banyak di tingkat Asia, di tingkat Asia Tenggara, prestasinya relatif stabil. Harus diakui, sepak bola adalah cabang yang paling teratur menggelar kompetisi. Sayangnya, pengelolaannya terlalu banyak dikangkangi vested interest pengurusnya, mulai dari kepentingan pribadi sampai uang. Walhasil, sepak bola Indonesia tak dapat apa-apa, bahkan di arena SEA Games. Bagaimana mungkin cabang itu menghasilkan pemain-pemain unggul di tim nasional jika klub-klub peserta kompetisi dijejali pemain asing yang mutunya pas-pasan? Bagaimana pemain bola Indonesia bisa berkompetisi secara fair jika di klub mereka tahu bisa bertindak seenaknya karena wasit sudah dibeli oleh pengurusnya? Budaya instan Selepas rontok di SEA Games 2005, kini timbul wacana untuk sedini mungkin menggelar pemusatan latihan nasional (pelatnas) menjelang Asian Games 2006. Wacana ini sesungguhnya konyol. Tanpa kegiatan teratur dan kompetitif, sedini apa pun pelatnas tidak akan menghasilkan atlet tangguh. Wacana pelatnas yang dipercepat adalah gambaran budaya instan yang semakin merajalela hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat. Tak ada satu pun cabang olahraga di dunia ini yang bisa sukses di arena kompetisi internasional hanya dengan mengumpulkan atletnya dalam pelatnas. Atlet hanya bisa matang melalui latihan yang spartan dan tergodok dalam sebuah kompetisi yang teratur dan ketat persaingan. Maka, sebaiknya para pembina olahraga berhenti bermimpi bisa kembali membangkitkan olahraga dengan program-program instan. Ibarat bangunan rumah, olahraga Indonesia sudah luluh lantak, rata dihantam gelombang tsunami. Yang harus dibangun dulu adalah fondasinya, yakni kegiatan olahraga mulai dari tingkat kecamatan. Jika belum mampu menggelar kompetisi, bikin dulu turnamen-turnamen kecil di sebanyak mungkin cabang olahraga. Pengurus cabang olahraga tidak perlu malu untuk mundur jika memang tak mampu. Ingatlah, belum pernah sepanjang sejarah republik, dunia olahraga kita seterpuruk seperti sekarang ini. (Anton Sanjoyo) http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/21/utama/2305820.htm Tertarik masalah Ekonomi? Mari bergabung ke milis Ekonomi Nasional Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/f4eSOB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/