http://serbaserbikehidupan.blogspot.com/2008/05/melajang.html

Kemarin hari Selasa 20 Mei 2008 ada seorang teman adikku, perempuan, yang 
datang ke rumah, sekitar pukul 09.00. Aku tidak sempat bertegur sapa dengannya 
(kutengarai dia adalah seorang teman ‘baru’ adikku, sehingga aku belum 
mengenalnya) dan adikku pun tidak mengenalkanku dengannya. It is not a big deal 
anyway karena rumah Nyokap yang lumayan besar membuat kehadirannya tidak 
terlalu ‘terlihat’. Sejak datang, dia asik ngobrol dengan adikku di kamarnya.
Selasa 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional, yang kebetulan juga berbarengan 
dengan Hari Waisak, merupakan hari libur di Indonesia. Pagi hari sekitar pukul 
06.00-09.00 aku dan Angie pergi berenang. Sesampai rumah, kita berdua sarapan. 
Aku mencuci baju setelah itu, dan Angie membantuku membilas dan menjemurnya. 
Setelah itu, kita berdua menyibukkan diri di dalam kamar, aku mengetik artikel 
di komputer sedangkan Angie bermain game di hapenya. Sekitar pukul 12.00, aku 
mengantuk sehingga aku pun leyeh-leyeh di atas tempat tidur sementara Angie 
gantian mengambil posisi di depan komputer, mengetik tugas dari sekolah.
Sekitar pukul 14.00-16.00 kita menonton I NOW PRONOUNCE YOU CHUCK AND LARRY.. 
We were having fun karena film Adam Sandler yang satu ini lucu sekali.
Selepas Maghrib, ternyata teman adikku masih betah di rumah. Tatkala aku ke 
belakang untuk membuat cappuccino, aku mendengar suaranya yang sedang ngobrol 
dengan adikku.
Selepas jam 20.00, ternyata dia pun masih ada, sehingga Angie pun bertanya, 
“Temannya Tante Lala mau menginap di sini ya Ma?”
“I dunno, honey. Maybe yes.”
Hal ini mengingatkanku pada seorang teman SMA-ku yang pernah menginap di rumah, 
minggat dari rumah karena dia dilarang pacaran dengan seorang tetangga oleh 
orang tuanya. Orang tua si pacar pun konon kurang sreg anaknya berpacaran 
dengan temanku.
“Waktu itu malam-malam, loh Sayang, sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, pacarnya 
datang, mengetuk-ngetuk jendela kamar paling depan, sambil mengucapkan 
‘Assalamu ‘alaikum’. Ama yang terbangun karena mendengarnya, bertanya dari 
balik jendela, ‘Siapa ya?’ Ternyata pacar temannya Mama itu datang, 
menjemputnya untuk diajak pulang.”
“Wah, rame juga ya Ma? Terus, akhirnya mereka menikah ga?” tanya Angie, 
antusias.
“Iya, mereka menikah setahun setelah teman Mama lulus SMA.”
*****
Tadi pagi, sepulang aku dari erobik, Nyokap bercerita kepadaku tentang teman 
adikku yang ternyata ‘minggat’ dari rumah karena bosan dikejar-kejar melulu 
untuk segera menikah. She was born in 1974.
“Rumah kita memang jadi penampungan orang-orang minggat,” kataku, bercanda. 
Selain seorang teman yang kuceritakan di atas, masih ada dua orang temanku lain 
lagi yang minggat dan menginap di rumah selama beberapa hari, sampai orang tua 
mereka ‘menemukan’ mereka berada di rumahku.
Mendengar cerita itu, aku pun bercerita kepada Nyokap tentang seorang teman 
kuliah S2 yang juga sering dikejar-kejar untuk segera menikah. Tahun 2003 dia 
melanjutkan kuliah ke American Studies UGM karena ogah dikejar-kejar untuk 
segera menikah. Menjelang hari wisuda (kebetulan kita berdua wisuda pada 
tanggal yang sama, 25 Januari 2006), dia curhat, “Tiga tahun yang lalu aja aku 
dikejar-kejar untuk menikah melulu, apalagi sekarang ya? Alasan apa lagi yang 
bisa kukemukakan kepada orang tuaku?”
Untunglah dalam hal ‘menikah’ ini Nyokap, my only parent who is stil alive, 
tidak pernah membuat kedua adikku merasa tidak jenak di rumah, hanya gara-gara 
mereka berdua masih single.
“Mau gimana lagi? Mami lihat kedua adikmu itu enjoy-enjoy aja menjalani 
hidupnya. Ya biarkan sajalah. Mami ga mau kalau hanya gara-gara urusan menikah, 
adikmu malah minggat dari rumah karena merasa tidak nyaman Mami kejar-kejar 
untuk menikah. Yang namanya jodoh itu kan datangnya dari Allah. Ya yang sabar 
saja.”
*****
Masalah menikah ini memang selalu sensitif. Kebetulan di Indonesia, ‘menikah’ 
dianggap sebagai suatu keharusan, bahkan suatu ‘kodrat’ yang harus dijalani. 
Kalau seseorang tidak atau belum menikah, terutama bagi mereka yang usianya 
dianggap ‘terlambat’ untuk menikah (angka 30 selalu dipatok sebagai ‘ambang’) 
maka masyarakat pun akan ‘usil’ menanyakan. Untuk perempuan, ‘beban menikah’ 
ini lebih besar karena ada hal lain yang berhubungan dengan harga diri, yakni 
pandangan ‘tidak laku’ atau ‘belum laku’. Bagi orang tua, ‘tudingan’ masyarakat 
memiliki anak perempuan yang ‘tidak laku’ sangatlah menyakitkan sehingga mereka 
pun memaksa anak-anak gadisnya untuk segera menikah, untuk ‘menyelamatkan’ nama 
baik mereka. Mereka tidak sadar bahwa pemaksaan ini justru menyebabkan beban di 
pundak para lajang semakin besar. Para lajang ini justru membutuhkan 
perlindungan, ayoman, serta pengertian dari orang tua untuk terus
 menapaki hidup dengan percaya diri, bahwa ‘It is very okay to be single. Tidak 
ada yang salah untuk tetap melajang.’
PT56 11.43 210508

Minds are like parachutes, they only function when they are open.   (Sir James 
Dewar)
visit my blogs please, at the following sites
http://afemaleguest.blog.co.uk
http://afeministblog.blogspot.com
http://afemaleguest.multiply.com

THANK YOU
Best regards,
Nana



      

Kirim email ke