Melayu-Islam di Wihara Ancol 

Oleh: Iwan Santosa

Kota Semarang memang punya Kuil Gedung Batu sebagai peninggalan Laksamana Besar 
Cheng Ho (Zheng He dalam bahasa Mandarin), tetapi Jakarta juga memiliki 
peninggalan serupa, yakni Wihara Buddha Bhakti Ancol.

Berawal dari sebuah Kelenteng An Xu Da Bo Gong Miao (Kelenteng Toapekong 
Ancol), kompleks peribadatan yang didirikan sekitar 1650 Masehi itu masih 
berdiri kukuh dan menjadi pertanda hubungan baik Tiongkok-Pasundan di tepi 
pantai Ancol.

Tempat itu menjadi peribadatan umat Buddha, Konfusius, sekaligus peziarahan 
bagi umat Muslim di Betawi tempo dulu hingga kini. Penyebabnya adalah sejumlah 
makam tokoh Sunda dan beragama Islam sekaligus keberadaan Sam Po Kong yang 
Muslim di tempat itu menjadikannya sebagai tempat pertemuan umat dari pelbagai 
agama.

Johannes Widodo, pakar arsitektur dan peneliti Cheng Ho dari National 
University of Singapore (NUS), menjelaskan, kompleks makam tersebut merupakan 
peninggalan sejarah muhibah armada Cheng Ho yang berulang kali mengunjungi Jawa 
pada abad ke-15.

”Sam Po Kong (Cheng Ho —Red) sendiri jarang turun ke darat sebagai pembesar dan 
tetap tinggal di atas kapal. Biasanya, para pejabat kepercayaan turun ke darat 
mengadakan kunjungan persahabatan dengan kerajaan lokal. Yang turun di Ancol 
adalah Sam Po Soei Soe,” Johannes memaparkan.

Dalam karya ilmiahnya, Johannes menulis dalam Kelenteng terdapat tiga makam 
Islam, yakni kuburan Sam Po Soei Soe, istrinya seorang putri bangsawan Sunda, 
dan makam ayah sang putri (Embah Said Dato Kembang). Tempat itu menjadi 
peziarahan Tionghoa dan Muslim sehingga makanan mengandung babi tidak boleh 
disajikan di kompleks kelenteng itu.

Sebuah kisah mengatakan, saat menikah, pasangan Tionghoa-Sunda itu saling 
berjanji tidak akan menghidangkan babi yang diharamkan dalam Islam. Petai dan 
jengkol juga dilarang karena dianggap berbau tidak sedap. Itu dilakukan sebagai 
rasa saling menghargai antara kedua insan tersebut.

Munir, seorang penjaga Kramat Embah Said Dato Kembang atau Kramat Ancol Kota 
Paris, membenarkan keterangan tersebut dan menyatakan bahwa tempat itu menjadi 
tempat ziarah bagi orang Islam mau pun Tionghoa. Tempat itu memang unik, di 
Kramat tersebut terdapat makam Embah Said dan istrinya, Ibu Emmeng, yang 
beragama Islam.

Batu peringatan pada makam itu tertulis dalam bahasa Melayu dan huruf Han Zi. 
Sedangkan perlengkapan sembahyang dan ziarah tersedia untuk berdoa sesuai cara 
Islam atau Tionghoa.

Pemandangan di dalam bangunan utama kelenteng tak kalah uniknya. Di sana 
terdapat makam dan altar pasangan ”pembauran” Sam Po Soei Soe dan istri Ibu 
Siti Wati. Di sisi makam Siti Wati terdapat makam Ibu Mone. Menurut Tan Yin 
Cang (Chen Ying Chang dalam bahasa Mandarin), salah satu penjaga wihara, Ibu 
Mone masih terhitung kerabat Ibu Siti Wati.

Di sudut ruangan terdapat makam Kong Tjoe Tjou Seng yang juga juru masak Armada 
Zheng. Di tempat pemujaan utama memang terdapat patung dan papan nama Sam Po 
Tay Jin (Zheng He) di sudut kiri, Sam Po Soei Soe dan Ibu Siti Wati di tengah, 
dan Kong Tjo Tjo Seng di sudut kanan. Selain altar utama itu, terdapat juga 
tempat sembahyang lain.

Chen Ying Chang menunjukkan berkeliling ada tempat pemujaan Kwan Kong, Buddha, 
Kwan Im, Dewa Bulan, dan Dewa Matahari, dan sesembahan lain.

Faktor penghormatan leluhur sangat penting dalam budaya Tionghoa. Keberadaan 
pasangan Tionghoa dan Sunda di kompleks wihara tersebut tidak luput dari 
penghormatan masyarakat Tionghoa yang menjalankan ibadah.

A Hong, seorang pengusaha pabrik di Muara Karang, mengaku sengaja datang untuk 
memberi penghormatan dan mendoakan orangtuanya di Wihara Ancol. Saat ditemui, 
ia baru mengguyurkan minyak sembahyang di Kramat Ancol. ”Saya tinggal di Muara 
Karang. Sudah lama tak bersembahyang di sini. Kalau pedagang tertentu ada yang 
khusus bersembahyang di sini untuk minta berkah,” katanya.

”Tenggelam”

Meski bernilai sejarah tinggi, Kelenteng Ancol seolah tenggelam di tengah 
hiruk-pikuk Jakarta dan keramaian peringatan 600 tahun ekspedisi Cheng Ho yang 
dipusatkan di Semarang selama pekan pertama Agustus 2005. Letaknya tersembunyi 
di sisi timur Taman Impian Jaya Ancol, dan berada di sudut perumahan mewah 
dekat Jalan Pasir Putih III dan Jalan Pantai Sanur di kawasan bekas Sirkuit 
Ancol.

Kelenteng Ancol merupakan salah satu jejak sejarah Jakarta sebagai Bandar 
Internasional. Sejarawan Adolf Heuken dalam buku Historical Sites of Jakarta 
menulis, pada abad ke-17 dan ke-18 Ancol merupakan tempat hunian mewah dan 
taman besar, tetapi akhirnya ditinggalkan penghuni akibat wabah malaria di 
daerah berawa-rawa itu.

Sedangkan catatan resmi keberadaan Kelenteng Ancol baru muncul dalam catatan 
essay A Tesseire (diterbitkan 1792) sebagai: ”kelenteng tertua dan didirikan 
pada pertengahan abad lalu yakni sekitar 1650”. Keterangan itu sejalan dengan 
peringatan di dalam kelenteng pada restorasi tahun 1923. Setidaknya salah satu 
papan berukiran huruf Han Zi di dekat bangunan utama memang mencantumkan tahun 
1755 Masehi.

Tahun 1790, menurut Heuken, orang Tionghoa membeli kompleks tersebut dari VOC. 
Selanjutnya, dilakukan restorasi pada tahun 1839, 1923, 1952, dan 1974. Bentuk 
wihara Ancol saat ini memang masih asli dan merupakan kondisi pada abad ke-18 
atau sekitar tahun 1700-an.

Pesan saling menghargai dan kerukunan antarbangsa adalah semangat yang dibawa 
Zheng He dan setidaknya diwariskan dalam situs sejarah Wihara Buddha Bhakti 
Ancol.

Tak heran National Geographic menggambarkan Zheng He sebagai orang besar yang 
menghargai keragaman dan menjunjung kesetaraan. Sayang, pesan tersebut terkubur 
di tengah hiruk-pikuk dan materialisme warga ibu kota Jakarta.

KOMPAS

--------------------------------------

DH: Mudah mudahan tidak difatwa lalu dilarang...

salam

Danardono



***********************************************************************************
 
It is wrong to think that misfortunes come from the east or from the west; 
they originate within one's own mind. Therefore, it is foolish to guard against 
misfortunes from the external world and leave the inner mind uncontrolled.

Sidharta Gautama



                
---------------------------------
Gesendet von Yahoo! Mail - Jetzt mit 1GB kostenlosem Speicher

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hao6mjb/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123067481/A=2894350/R=0/SIG=10tj5mr8v/*http://www.globalgiving.com";>Make
 a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke