http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/29/o3.htm
Apabila perangkat hukum lokal berkarakter eksklusif, maka akan menggoyahkan tatanan Negara Kesatuan RI. Itu artinya bentuk aturan lokal apa pun yang dibuat dan dianggap merupakan ciri khas dan karakter suatu daerah harus tetap berpegang pada satu roh ideologi, politik, ekonomi, serta hukum nasional sebagai satu semangat kebangsaan. Melongok Hukum Cambuk di Aceh Oleh Suwono, S.H., S.E., M.Hum. HARI Jumat, 24 Juni 2005 lalu bertempat di halaman Masjid Agung Bireuen untuk pertama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), aparat Kejaksaan NAD melaksanakan eksekusi terhadap 15 dari 26 terpidana yang dijatuhi hukuman cambuk yang dilakukan oleh Polisi Syariat. Eksekusi hukuman cambuk itu dilakukan setelah sholat Jumat, yang disaksikan oleh ribuan warga masyarakat termasuk kalangan wartawan. Permasalahannya, apakah pemberlakuan hukum pidana yang eksklusif itu merefleksikan adanya negara dalam negara? Dasar Yuridis Dilakukannya hukuman cambuk bagi terpidana kriminal sebagai pelaksanaan prinsip-prinsip agama (syariah) dalam daerah yang memiliki otonomi khusus. Para terhukum dinilai bersalah melakukan pelanggaran syariah yaitu maisir (tindak pidana perjudian). Hukuman itu tidak berdasarkan KUHP nasional seperti selama ini. Eksekusi berupa uqubat (hukuman badan) itu atas pelanggaran Qonun (semacam Peraturan Daerah) No. 13 tahun 3003 menyusul diberlakukannya Peraturan Gubernur Propinsi NAD No.15 tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Uqubat Cambuk. Perlu diketahui, pemerintah NAD sejauh ini telah memberlakukan tiga qonun terkait jinayat (hukum pidana Islam) yaitu Qonun No. 13 tahun 2003 tentang maisir, Qonun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Keras dan sejenisnya (khmar), dan Qonun No.14 tahun 2003 tentang Khalwat (perbuatan mesum), dan qonun-qonun lain kabarnya akan menyusul. Tatacara pelaksanaan hukuman badan (uqubat) itu, dilakukan oleh pencambuk (algojo) dari jajaran petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) yang ditunjuk oleh Jaksa selaku pihak eksekutor ke arah punggung terhukum sesuai dengan jumlah hukumannya. Sang algojo melakukan tugasnya dengan mengenakan jubah berwarna hijau yang menutupi kepalanya. Sedangkan, para terhukum memakai jubah tipis berwarna putih. Terhukum dicambuk dalam keadaan berdiri (karena laki-laki). Bila terhukumnya perempuan, maka dia harus dalam posisi duduk. Hukuman dilaksanakan di atas panggung, dan pengunjung bisa menyaksikan langsung dari jarak sepuluh meter. Alat yang digunakan berupa sepotong rotan sepanjang satu meter dengan diameter antara 0, 75 sentimeter sampai satu sentimeter, dengan sudut ancang-ancang kurang lebih empat puluh derajat. Si terpidana, sebelum dilakukan pencambukan secara medis harus dinyatakan sehat oleh dokter. Bila terjadi masalah kesehatan setelah pencambukan harus segera mendapat penanganan dari tim medis yang telah dipersiapkan. Secara akademis, ternyata pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh itu menarik untuk kita bicarakan. Karena, NAD adalah salah satu daerah di negara yang konstitusinya (undang-undang dasar) tidak berdasarkan agama tertentu (Islam). Hal ini lebih merupakan penghargaan dan perlakuan khusus dari negara kepada NAD atas dasar pertimbangan khusus pula. Konsep otonomi daerah memang memberi kesempatan bagi daerah otonom tersebut untuk mengelola sumber nilai-nilai lokal dengan kewenangan lokal pula, terlebih Aceh yang telah diberi otonomi khusus secara konstitusional. Pro-Kontra Pemberlakuan hukum pidana yang ekslusif itu dalam tataran sosiologis menyisakan perdebatan yang cukup sengit di masyarakat. Tak kurang dari Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama sendiri, yaitu KH Hasyim Muzadi telah memberikan pendapatnya. Mengapa dalam negara kesatuan bisa ada dua sistem hukum yang berbeda? Hukum dalam Islam itu ada substansi, ada pula bentuk. Bentuk itu alternatif, sedangkan substansi sifatnya mutlak. Benar mereka yang bersalah itu harus dijatuhi sanksi, tetapi bentuknya tidak harus cambuk. Berbagai macam alternatif bisa diambil. Menurutnya, dalam melaksanakan syariat itu, tidak boleh bersifat ekslusif tetapi harus inklusif. Dalam arti nilai-nilai agama itu kemasannya harus kemasan kebangsaan, dalam tata hukum yang mengikuti hukum positif nasional. Khusus mengenai keislaman kita lakukan dalam civil society (masyarakat sipil), tidak dalam nation state. Bagi kalangan aktivis HAM semisal Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), hukuman cambuk itu merupakan langkah mundur dari penegakan HAM di Indonesia. Pelaksanaan hukuman itu telah memamerkan kesadisan dan mengabaikan aspek humanisme, kejam, tidak manusiawi, dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia. Pemberian hukuman cambuk dipastikan akan menimbulkan penderitaan yang besar, tidak hanya luka fisik dan psikologis kepada para terpidana semata. Keluarga terhukum juga mendapat malu dan trauma atas perbuatan yang ditimbulkan karena hukuman tersebut dipertunjukkan di depan khalayak ramai. Elsam memandang, bentuk hukuman cambuk akan merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi internasional yang berkaitan dengan HAM. Terlebih terpidana itu telah dihukum dua kali, karena sebelum dilakukan hukuman cambuk, mereka rata-rata telah menjalani hukuman penjara selama dua bulan. Selain itu akan memberikan efek jera bagi si pelaku dan memberi peringatan bagi orang lain agar tidak berbuat serupa. Artinya hukuman cambuk bukan ditekankan pada rasa sakit si terpidana, tetapi efek jera akibat rasa malu yang diterima oleh para terhukum dan keluarganya, karena secara masif hukuman dilakukan di hadapan publik. Memang, sewaktu Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh dibahas tahun 2001 terdapat pro-kontra tentang pemberlakuan syariat Islam di NAD. Yang setuju berpendapat bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh akan menjadi obat mujarab agar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mau menyerah. Menarik untuk disimak dalam peristiwa ini, yaitu pernyataan dari terpidana hukuman cambuk itu. Mereka rela menjadi contoh pertama yang menjalani hukuman cambuk itu, namun mereka menuntut agar hukuman cambuk ini jangan menjadi yang terakhir. Itu artinya, pelaku kejahatan yang lebih besar dan koruptor harus diperlakukan sama. Yang perlu digarisbawahi dari adanya fenomena hukuman cambuk itu, dan harus kita pegang teguh adalah konsekuensi dari bentuk Negara Kesatuan RI yang telah kita sepakati secara politis. Artinya semua daerah di negeri ini harus tunduk pada satu kesatuan sistem nasional yang meliputi empat hal, yaitu satu sistem moneter, satu kebijakan luar negeri, satu sistem hukum, serta satu sistem pertahanan-keamanan. Ini tak bisa ditawar-tawar. Apabila perangkat hukum lokal berkarakter eksklusif, maka akan menggoyahkan tatanan Negara Kesatuan RI. Itu artinya bentuk aturan lokal apa pun yang dibuat dan dianggap merupakan ciri khas dan karakter suatu daerah harus tetap berpegang pada satu roh ideologi, politik, ekonomi, serta hukum nasional sebagai satu semangat kebangsaan. Konsekuensinya, sekalipun Aceh memiliki hukum lokal tersendiri, yang cenderung berbeda dengan sistem hukum nasional, tentu harus tetap dalam kerangka negara hukum RI. Pelaksanaan syariat Islam yang demikian hanyalah bukti bahwa kekayaan budaya hukum nasional Indonesia itu ternyata warna-warni, yang justru memperindah 'taman sari' Republik ini dan bukan merupakan bentuk negara dalam negara. Penulis, Hakim PN Negara, dan dosen FH Unmas Denpasar, kini Wakil Ketua PN Sinabang NAD [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/