MEMBANDINGKAN KOLONEL ADJIE SURADJI DAN HUGO
CHAVEZ

Yang
menarik dari Kolonel Adjie Suradji, perwira TNI-AU yang mengeritik kepemimpinan
SBY dalam tulisannya di Kompas, kolonel kita ini memuji Evo Morales (Bolivia),
Hugo Chavez (Venezuela), dan Ahmadinejad (Iran), sebagai contoh pemimpin yang
berani mengambil risiko demi kepentingan bangsanya. National leadership tanpa
keberanian melakukan decision making, tanpa taking risk, memang jadi omong
kosong.

Saya prinsipnya sangat setuju dengan isi
tulisan kolonel kita ini. Sayangnya, kepada Chavez dan Morales, Adjie Suradji
cuma sebatas kagum. Harusnya Adjie lakukan remodeling gerakan si Chavez ini,
sehingga punya efek domina dalam memperluas skala perlawanan. 

Pada 1992, kalau tidak salah Chavez
masih mayor. Chavez coba-coba bikin gerakan menggusur Presiden Carlos Andres 
Perez,
setelah Perez secara dramatik memotong anggaran sosial akibat titah IMF, dan
setelah Perez merepresi gerakan protes. Hasilnya, Chavez gagal total, dicopot 
jadi tentara, dan masuk penjara. Namun semua elemen masyarakat Venezuela sontak 
sadar
bahwa di negerinya masih ada orang yang berakal sehat, idealis, dan setia pada
panggilan jiwanya. 

Pada pemilu 1998, rakyat
memutuskan: Saatnya Chavez diberi mandat berkuasa. Pada 1998 itu, sebagai sipil
Chavez memenangi pemilu dengan 56 persen suara. Itu buah dari aksi perdana dia
pada 1992.

Pada 1992, esensi yang
dilakukukan Chaves bukanlah mayor yang melawan komandanya. Kalau itu nanti
urusannya jadi insubordinasi. Tapi saat itu Chavez menyusun perlawanan yang
ditujukan pada otoritas sipil yang membuat demokrasi jadi mandul dan tidak
aspiratif. Itulah ruh gerakan perlawanan Chavez.

Yang
masih belum jelas, apakah Kolonel Adji Suradji memang punya gagasan dan
semangat seperti Chavez, atau dia sekadar bikin tulisan biasa saja (yang
membuat dia bakal kena sanksi dari otoritas TNI-AU). Karena biasanya orang 
Indonesia hanya
mau bermain di Zona Aman dan Zona Nyaman.

Kalau
SBY konsisten mau menerapkan adagium “teman sebanyak-banyaknya, nol musuh,”
opsi yang bisa terjadi adalah Adjie Suradji direkrut masuk di Partai Demokrat
(sekaligus untuk membungkam mulutnya) atau jadi staf ahli Menkopolkam Djoko 
Sujanto.
Kalau ini yang terjadi, Indonesia
tampaknya ya akan terus begini-begini saja. Tidak ada terobosan apa-apa kecuali
business as usual (atau politik pencitraan as usual).

Semoga
tulisan ini bermanfaat!

(Notes: Tulisan di atas ini adalah rangkuman dari potongan-potongan posting
sobat saya Hendrajit di Facebook. Saya
sambung-sambung dengan sedikit komentar dan editan saya sendiri, sehingga jadi
seperti ini).

 

Satrio
Arismunandar

 





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke