http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=202405

Jumat, 16 Des 2005,

Memerkarakan Hakim ke Pengadilan
Oleh Ernanto Soedarno

Upaya jajaran kehakiman untuk memberantas praktik korupsi di dunia peradilan 
saat ini tampak sangat kuat. Menurut Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang 
Pengawasan Gunanto Suryono, sebagaimana banyak diberitakan media, ada seorang 
hakim dipecat karena menerima suap Rp1,8 miliar dan memutus perkara di luar 
wewenangnya. Sementara itu, 25 orang staf pengadilan, termasuk hakim, juga 
ditindak. Selain itu, 77 orang lagi menyusul diperiksa secara intensif. 
Penindakan dan pengawasan itu dilakukan untuk merespons pengaduan masyarakat. 

Pertanyaannya, adakah di antara para staf pengadilan, termasuk hakim, yang 
ditindak itu akan diajukan ke pengadilan, atau sekadar hukuman administratif 
saja?

Sesungguhnya dalam sejarah hukum negeri ini, bukan hal baru dan istimewa bila 
hakim yang (didakwa) melakukan korupsi diajukan ke pengadilan.

Pada era Orde Baru dulu (1981), empat orang oknum hakim senior terjerat operasi 
tertib yang digelar pemerintah. Bahkan, dua orang di antara mereka menjadi 
terdakwa dan dijatuhi hukuman penjara masing-masing 1,6 tahun dan 6 bulan 
penjara. 

Selain itu, pada 1987, ketua PN Malang yang menjabat saat itu menjadi terdakwa 
untuk kasus penggelapan dana konsinyasi (titipan) milik Universitas Brawijaya 
Malang. Setelah itu, pada 2001, tiga oknum hakim agung disidangkan karena 
menerima suap, berdasar laporan dari seorang korbannya. 

Tetapi, majelis hakim yang menyidangkan membebaskan para terdakwa itu dengan 
alasan "mereka tidak dapat diperiksa dan diadili berdasar dakwaan yang batal 
demi hukum".


Harus Melalui KPK?

Sekalipun praktik mafia peradilan terus berlangsung dan terus memakan korban, 
sebagaimana banyak kasus korupsi lainnya, para pelaku sulit ditangkap dan 
kasusnya susah terbongkar.

Setelah kasus tiga oknum hakim agung tersebut, nyaris tak terdengar lagi adanya 
oknum hakim atau staf pengadilan yang terbongkar melakukan mafia peradilan. 
Sampai kemudian, terbongkar praktik suap terhadap dua panitera Pengadilan 
Tinggi DKI Jaya yang dilakukan seorang oknum advokat.

Sebagaimana diketahui, kasus penyuapan itu dibongkar Komisi Pemberantasan 
Korupsi (KPK) dan bukan oleh MA. Persidangan untuk dua panitera dan oknum 
pengacaranya sudah dilakukan, bahkan vonisnya sebentar lagi turun.

Sementara perkara tersebut tengah disidangkan, KPK membongkar lagi praktik suap 
yang dilakukan oknum pengacara Probosutedjo. Kasus itu melibatkan para staf MA 
dan bahkan menyeret nama Ketua MA Bagir Manan serta dua hakim agung, yakni 
Parman Suparman dan Usman Karim.

Terhadap para staf MA dan oknum pengacara yang kini jadi tersangka kasus suap 
itu, hampir bisa dipastikan bahwa kasusnya akan diselesaikan di persidangan 
peradilan tindak pidana korupsi (tipikor). 

Namun, untuk tiga hakim agung itu, memang masih menjadi tanda tanya besar. 
Hingga hari ini, penyidik KPK masih mengumpulkan bukti dan belum memastikan 
status mereka akan menjadi saksi atau tersangka untuk proses selanjutnya.

Apabila ada di antara mereka atau ketiganya diajukan ke peradilan tipikor oleh 
KPK sebagai tersangka, tentu itu prestasi tinggi bagi KPK. Meskipun, masalah 
itu bukan hal baru dalam sejarah hukum negeri ini. Selain itu, langkah tersebut 
akan mematahkan mitos yang selama ini kukuh bahwa tidak mudah memerkarakan 
hakim ke pengadilan.

Mitos itu diperkuat dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 
Tahun 2002, yang menegaskan bahwa pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas 
yustisial tidak diperiksa, baik sebagai saksi maupun tersangka, kecuali yang 
sudah ditentukan undang-undang.

Padahal, sepanjang menyangkut tugas yustisial, yakni menyangkut proses dan 
subtansi produk yang dikeluarkan pejabat pengadilan, mereka memang memiliki 
imunitas untuk tak dicampuri siapa pun dan kekuatan apa pun. 

Namun, apabila terbukti ada perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) 
dalam menjalankan tugas yustisial itu, misalnya menerima suap, tentu tidak ada 
imunitas bagi mereka untuk diproses secara hukum. 

Oleh sebab itu, selain menggantungkan harapaan ke KPK, akan lebih strategis 
bila MA juga sudi menggunakan pengadilan untuk menyelesaikan kasus korupsi yang 
dilakukan warga jajarannya. Saat ini transparansi dan keterbukaan MA sudah 
menjadi tuntutan zaman.

Dengan demikian, publik bakal kian yakin pada kuatnya komitmen MA dalam 
membersihkan mafia peradilan di tubuhnya sendiri. Masyarakat juga yakin bahwa 
spirite de corps (semangat korps) tidak akan mengalahkan penegakan hukum dan 
peradilan bebas (free trial). Sekalipun harus "memakan" anak kandungnya.


* Ernanto Soedarno, advokat senior di Surabaya.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/SBefZD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to