Menafsir Puisi-puisi DN Aidit

oleh Asep Sambodja

http://asepsambodja.blogspot.com/


“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan 
pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN 
Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia 
(PKI) itu juga menulis puisi.
Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan 
Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan 
Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah 
puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak 
lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini 
menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.

Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena 
kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul 
“Jauhilah Imperialis AS”, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, 
pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni 
meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.

Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah “Hanya Inilah Jalannya”, “Sekarang Ia 
Sudah Dewasa”, “Yang Mati Hidup Kembali”, “Kidung Dobrak Salahurus”, “Sepeda 
Butut”, “Untukmu Pahlawan Tani”, “Tugas Partai”, dan “Ziarah ke Makam Usani”.

Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang 
hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga 
Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. 
Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, 
dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik 
adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.

Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi 
mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian 
revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme 
sosialis dan romantik revolusioner.
Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif 
seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa 
diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan 
denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau 
katakanlah kaum wong cilik.

Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, 
misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan 
haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan 
kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan 
Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani 
yang terjadi pada 1964.

Demikian pula dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani”, Aidit menulis /semua kawan 
tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ 
dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya 
nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni 
Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata 
seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan 
yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela 
setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”

Dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani” ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau 
ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang 
dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), 
imperialis AS, (5) Revisionis.

Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang 
terdiri dari: pertama, “Ganyang Malaysia”, yang dianggap sebagai negara 
bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat 
Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus 
dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.

Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para 
purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga 
mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa 
dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, 
maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. 
Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan 
dengan militer, terutama Angkatan Darat.
Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa 
mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan 
tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, 
(6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja 
menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar 
zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan 
melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. 
Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini 
lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level 
akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.
Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih 
melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI 
berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian 
Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan 
CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan 
kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum 
selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan 
PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.

Dari puisi “Ziarah ke Makam Usani” itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api 
juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai 
komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup 
lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi 
yang enjoy aja.

Hanya saja, kita tahu, bahwa kita tidak hidup di lingkungan yang homogen. 
Meminjam kata-kata Utuj Tatang Sontani, “sayang ada orang lain”. Dan lagi, 
pengaruh globalisasi juga bisa terasa sampai di dapur dan tempat tidur kita. 
Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet terasa juga sampai di Jakarta, 
sampai ke Lubang Buaya, sampai pula pada pembunuhan massal orang PKI di Jawa 
Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kenapa di Jawa Barat, yang notabene berjarak 
paling dekat dengan Lubang Buaya, tidak ada pembantaian massal terhadap 
orang-orang PKI? Dari penelitian Ben Anderson terbaca bahwa Pangdam Siliwangi 
saat itu, yakni Ibrahim Adjie, tidak mengizinkan RPKAD beroperasi di 
wilayahnya. Siapa yang menggerakkan RPKAD saat itu? Siapa yang berani 
bertanggung jawab?

Aidit pun mati. Ia menjadi salah satu target yang diburu. Ia diburu seperti 
Amerika memburu Osama bin Ladin. Osama, bukan Obama. Meskipun Aidit mati, 
karyanya akan tetap abadi. Karyanya akan terus dibaca. Karena, di balik 
karyanya, sesungguhnya Aidit ingin bicara banyak. Tukang pidato yang ingin jadi 
penyair itu boleh saja dihilangkan, tapi pesan yang ingin disampaikan masih 
terpelihara hingga kini.

Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, “Kidung Dobrak Salahurus”, 
yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian 
kental.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia

Cipanas, 13 Januari 1963


Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang 
diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di 
media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun 
ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan 
sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan 
satu-satunya.

 ***

Diposkan oleh Rumah Asep Sambodja di 03:01 



      
http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan

  http://herilatief.wordpress.com/

http://akarrumputliar.wordpress.com/





      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke