Menganalisa Terorisme: Kultural dan Rasional
(Jebakan Framework dalam Menganalisis Terorisme)
Oleh : Anies Rasyid Baswedan 
 
Pertanyaan klasik soal terorisme masih terus mengambang dan belum terjawab 
secara tuntas: mengapa mereka melakukan teror? Sejak September 2001, begitu 
besar sumber-daya dialokasikan untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut salah 
satu database buku terbesar di dunia, WorldCat, sejak 2001 telah terbit lebih 
dari empat ribu buku tentang terorisme. Dan, tak terhitung analisa artikel pada 
topik yang sama. 

Melihat besarnya perhatian terhadap terorisme, maka menarik untuk dikaji 
framework analisa (analytical framework) yang digunakan, dan implikasi 
penggunaan sebuah framework terhadap pemahaman kita tentang terorisme. 

Terorisme memiliki tiga komponen: Pelaku Teror (Teroris), Tindak Teror, dan 
Sasaran Teror. Adapun sebab terjadinya teror bisa ditelusuri dengan menggunakan 
dua framework analisa yaitu Kultural dan Rasional. Pertama, framework kultural 
memandang perilaku, sikap, dan perbuatan sebagai penjelmaan nilai, sistem 
kepercayaan, atau ideologi (Berger, 1995; Ross, 1999). 

Dalam konteks terorisme, framework kultural memfokuskan pada korelasi antara 
nilai/ideologi dan teroris. Framework ini mencari penjelasan tentang sebab 
teror dengan cara mengkaji ideologi dan nilai para teroris. Dengan kata lain, 
inti dari framework ini adalah interpretasi nilai terhadap aksi (Darnton, 
1985;Taylor, 1985). 

Kedua, framework rasional memandang perilaku, sikap, dan perbuatan sebagai 
fungsi dari pilihan-pilihan yang ada di hadapannya (North, 1981; Olson, 1965). 
Aktor ini bisa berupa individu ataupun kelompok (Przeworski, 1993). Framework 
rasional memandang tindakan teror sebagai bentuk interaksi dan konflik antara 
teroris dan sasaran teror (Crenshaw, 1998). 

Karena itu, framework rasional memfokuskan analisanya pada korelasi antara 
teroris dan sasaran teror. Untuk tujuan analisa, pendekatan rasional ini tidak 
memandang sasaran teror semata-mata sebagai korban, tetapi sebagai aktor. Inti 
dari framework rasional adalah aktor yang berinteraksi secara kalkulatif (Levi, 
1999).

Serangan teror yang menyedot perhatian dunia yaitu 9-11 di AS atau 10-12 di 
Bali, pelakunya diidentifikasi sebagai muslim, ekstremis, dan terkait dengan 
Alqaidah. Hal ini berimplikasi pada lonjakan perhatian tentang hubungan antara 
Islam dan terorisme. 

Lonjakan perhatian ini tecermin pada peningkatan luar biasa dalam 
penerbitan/penjualan buku dan artikel, konferensi, program TV dokumenter, dan 
dana penelitian untuk mengkaji Islam dan kekerasan/teror. Lonjakan perhatian 
terhadap agama yang dipeluk oleh pelaku teror mengindikasikan dominasi 
framework kultural dalam diskursus tentang terorisme.

Dalam framework kultural ini, para analis menganalisa soal terorisme dengan 
fokus pada nilai-nilai Islam dan umat Islam. Contoh yang menggunakan framework 
ini secara ekstrem adalah Jerry Farwell yang tegas-tegas mengatakan bahwa 
ajaran Islam bermuatan terorisme. 

Atau yang lebih moderat dan intelektual seperti Bernard Lewis dan Paul Berman 
di AS sekadar menyebut sebagian kecil saja, yang menganalisa soal terorisme 
dengan fokus pada nilai-nilai Islam dan umat Islam. Atau juga kolumnis 
terkemuka harian The New York Times, Thomas Friedman, yang berkeliling dunia 
terutama ke negara-negara Muslim, menganalisa kompleksitas
sosial-politik-religius masyarakat muslim untuk menjelaskan mengapa pemuda 
muslim sampai melakukan teror. 

Buku Friedman ''Longitudes and Attitudes: Exploring the World After September 
11'' dan program TV dokumenternya ''Tracing the Roots of 9/11'' mencerminkan 
framework kultural ini. Terlepas dari analisa komprehensif dan mendalam yang 
bisa dihasilkan, fokus analisanya hanya mencakup dua komponen yaitu (1) tindak 
teror, dan (2) pelaku teror termasuk nilai, sistem kepercayaan, serta ideology 
pelaku teror tersebut.

Di satu sisi, dominasi framework kultural bisa memperkaya khasanah ilmu 
pengetahuan. Di sisi lain, dominasi ini adalah simbol keterjebakan paradigma 
(paradigm entrapment). Disebut jebakan paradigma karena makin banyak analisa 
dan penelitian yang dilakukan dalam framework ini, maka makin sulitlah 
menjelaskan secara tuntas, komplet, dan objektif tentang sebab terjadinya 
teror. Hal ini terjadi karena terlewatkannya komponen ketiga yaitu sasaran
teror. 

Framework kultural memang bermanfaat untuk menjelaskan modus teror. Tapi 
framework ini gagal menjelaskan (1) mengapa sekelompok orang memilih teror? (2) 
Mengapa teroris menjadikan pihak tertentu sebagai sasaran teror? Dan (3) 
mengapa tindakan teror muncul pada waktu-waktu tertentu padahal 
variabel-variabel kultural yang dijelaskan itu sudah eksis berabad-abad? 
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan analisa tentang korelasi
antara teroris dan sasaran teror. Di sinilah framework rasional diperlukan. 

Dalam framework rasional fokusnya pada korelasi antara teroris dan sasaran 
teror. Framework ini mengeksplorasi (1) kebijakan/langkah yang dibuat baik oleh 
teroris maupun oleh sasaran teror, dan (2) implikasi kebijakan/langkah itu pada 
hubungan antarkeduanya. Framework ini mengkaji korelasi antara teroris dan 
sasaran teror dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik-kepentingan, dan pola 
interaksi di antara keduanya.

Dalam framework rasional, teroris maupun sasaran teror dipandang sebagai aktor 
rasional dan strategis. Mereka rasional dalam arti tindakan mereka konsisten 
dengan kepentingannya dan semua tindakannya mencerminkan tujuan mereka. Mereka 
strategis dalam arti pilihan tindakan mereka (1) dipengaruhi oleh langkah yang 
sudah dan yang akan dilakukan aktor lainnya (lawannya) dan (2) dibatasi oleh 
kendala (constrain) yang dimilikinya.

Di sinilah perbedaan kedua framework itu dalam menganalisa terorisme. Framework 
kultural memfokuskan pada satu aktor yaitu teroris, sementara framework 
rasional memfokuskan pada dua aktor, yaitu teroris dan sasaran teror. Framework 
kultural menganalisa korelasi nilai-nilai dengan tindakan teroris sementara 
framework rasional menganalisa korelasi tindakan teroris dengan tindakan 
sasaran teror. 

Dengan kata lain, framework kultural berasumsi bahwa nilai-nilai menghasilkan 
teror, sementara framework rasional berasumsi bahwa kalkulasi strategis 
antaraktor menghasilkan teror. Dominasi framework kultural ini berdampak pada 
konstruksi pemahaman yang parsial tentang terorisme. Parsial karena publik 
diarahkan untuk memberikan perhatian pada teroris dan tindakan teror, sementara 
sasaran teror dilewatkan. Pemahaman yang parsial ini cenderung mengarah pada 
solusi yang parsial dan temporer. 

Di Eropa misalnya, sejak 1960an sampai 1980an, terorisme merebak. Penculikan, 
pembunuhan, dan pengeboman yang dilakukan kelompok teroris macam Red Brigades 
di Italia, Red Army Faction di Jerman, ETA dan GRAPO di Spanyol, atau Irish 
Republican Army di Inggris berhasil menggetarkan Eropa. Akan tetapi, akhirnya 
kelompok-kelompok itu tenggelam karena salah satunya framework analisa yang 
digunakan dalam menilai dan memformulasikan respon terhadap terorisme adalah 
framework rasional.

Meskipun kelompok-kelompok inipun melakukan aksi bunuh diri, tapi pemerintah, 
rakyat, dan analis di Eropa tidak kemudian berkutat mengeksplorasi korelasi 
antara teroris dengan marxism di Itali, Jerman, Spanyol, atau dengan 
katholikism di Irlandia sebab memang dari korelasi itu tidak akan ditemukan 
sebab terorisme. Mereka memilih mengkaji korelasi teroris dan sasaran teror. 

Dari korelasi antardua aktor ini ditemukan akar persoalannya. Persoalan yang 
menyebabkan kelompok-kelompok memilih teror sebagai bentuk "interaksi" dengan 
pemerintah-pemerintah di Eropa. Pengalaman ini memberikan isyarat tentang 
pentingnya membebaskan diri dari jebakan paradigma ini dengan cara mengadopsi 
framework rasional.

Pengadopsian framework rasional memang lebih menantang daripada framework 
kultural. Framework rasional mengharuskan analis untuk mengevaluasi langkah, 
kebijakan, dan strategi yang digunakan oleh kedua pihak: teroris dan sasaran 
teror. Menganalisa secara kritis langkah dan tindakan yang dilakukan oleh 
teroris itu mudah dan politically correct. Tetapi menganalisa secara kritis 
langkah dan tindakan yang telah dilakukan oleh sasaran teror bisa jadi adalah
persoalan tersendiri. 

Di sini analis berhadapan dengan batas tipis antara dua anggapan yaitu (1) 
dianggap sebagai analis yang objektif dan rasional, atau (2) dianggap sebagai 
simpatisan teroris karena menganalisa secara kritis sasaran teror, di saat 
"sasaran" sedang jadi "korban". Karena batas yang tipis itulah, sedikit analis 
mainstream yang "berani" dan mau mengadopsi framework rasional ini dalam 
analisanya.

Meski framework kultural itu valid dan penting, tapi dalam konteks terorisme 
pengadopsian framework rasional lebih relevan dan urgen. Sayangnya, semakin 
sedikit analis yang menggunakan framework rasional maka semakin kecil pula 
kemungkinan munculnya solusi yang tepat dan permanen. Padahal, pengadopsian 
framework rasional ini menguntungkan karena bisa menjelaskan dua kondisi 
penting yaitu (1) kondisi yang memunculkan dan (2) kondisi yang meredam 
terjadinya teror. Pemahaman atas kondisi inilah yang penting bagi pencegahan
munculnya teror.
 
http://aniesbaswedan.blogspot.com/2008/08/menganalisa-terorisme-kultural-dan.html
 
(Tulisan di atas adalah tulisan lama Anies Baswedan, rektor Universitas 
Paramadina, pada Agustus 2008. Saya forward ke berbagai milis, untuk memberi 
sudut pandang/paradigma yang segar tentang bagaimana memandang/menganalisis 
terorisme)





Satrio Arismunandar 
Executive Producer
News Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4034,  Fax: 79184558, 79184627
 
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://satrioarismunandar.multiply.com  
 
Verba volant scripta manent...
(yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi...)


 

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to