Refleksi : Masyaalloh!  Menteri Hukum dan HAM  menyetujui diberlakukan hukuman 
mati. Para koruptor di NKRI adalah kaum beragama, kok bisa tidak tidak jujur, 
padahal mereka sebelum mereka menduduki jabatan tugas disumpah sesuai agama dan 
dengan kitab suci diatas kepala. Bagaimana dengan agama di NKRI? Bukankah Allah 
tidak mengehndaki manusia mencabut nyawa sesama mahluk ciptaanNya? Apakah hal 
ini tidak diketahui menteri HAM? 

Di negeri kafir seperti Swedia, para petinggi tidak ada sumpah pakai kitab 
suci, sekalipun demikian korupsinya minimal sekali dan juga sudah hampir 
duaratus tahun tidak lagi diberlakukan hukuman mati. Banyak negeri yang tidak 
memakai dasar Ketuhanan sebagai falsafah negara, korupsinya tidak seperti di 
negeri Indonesia berTuhan.

Apan yang kurang, salah atau keliru sehingga korupsi subur di NKRI berTuhan?


http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Sabtu, 10 April 2010 ] 

Menghukum Mati Koruptor 
Oleh: Abdul Wahid


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyetujui penerapan 
hukuman mati bagi terpidana mati. Hakim diminta berani menerapkan hukuman mati 
karena hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. 

Idealnya, tanpa harus diminta menteri hukum dan HAM, kalau regulasi yuridis 
sudah menggariskan bahwa ancaman hukuman mati sudah tersedia untuk menjaring 
koruptor, jaksa hingga hakim tinggal melaksanakannya. Tanpa perlu ada komando 
dari menteri hukum dan HAM, aparat penegak hukum yang sudah disumpah untuk 
menjalankan norma yuridis serta-merta harus menegakkannya secara egaliter dan 
militan.

''Ruang yuridis'' untuk menghukum mati koruptor sebenarnya sudah cukup lama 
disediakan. Norma hukum sudah dibuat atau disediakan untuk menjaring siapa saja 
yang diduga melakukan korupsi. Meski demikian, norma yuridis yang disediakan 
itu tidak bersifat ''for all'' atau semua koruptor, melainkan bersifat khusus. 
Hanya koruptor tertentu yang bisa dijaring dengan sanksi hukuman mati.

Sayang, sepanjang sejarah perkembangan peradilan pidana korupsi, belum ada satu 
pun kasus korupsi yang diancam dengan hukuman mati. Hal itu tak lepas dari 
jenis kasus korupsi yang belum ditingkatkan atau dimasukkan dalam ranah korupsi 
khusus oleh jaksa penuntut umum.

Menjadi otoritas jaksa penuntut umum untuk memasukkan tindak pidana korupsi 
yang ditangani menjadi korupsi khusus atau bukan. Kalau jaksanya tidak 
memasukkan kasus korupsi sebagai korupsi khusus, hakim tidak bisa menjatuhkan 
sanksi di luar tindak pidana korupsi yang disangkakan, didakwakan, atau 
dituntut jaksa. 

Keberanian jaksa untuk mengajukan kasus korupsi khusus dengan interpretasi 
(tafsir) ''demi kepentingan keadilan'' dan kemanusiaan guna menjaring seseorang 
(terdakwa) dengan ancaman hukuman mati hingga kini belum ditunjukkan. Padahal, 
di tangan jaksa itulah sejatinya bekerjanya hukum secara maksimal ikut 
ditentukan. Kalau jaksa hanya mengajukan tuntutan beberapa tahun hukuman 
penjara, bisa dipastikan hakim secara umum akan condong mengurangi tuntutan 
ancaman hukuman yang dirumuskan jaksa.

***

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diamandemen dengan UU Nomor 20 Tahun 
2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, dalam kondisi 
tertentu, koruptor yang melakukan korupsi bisa diancam dengan hukuman mati.

Lengkapnya disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 bahwa (1) setiap orang yang 
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang 
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau 
perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana 
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 
denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Kata ''keadaan 
tertentu'' dalam produk yuridis itu menjadi dalil paradigmatis yuridis yang 
bisa membenarkan koruptor dihukum atau diperlakukan secara khusus. ''Keadaan 
tertentu'' mencerminkan keadaan sekarang atau saat koruptor menjalankan modus 
operandi penyimpangan uang negara (rakyat). Ancaman pemberatan atau penguatan 
hukuman bisa dilakukan sesuai kondisi masyarakat atau negara saat korupsi 
dilakukan.

Kata ''keadaan tertentu'' itu juga sudah ditafsirkan Maulana Haz (2009) bahwa 
pelaku korupsi dalam menjalankan aksinya disesuaikan dengan keadaan yang 
menguntungkannya, khususnya menguntungkan dari segi jabatan atau peran yang 
dimainkan maupun objek yang dijadikan target korupsinya. Jabatan yang 
semestinya digunakan memperlancar urusan atau hak-hak publik (public rights) 
seperti hak kebebasan masyarakat dari kemiskinan dan terhumanisasikan saat 
bencana alam justru dijadikan alat mengorupsi dan ''melenyapkan'' hak-hak 
rakyat tersebut.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) juga disebutkan, yang dimaksud dengan 
''keadaan tertentu'' dalam ketentuan tersebut adalah pemberatan bagi pelaku 
tindak pidana korupsi bila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam 
keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana 
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu 
negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Meski sudah ada rumusan yang menjelaskan ''keadaan tertentu'', yang sebenarnya 
dalam beberapa hal bisa dibuktikan seperti negara sedang dilanda bencana alam 
atau krisis ekonomi, rumusan tersebut tidak digunakan sebagai dasar konsiderasi 
dalam menyusun ancaman hukuman mati. Kalau ancaman hukuman mati bagi koruptor 
digunakan, barangkali kisah atas ketukan palu hakim akan menjadi ''kisah'' 
tersendiri. 

***

Sayang, tafsir ''keadaan tertentu'' yang mengarah pada ancaman pemberatan 
hukuman seperti hukuman mati tidak digunakan elemen penegak hukum, khususnya 
jaksa penuntut umum. Akibatnya, hakim tidak bisa berbuat banyak saat 
menjatuhkan putusan, meski sejatinya hakim mempunyai hak untuk melakukan 
penafsiran dan temuan hukum (rechsvinding).

Terbukti, tidak sedikit kasus korupsi di negeri ini yang tidak diputus dengan 
hukuman maksimal oleh hakim. Bahkan, tidak sedikit vonis yang dijatuhkan hakim 
bukanlah vonis yang memenuhi rasa keadilan publik, tapi menyakitinya. Tidak 
sedikit koruptor yang ''dimanjakan'' oleh hakim dengan putusan bebas atau 
putusan yang sangat ringan.

Ketika menyerahkan sederet nama hakim yang menjatuhkan vonis bebas atau vonis 
percobaan bagi terdakwa korupsi ke Komisi Yudisial (KY), Illian Deta Artha Sari 
dari ICW (Indonesia Corruption Watch) menyatakan, selama Januari hingga 
Desember 2009, di antara 199 perkara korupsi dengan 378 terdakwa, sebanyak 59,6 
persen divonis bebas oleh hakim di pengadilan umum. Bahkan, ada kasus menarik, 
seorang hakim membebaskan 35 terdakwa korupsi (SK, 24 Januari 2010).

Dalam data yang diserahkan ke KY tersebut juga terdapat sekitar 100 nama hakim 
yang memberikan vonis bebas dan enam nama hakim di antaranya menjatuhkan 
hukuman percobaan. Di antara data itu, Pengadilan Negeri Makassar memegang 
angka tertinggi sebagai penghasil terdakwa korupsi yang dibebaskan. Sebanyak 38 
terdakwa dari kasus yang mereka tangani justru menghirup udara kebebasan.

Terlepas dari dugaan terjadinya skandal atau praktik ''korupsi'' hukum saat 
vonis dijatuhkan hakim, tuntutan hukuman mati yang tidak ditembakkan jaksa 
merupakan segmentasi praktik pengistimewaan atau pemanjaan terhadap koruptor. 
''Keadaan tertentu'' yang sudah terumus secara yuridis hanya menjadi rumusan 
ide-ide agung yang kehilangan makna empiris karena ditelanjangi oleh elite 
penegak hukum yang tak bernyali untuk menghukum mati koruptor. (*)

*). Abdul Wahid, dekan fakultas hukum dan pengajar program Pascasarjana Ilmu 
Hukum Unisma, Malang 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke