http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=236718
Senin, 17 Juli 2006, Menguji UU Baru Kewarganegaraan Oleh Samsul Wahidin Persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan menjadi UU oleh DPR disambut positif banyak kalangan. Namun, UU itu mendatangkan problematik hukum baru, tidak hanya dalam tataran administratif (hukum administrasi), tetapi juga pergeseran terhadap fenomena sosiokultural masyarakat. Bukan pesimistis kalau dinyatakan pergeseran aspek sosiokultural melalui institusi hukum dalam praktiknya sering gagal. Apalagi, jika lapangan hukum yang diatur itu termasuk kawasan yang peka, yaitu lapangan yang berdimensi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Secara terbuka, begitu menyentuh sisi kewarganegaraan, asosiasi awam akan mengarah kepada warga keturunan Tionghoa. Padahal, sebenarnya secara praktis banyak ras lain, seperti keturunan Arab, India, dan Eropa. Namun, karena secara konkret dalam hal kuantitas dan eksklusifisme memang lebih banyak ditonjolkan sebagian WNI keturunan China, arah dari UU itu tidak terlalu meleset jika dimaksudkan untuk meredam jarak yang masih terasa cukup lebar antara pribumi dan nonrpibumi. Ini dimensi lain dari ketidakadilan kultural karena di sepanjang sejarah jasa ras Tionghoa juga sangat besar bagi bangsa ini. Kupasan yang secara objektif berangkat dari kondisi riil ini diperlukan sebagai pemahaman agar hukum yang dibuat dapat berlaku efektif. UU ini adalah satu di antara sekian banyak aturan yang lahir untuk dan atas nama perubahan sosial, pada lapangan hukum yang sifatnya sensitif tersebut. Administratif UU yang dalam waktu sebulan ke depan diberlakukan (disahkan atau tidak oleh presiden sebagai kepala negara) mencabut ketentuan UU No 62/1958 tentang Kewarganegaraan. Mulai 1958 sampai sekarang merupakan rentang waktu yang cukup lama atas berlakunya ketentuan UU. Artinya, pada tataran infrastruktur dan suprastruktur, peraturan perundangan ketentuan UU yang dicabut itu memiliki akar yang kuat. Contoh, untuk kurikulum di beberapa fakultas di perguruan tinggi mengajarkan ihwal kewarganegaraan itu atas dasar hukum kewarganegaraan versi UU No 62/1958, seperti menyangkut soal surat bukti kewarganegaraan Indonesia (SBKRI), prosedur memperoleh kewarganegaraan, surat bukti kewarganegaraan, dan hal-hal lain yang cukup rumit. Hal mendasar yang berhubungan dengan penerapan ketentuan baru adalah sikap aparat administratif yang tidak dapat begitu saja secara ekstrem berubah mengiringi berubahnya suatu UU. Kendati klausul dalam UU baru itu menyatakan bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuannya -ketentuan yang lama masih tetap berlaku- secara praktis masih akan muncul berbagai kesulitan sehubungan dengan penerapan UU baru tersebut. Siapa yang berwenang menerjemahkan mana ketentuan lama yang bertentangan dengan ketentuan baru dan bagaimana konsekuensi hukumnya. Sebagaimana diketahui, semenjak berlakunya UU No 62/1958 itu telah dibuat puluhan bahkan ratusan peraturan pelaksanaan khususnya berupa Peraturan Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran yang secara praktis menjadi landasan hukum bagi kinerja administrasi kewarganegaraan. Adalah tidak mudah untuk secara cepat dan serta merta merobah paradigma administratif yang sudah tertata sejak lama. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat administratif, tidak saja pada level puncak yang berwenang membuat kebijakan sebagai implementasi UU. Lebih dari itu, pada tataran praktis akan memerlukan upaya yang lebih intensif untuk merobah pola administratif pada level pelaksana kebijakan. Gambaran mengenai perubahan level bawah pada lapangan administratif ini menjadi makin sulit pada lapangan hukum yang bersifat sensitif tadi. Peraturan perundangan yang mengatur kependudukan adalah contoh soal. Di berbagai daerah yang menanamkan platform diskriminatif untuk posisi tertentu dengan mengedepankan isu putra daerah (di Bali, atau di Kalimantan Tengah pasca kerusuhan etnis, misalnya) sering mengundang protes terselubung sehingga peraturan seperti itu tidak efektif dan justru mengundang masalah baru, apalagi dihubungkan dengan paradigma HAM yang secara administratif juga telah diatur cukup lengkap. Sosiokultural Aspek sosiokultural sebagaimana dimaksud, secara alamiah muncul sebagai akibat dan sekaligus akumulasi dari perjalanan sejarah yang cukup panjang dan boleh disebut berulang yang terpateri dalam nurani anak bangsa sehingga tidak gampang menghilangkannya. Pengalaman dari pembagian golongan penduduk pada masa penjajahan Belanda selama ratusan tahun atas dasar pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang memilah penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, salah satunya adalah Tiong Hwa dan Timur Asing, belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Perlakuan terhadap berbagai sisi kehidupan yang secara praktis menggariskan perbedaan, seperti sistem hukum perkawinan dengan segala implikasinya menjadi catatan tersendiri dalam upaya perubahan aspek sosiokultural yang tidak sederhana itu. Meletusnya pemberontakan PKI, baik 1948 maupun 1965 yang didukung oleh komunis China (kendati paradigmanya telah berubah) menjadi catatan aspek sosiokukltural tersendiri yang tak begitu saja dikesampingkan. Bahkan, gerakan itu telah melukai bangsa. Berikutnya, berbagai kerusuhan yang berbau ras dan antargolongan (the have dan the have not) yang mengarah kepada golongan WNI keturunan China di sekitar peristiwa reformasi 1998 juga menjadi catatan tesendiri bahwa aspek yang berkenaan dengan kewarganegaraan ini menyangkut aspek sosiokultural yang sangat sensitif. Catatan sejarah di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa berlakunya ketentuan hukum tidak dapat begitu saja efektif jika menyangkut sisi hukum yang sifatnya sensitif. Hal itu tentu berbeda dengan hukum yang bersifat pelengkap dan ranah yang diatur lebih banyak menyangkut perilaku lahir dan tidak menyentuh sisi batin. Apalagi, pada tingkat keyakinan serta tidak berlaku untuk semua orang. Prof Dr Samsul Wahidin,SH.MH., guru besar Ilmu Hukum UnlamBanjarmasin ++++ http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=236717 Senin, 17 Juli 2006, Mengapa Warga Tionghoa Antusias? Oleh Tomy Su Pengesahan RUU Kewarganegaraan menjadi UU di gedung DPR, Jakarta, pada 11 Juli 2006 memang disambut luar biasa, khususnya bagi warga Tionghoa. Meskipun UU itu sebenarnya bukan eksklusif bagi warga Tionghoa. Tapi, itu juga bagi kepentingan semua warga negara yang lain. Misalnya, mereka yang menikah dengan orang asing atau para buruh migran kita. Jika kemudian warga Tionghoa merasa paling antusias menyambut UU tersebut, seperti ditulis koran ini (edisi 12,13, dan 14 Juli), itu tentu beralasan. Memang, ada beberapa alasan signifikan mengapa warga Tionghoa terkesan paling antusias. Bahkan, sampai terjadi euforia di sana sini dalam merespons UU Kewarganegaraan yang baru itu. Pertama, lepas dari berbagai keberatan beberapa pihak, lahirnya UU Kewarganegaraan itu merupakan kemajuan bagi pemerintah di bidang hukum. Seperti kita tahu, selama ini produk hukum kita -misalnya, UU Kewarganegaraan No 62/1958- justru menjadi alat untuk mendiskriminasi warga Tionghoa atau setidaknya memberikan tempat untuk mendiskriminasi warga Tionghoa. Sebab, posisi warga Tionghoa dibedakan dengan warga negara lain di negeri ini. Pembedaan itu, misalnya, bisa dilihat dari kewajiban untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Soal SBKRI memang sering menjadi hantu atau momok yang mengganggu kehidupan warga Tionghoa. Misalnya, pada dekade 1960-an, guna mendapatkan SBKRI sesuai UU No62/1958 itu, warga Tionghoa harus maju ke pengadilan sambil menyatakan sumpah setia kepada NKRI. Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru, kematian SBKRI resmi diproklamasikan. Sebab, UU Kewarganegaraan No 62/1958 yang mewajibkan SBKRI resmi tidak berlaku lagi. Kedua, alasan penting lain mengapa warga Tionghoa antusias, UU Kewarganegaraan ini, seperti ditulis di berbagai media (termasuk Jawa Pos tanggal 12 dan 13 Juli 2006), mengakhiri semua polemik pribumi dan nonpri atau warga asli atau bukan yang menyita banyak energi kita. Apalagi, spirit UU itu memang mengajak kita untuk maju selangkah dalam menghayati bahwa Indonesia adalah bangsa modern, bukan sebagai bangsa dalam pengertian kuno. Makna bangsa kuno adalah hanya menekankan pada kesamaan ras, bahasa, kesamaan anutan agama, tradisi, serta budaya dan kesamaan wilayah tempat tinggal. Sedangkan pengertian bangsa modern, menurut John Lock, adalah sebagai sekelompok manusia yang secara suka rela menyatukan diri karena perasaan senasib, aspirasi yang sama, dan bersatu dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Semua suku atau etnis, baik Tionghoa, Jawa, Madura, Arab, maupun siapa pun yang lahir, besar, dan hidup di negeri ini (pasal 2) bisa bersatu mewujudkan satu Indonesia bagi semua sesuai semangat Sumpah Pemuda. Alasan paling utama mengapa warga Tionghoa antusias karena UU Kewarganegaraan tersebut memberikan harapan besar bakal terselesaikannya apa yang disebut sebagai masalah Tionghoa di Indonesia. Sejak Tragedi 1965, warga Tionghoa di negeri ini dipandang sebagai ancaman. Sebab, pada zaman Orde Lama, orang Tionghoa memiliki kecenderungan loyalitas ke RRT. Ketika diberi ruang untuk berpolitik, mereka ternyata membelokkan loyalitas kepada RRT dan gerakan komunis. Kebijakan Soeharto yang mencoba memusnahkan segala hal yang berbau Tionghoa dengan Inpres No 14/1967 ternyata justru membuat runyam keadaan. Kebijakan ekonomi Soeharto yang merangkul konglomerat berdarah Tionghoa (atau kebijakan ekonomi cukong, meminjam istilah Leo Suryadinata) justru sangat mengorbankan kepentingan dan martabat warga Tionghoa yang bukan konglomerat. Stereotip, stigma, dan politik kambing hitam (menyalahkan warga Tionghoa sebagai biangkerok berbagai permasalahan) menjadi menu harian bagi warga Tionghoa. Apalagi warga Tionghoa dipandang kurang patriotis/nasionalis, eksklusif, dan dianggap mendominasi ekonomi nasional. Puncak dari semuanya itu adalah kerusuhan anti-Tionghoa terbesar yang disebut Tragedi Mei 1998 di Jakarta. Syukurlah, delapan tahun sesudah tragedi memilukan itu, sebagai buah dari Gerakan Reformasi Para Mahasiswa pada 1998, lahirlah UU Kewarganegaraan ini (konteks ini jangan pernah dilupakan). Dengan demikian, UU tersebut sebenarnya juga berniat mereformasi cara hidup dan cara berinteraksi berbagai anak bangsa di negeri ini dari yang semula bersemangat diskriminatif-rasis menjadi penuh apresiasi dan persaudaraan sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa majemuk. Saya sepakat bahwa UU itu boleh jadi tidak akan bisa menuntaskan semua permasalahan yang terkait diskriminasi atau rasialisme. Sebab, di negara maju pun masih menghadapi masalah-masalah seperti ini (Lihat Jati Diri Jawa Pos, 13/7). Meski begitu, UU ini menempatkan warga Tionghoa sama atau sederajat dengan anak bangsa yang lain sesuai prinsip semua sama di depan hukum (equality before the law). Bahkan, mereka yang masih berlaku diskriminasi atau rasialis diancam hukuman satu tahun penjara. Mudah-mudahan keberadaan UU itu memang akan mendorong kita semua untuk lebih banyak berkarya nyata bagi bangsa daripada berkonflik rasial atau melakukan diskriminasi yang kontraproduktif. Akhirnya, meminjam ungkapan Koordinator Komunitas Tionghoa Peduli Demokrasi dan HAM Jatim Sidharta Adhimulya, pengesahan UU ini selayaknya kita jadikan momentum untuk menguburkan segala bentuk mentalitas dan jiwa diskriminatif yang culas dan bersumber dari dalam jiwa dan lubuk hati kita masing-masing. Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/