http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8810&PHPSESSID=16fcb45319a20be7cd445436fed9809a


      Menjadi Istri 
      Oleh redaksi 
            Sabtu, 23-April-2005, 23:48:05   
     
     
            Namaku Ibu Wati. Ah, sebut sajalah begitu. Jangan persis betul, aku 
malu.... Aku ibu tiga orang anak. Yang tua, laki-laki berusia 9 tahun. Nomor 
dua, perempuan usia 7 tahun dan si bungsu juga perempuan, usianya baru tiga 
tahun.  
     
     

      Suami ku, Bang Fauzan polisi berpangkat sersan dua. Dia memang tidak 
romantis. Kecuali saat pacaran dulu. Dia itu tipe meledak-ledak, kalau emosi. 
Biasalah, polisi kan harus tegas. Mungkin pula pendidikan keras di kepolisian 
membuat dia begitu? Ah, entalah. Namun bagi ku pun yang terpenting ia tahu 
tanggungjawabnya sebagai suami. Menafkahi aku dan anak-anakku. 

      Sedanhkan pekerjaan aku sendiri, di KTP tertulis: ikut suami atau sebagai 
istri. Dalam bahasa Inggris seperti kulihat di tayangan salah satu TV 
Singapura, disebut Housewife. Memang begitulah aku kini. 

      Aku suka menonton cerita tentang Housewife di TV Singapura itu. Karena 
aku juga sama dengan mereka, yakni sebagai seorang istri. Dan hanya bekerja 
urusan rumah dan anak-anak. 

      Tapi gini-gini, dulunya aku pernah bekerja. Di bagian umum, sebuah 
perusahaan cargo di Sekupang. Setelah anak kedua ku lahir, aku memilih berhenti 
bekerja. Daripada kehilangan suami dan anak kocar-kacir! Kan, lebih mulia 
menjadi istri dan ibu, mendukung kesuksesan suami dan keberhasilan anak-anak! 


      Suamiku, bang Fauzan menjadi lebih manis padaku. Tidak lagi selalu 
mengomel, dengan kalimat-kalimat: "sok feminis." Atau sembari bercanda 
mengancamku dengan mengatasnamakan si sulung."Kita cari ibu lagi aja, ya. Kalau 
ibu terus-terusan sibuk." 

      Istirahat dari dunia kerja dan menjalani pekerjaan menjadi housewife saja 
ternyata asyik juga. Aku lebih tahu setiap perkembangan anak-anakku. Bagaimana 
mereka sepulang sekolah di siang hari. Ternyata si sulungku suka nongkrong di 
depan TV. Maklum, pembantu di rumah terlalu lembut untuk menegaskan dia. Dan 
kehadiranku di rumah membuahkan hasil yang lumayan, ia bisa bermain atau 
belajar bersamaku. Kadang kami tertidur bersama pula dengan anakku si-tengah. 

      Mengisi waktu, aku menyimak baca tabloid. Atau ngobrol di telfon dengan 
teman-temanku yang masih bekerja. Mereka iri pula, dengan dunia yang 
kudapatkan. Bisa menikmati setiap perkembangan anak-anakku. Lalu menjelang sore 
aku pun bisa lebih segar. Dan ketika Bang Fauzan pulang, aku punya tenaga 
menyambutnya. 

      Aku pun menikmatinya. Setidaknya pada awal-awalnya begitu. Tapi aku punya 
kebiasaan buruk sekatang. Suka ngemil! Timbanganku menjadi naik. Bang Fauzan, 
menyentil suatu kali, "Perut ibu sekarang ada kantong HP, katanya. 

      Sentilan yang membuat aku menjadi kikuk berhadapan dengannya. Apalagi 
bila perutku ber-Hp itu kelihatan olehnya. Aku jadi makin kikuk. Gilanya, aku 
pun masih belum bisa menurunkan timbanganku. Malah terus naik saja. Minum obat 
pelangsing pun mujarabnya sebentar. Kemudian aku menjadi tidakbisa menaahan, 
ngemil dan "kantong HP" di perutku semakin bertambah jelas saja. 

      Tapi syukurlah, aku hamil lagi. Hamil adalah masa-masa terindah. Seperti 
kehamilan si sulung dan si tengah. Bang Fauzan lebih perhatian dari biasanya. 
Aku pun bisa menjadi kolokan. Biasakan.... ngidam. 

      Bang Fauzan pun tersenyum mendengar penyampaian dariku soal ini setelah 
aku telat datang bulan, dan aku tes air seni ku dengan alat pengetes kehamilan. 
"Kita ke dokter ini tes lebih lengkap," katanya. 

      Kami pun ke dokter, ikut bersama si sulung dan si tengah. Hasil 
pemeriksaan memastikan kehamilanku. Bang Fauzan menghadiahkan senyum padaku, 
juga memberi kabar itu pada si sulung dan si tengah dengan senyum lebar. Malam 
itu, kami pun menikmati makan malam di pujasera baru di Kampung Utama. Tempat 
itu memang sudah jadi incaranku, setiap melewati jalan itu menuju Nagoya. Lagi 
pula, Bang Fauzan sudah lebih dari tiga bulan tidak mengajak kami makan malam 
di luar. Karena tugas jaga malam di diskotik. Aku pun maklum dengan tugas 
sampingan itu, karena kami bisa dapat pemasukan lebih. Jika mengharapkan gaji 
polisi saja, susah! 

      Masa kehamilan ketigaku, tak cengeng seperti dua anak sebelumnya. Mungkin 
inilah yang dikatakan hamil kerbau.Maunya makan terus, tak ada mual. Juga 
tenaga terasa lebih prima. Dan mungkin pula karena aku lebih banyak istirahat, 
tak mesti repot dengan urusan kerja kantor lagi. Dengan ini aku pun merasa 
pilihan ke luar kerja, memang tepat. 

      Anak ketiga ku lahir. Perempuan. Akupun kini mempunyai dua anak perempuan 
dan satu anak lelaki. Bang Fauzan tak bisa mendampingi kelahiran anak ketigaku 
ini. Karena ia dapat tugas ada kerusuhan di sebuah diskotik di kawasan dekat 
Jodoh. Sedih memang melahirkan tanpa didampingi suami. Tapi, mesti gimana kalau 
suami menjalankan tugasnya. 

      Dan keburaman mulai mendatangiku sejak kelahiran anak ketigaku. Bukan 
maksudku, menyiratkan anak ke tigaku yang membawa peruntungan tidak baik 
untukku. Tidak. Dan bukan itu maksudku. Melainkan, menegaskan, sejak itulah, 
Bang Fauzan sikap meledak-ledaknya semakin menjadi-jadi. 

      Semula aku memakluminya karena Bang Fauzan memang tipe yang suka 
meledak-ledak. Kadang jika aku membantahnya, ia menamparku. Padahal hanya 
soal-soal sepele. Seperti anak sulungku terkena mencret, aku dituduh tidak 
becus menjaga kebersihan di rumah dan makanan anak. Tentu saja aku protes, dan 
adu argument berbuahkan tampar darinya. 

      Karena itu aku memilih diam saja, tak mengubris omelan atau tudingannya 
yang kadang kurasakan menyesakkan hatiku. Ini lebih baik, daripada bertengkar 
lalu mendapat 'tangan' lagi. 

      Tapi Bang Fauzan, seketi itu pun minta maaf. Itu pula yang membuat aku 
menjadi punya harapan dia tidak mengenyaja melakukan itu. Melainkan kekhilafan. 

      Dan menjelang subuh, dua hari lalu, Bang Fauzan seperti menyembah padaku. 
Dengan memegang kedua tungkai kakiku, dia berkata: "Maafkan aku.....aku 
khilaf!" katanya. 

      Bengkak hidungku masih belum menyusut, meski darah hidung yang menyembur 
sudah mulai mengering. Tapi sakit dan nyerinya masih bersisa. Sebenarnya 
lebih-lebih sakit adalah hatiku. Bang Fauzan sudah semakin mudah melayangkan 
tangannya, bahkan juga kakinya ketika kami bertengkar. 

      "Kau tahu kan? Aku mudah sekali terpancing emosi. Kau tahu pula kan, 
kalau aku itu meledak-ledak." katanya. 

      Kali ini ia berdiri menatap ke wajahku. Aku memalingkan mukaku. 

      Dia terus mengejarku, agar aku memberi maaf. Kali ini suaranya, bernada 
ancaman. "Atau kau akan melaporkannya, lagi? Iya? Kau akan lapor ke kantor 
polisi lagi?" 

      Aku tak menjawab, meski hatiku akan berkata iya. 

      "Oh ya?! Kau akan mengadukannya, he?!" katanya memegak pundakku kuat. 

      "Ayo, kau adukan sana! Segera adukan! Dan kau akan puas, kalau aku masuk 
penjara kan? Seperti dulu? Tapi kau sendiri pun menanggung akibatnya kan? 
Pangkatku diturunkan, gaji ku turun. Dan perutmu yang gendut itu pun tak lagi 
bisa terpenuhi. Atau kau ingin lebih-lebih lagi. Kau bisa menghidupi dirimu dan 
anak-anak, he?" 

      Ucapannya itu membuat aku kian galau. Apa yang dikatakannya itu benar. 
Ketika dia ditahan tiga bulan, atas laporanku pada kepolisian dibantu tetangga. 
Ketika itu, ujung mata kiri ku membiru lebam dari bogemannya. Sebagian bola 
mataku merah dan membeku darah. 

      Akibatnya memang, dia diturunkan pangkatnya. Otomatis pendapatan bulanan 
ku pun jauh berkurang. Lagipula dia tak bisa lagi tugas sampingan jaga diskotik 
lagi. Hidupku pun kian sudah, menghemat uang gaji yang tak seberapa. Uang 
sekolah si sulung dan si tengah jadi terbengkalai. Belum lagi pengaduan si 
sulung."Bu, temanku tahu ayah dipenjara. Dia mengejekku anak tahanan." 

      Dengan keadaan serba sulit begitu, bagaimana mestinya aku berbuat? Aku 
tidak tahu, jalan terbaik. Kecuali memberi maaf pada Bang Fauzan. Apakah lalu 
aku jadi bodoh? 

      **** 
      Siti melipat kembali surat itu. Pikirannya menerawang, pada surat-surat 
bernada serupa, cuma berbeda bentuk tindakan saja yang pernah didapatkannya. Ia 
kemudian melenguh. Hidup perempuan sangat tidak mudah...., desisnya..*** 
([EMAIL PROTECTED]) 

     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke