Menonton Saja Gesekan Horisontal antara TNI dan Keluarga Purnawirawan TNI
 
Gesekan horisontal antar kelompok di masyarakat semakin meluas akibat absennya 
peran pemerintah. Setelah hubungan antara angkutan umum dan penumpangnya, 
antara universitas dan mahasiswanya, antara bank dan nasabahnya, antara 
pengusaha ritel dan pemasok, antara rumah sakit dan pasiennya, maupun antara 
industriawan dan buruhnya, kini sungguh memprihatinkan, TNI menggusur anggota 
keluarganya sendiri dari rumah-rumah yang telah lama mereka tempati! Ini bukan 
salah TNI, bukan pula salah keluarga purnawirawan. Sejatinya gesekan-gesekan 
ini salah pemerintahan sekarang yang kurang berfungsi sebagai penyelenggara 
utama negara ini!
Bagaimanapun, keluarga purnawirawan adalah warga masyarakat yang juga berhak 
mendapatkan tempat tinggal yang layak secara terhormat seperti diamanatkan UUD 
1945 pasal 28H! Menonton saja mereka digusur-gusur oleh pasukan tentara… aduh, 
sungguh memilukan. Padahal suami-suami dan ayah-ayah mereka juga adalah tentara 
yang sudah memberi hidupnya untuk kejayaan bangsa ini. Yang namanya prajurit 
tentu tak dapat menolak perintah atasan untuk menggusur keluarga-keluarga 
tentara yang malang itu. Para komandan yang memberi perintah juga bisa 
dimaklumi. Mungkin saja karena sedang tidak ada perang, prajurit pun dikerahkan 
untuk menggusur keluarga-keluarga para sesepuh mereka sendiri! Ahhhhh… rasanya 
kok mirip kejadian ibu jual anaknya, atau anak bunuh ibunya... Ya Allah, cobaan 
apa yang sedang Engkau berikan untuk bangsa ini?
Sekali lagi, ini bukan salah TNI secara institusi. Fenomena ini menunjukkan 
absennya peran pemerintah dalam bidang perumahan dan permukiman! Kejadian ini 
juga mirip dengan konflik horizontal antara Satpol PP dengan warga permukiman 
informal dalam berbagai kasus penggusuran. Sangat disayangkan, instansi 
pemerintah yang bertanggung jawab dalam urusan perumahan rakyat hanya menonton 
saja! Mari kita bedah satu persatu bolong-bolong besar peran pemerintah dalam 
urusan ini.
Bolong pertama, dalam hal pendataan kebutuhan perumahan. Secara umum data 
kebutuhan perumahan di Indonesia sangat buruk. Angka kebutuhan masih dihitung 
secara primitif melalui jumlah penduduk, jumlah rata-rata anggota keluarga dan 
jumlah rumah (yang terdata). Kaum miskin yang tinggal di permukiman ilegal, 
mereka yang menumpang di rumah orang tua, dan mereka yang baru menikah adalah 
contoh mereka yang masih ada data kebutuhan perumahannya. Sama tidak terdatanya 
dengan mereka yang memiliki banyak rumah yang tidak dihuni bahkan 
ditelantarkan. Untuk kalangan TNI/Polri, jumlah tentara yang berkeluarga 
tentunya dapat didata dengan baik. Ini pendataan minimal yang tentunya sudah 
ada. Namun… berapa jumlah perwira yang memiliki rumah lebih dari satu dan 
dimana lokasinya, berapa jumlah keluarga purnawirawan yang masih luntang 
luntung atau menumpang di rumah anaknya, dimana mereka kini tinggal, apakah ada 
datanya? 
Bolong kedua, dalam hal urusan rumah negara. Hingga kini belum ada sistem 
penyediaan perumahan (housing delivery system) yang jelas di kalangan TNI/Polri 
maupun PNS secara umum. Urusan rumah negara hanya sebatas mengelola rumah-rumah 
lama yang sudah ada (apa betul dikelola?), yang jumlahnya sangat tidak memadai 
dibanding keluarga-keluarga TNI/Polri dan PNS yang membutuhkan.. Tabungan 
perumahan (Bappertarum) yang adapun perannya sangat kecil dan tidak berjalan 
efektif pula. Dalam perkembangan awal kebijakan perumahan di tanah air, 
sebagaimana juga di negara-negara lain, perhatian ini awalnya ada.. Sebenarnya 
dalam kebijakan dan strategi perumahan, sistem penyediaan perumahan aparat 
negara ini, mulai dari penataan ruang, penyediaan tanah, pembiayaan, hingga ke 
sistem bangunannya sekalipun, merupakan model pengembangan perumahan yang 
dijadikan acuan. Namun seiring perkembangan ekonomi yang semakin liberal 
(sebenarnya pemerintah yang semakin jadi makelar, atau
 masalah semakin tak diurus, atau semakin salah urus?), peran pemerintah ini 
pun semakin surut di bidang perumahan dan pengelolaan gedung dan rumah negara. 
Padahal urusan negara dan jumlah aparat negara terus bertambah. Urusan tata 
kelola gedung dan rumah negara yang tidak berkembang inilah yang menyebabkan 
keadaan kekurangan stok yang semakin bertumpuk-tumpuk (backlog).
Bolong ketiga, dalam urusan perumahan swadaya, yang menjadi salah satu urusan 
di kemantrian perumahan rakyat. Konflik antara lembaga TNI dan keluarga 
purnawirawan sebenarnya tidak perlu sampai terjadi jika program perumahan 
swadaya dikembangkan dengan baik. Pendekatan swadaya yang berbasis pada 
pemberdayaan kelompok perumahan ini sebenarnya dapat dikembangkan sejak tentara 
yang berdinas masih aktif. Program tabungan perumahan TNI yang dijalankan sejak 
tentara masih aktif, kemudian disinergikan dengan program pengembangan kawasan 
permukiman baru, merupakan prakondisi berkembangnya perumahan swadaya. Kawasan 
dan lingkungan siap bangun sesuai UU 4/1992 dan PP 80/1999, sama sekali belum 
berkembang sejalan dengan penataan ruangnya, merupakan bolong yang lain lagi. 
Sedangkan inti perumahan swadaya adalah program pengembangan kelompok 
perumahan, yang dapat dilakukan sejak seorang tentara pensiun hingga misalnya 
lima tahun setelah pensiun. Pada gilirannya
 nanti, proses pengembangan kelompok perumahan ini merupakan proses transisi 
yang dapat mengembalikan keluarga-keluarga tentara ke tengah-tengah masyarakat 
secara alamiah, dan menghindari terjadinya segregasi sosial akibat inklusifisme 
yang timbul selama bermukim di kompleks perumahan tentara sebelumnya. 
Untuk itu kiranya reformasi total dalam pendataan kebutuhan perumahan, urusan 
gedung dan rumah negara, pengembangan kawasan permukiman serta sistem perumahan 
swadaya ini perlu segera dilakukan oleh pemerintah. Departemen Pekerjaan Umum 
dan Kementerian Perumahan Rakyat sebagai pimpinan di sektor ini perlu 
berkoordinasi memberdayakan para pihak, termasuk mengembangkan kapasitas 
TNI/Polri maupun instansi pemerintah lainnya dalam proses penyediaan perumahan 
dan pengembangan kawasan. Akan jadi masalah lagi jika kedua instansi yang 
sangat banyak tumpang tindih urusannya ini (yang anehnya masih terus dipelihara 
di KIB-2) asyik bekerja sendiri-sendiri. Apalagi kalau bersama-sama melempar 
tanggung jawab ke pemerintah daerah.
Konflik TNI dan keluarga purnawirawan ini hendaknya menjadi pelajaran bagi 
Pemerintah dan TNI sendiri, bahwa urusan perumahan dan permukiman itu bukan 
urusan pribadi setiap orang atau setiap keluarga, yang kemudian diserahkan ke 
dalam sistem pasar berdasarkan hukum rimba. Perumahan bukan hanya masalah aset 
yang urusannya dibiarkan saja dijalankan sendiri-sendiri oleh masyarakat. 
Housing is very fundamental in building the nation, much far beyond the matters 
of individual asset. Lebih jauh, dan tampaknya memang ini jugalah akar 
masalahnya, pemerintah harus sadar bahwa berbagai gesekan dan konflik 
horizontal seperti disebutkan di awal  tulisan ini, justru disebabkan semakin 
absennya peran pemerintah dalam menjalankan sektor publik yang memberi bentuk 
(tulang punggung) bangun bangsa ini. Akhirnya lemah jugalah dalam menstimulasi 
dan memberi peran yang tepat kepada sektor swasta, serta kelemahan dalam 
pemberdayaan berbagai kelompok masyarakat. 
Reformasi total menuntut semua lini pemerintahan untuk secara cerdas bekerja 
keras membangun berbagai mekanisme dan sistem kelembagaan di berbagai bidang. 
Tentunya sambil jatuh bangun di tengah gelombang kritik yang juga tak 
henti-hentinya. Katakan tidak untuk mereka yang hanya bisa menonton saja, ingin 
kerja nyaman dengan fasilitas mewah dan anti-kritik! 
(27 Januari 2010, M. Jehansyah Siregar, Ph.D, dosen dan peneliti pada KK 
Perumahan dan Permukiman ITB, jehansire...@yahoo.com)

 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke