REPUBLIKA
Kamis, 13 April 2006



Merunut Kisah Tibo dkk 

S Sinansari ecip
Penulis Beberapa Buku tentang Kerusuhan Poso
Tibo, da Silva, dan Riwu akan dieksekusi. Grasinya sudah ditolak dan kejaksaan 
sebagai pelaksana hukuman dengan tegas mengatakan Tibo dkk akan dieksekusi 
April ini. Mari melihat tidak dari segi hukum formalnya --yang konon sudah 
habis, tetapi dari segi peristiwanya.

Kabupaten Poso yang lama --sekarang sudah dipecah-- dihuni dua kelompok besar 
pemeluk agama. Daerah pinggir Kota Poso dan pegunungan dihuni penduduk asli, 
suku Toraja, Manado, dan lain-lain. Mereka beragama Kristen Protestan dengan 
pusatnya di Tentena, yang bahkan menjadi pusat Sinode Gereja Kristen Sulawesi 
Tengah (GKST). 

Daerah pantai/pesisir kebanyakan dihuni oleh pendatang Bugis, Jawa, Gorontalo, 
dan penduduk asli. Agama mereka Islam. Pemeluk Katolik hanya sedikit, termasuk 
Tibo dkk yang datang dari Flores. Tulisan ini tidak bermaksud membuka luka 
lama. Tapi tanpa memeriksa beberapa peristiwa penting, kasus Tibo dkk akan 
kehilangan konteksnya.

GS, Tibo, Lateka
Pertengahan Mei 2000, Tibo mendapat kabar dari GS bahwa Gereja Santa Maria akan 
dibakar dan umatnya akan dibunuh. Di dalam kompleks gereja ini ada Panti Asuhan 
Santa Theresia. Tibo dkk akan menjemput anak-anak yang sedang belajar di sana 
untuk dipulangkan ke rumahnya masing-masing. Kebanyakan mereka tidak berasal 
dari Kota Poso.

Tibo dkk datang ke kompleks itu 21 Mei 2000. Mereka yang berjumlah 17 orang, 
singgah dulu ke Tentena bertemu GS untuk memastikan kabar pertama. GS tetap 
meyakinkan Tibo bahwa serangan akan terjadi. Mereka bermalam di Tentena.

Pada 22 Mei pukul 15.00 Wita, Tibo dkk tiba di Mo-engko. Ternyata penghuni 
kompleks belum mengetahui rencana penyerangan, seperti dikatakan GS. Karena 
sebagian siswa sedang mengikuti ebtanas, para guru minta penyelamatan siswa 
dilakukan esok harinya. Tibo setuju dan mereka bermalam di asrama.

Pada dini hari tanggal 23 Mei, sebagian penghuni kompleks dibangunkan oleh 
hiruk pikuk. Puluhan orang, di antaranya berpakaian hitam, bertopeng, berikat 
kepala merah, dan membawa senjata apa saja (bukan senjata api) berlarian masuk 
kompleks. Sebagian mereka malah sempat minum dan memakan makanan kecil. Mereka 
ini dipimpin Ir Lateka.

Rombongan ini sempat bercerita bahwa mereka telah menyerang beberapa kelurahan 
yang dilalui dan membunuh seorang polisi dan seorang mantan lurah. Tak lama 
kemudian mereka menghilang ke arah gunung melalui pintu belakang kompleks.

Tibo menuju ke bagian depan halaman gereja. Ada beberapa polisi yang 
menanyainya. Entah bagaimana mulanya, mereka mengganggap Tibo lah yang mereka 
kejar-kejar itu. (Bagian ini ada di laporan TV).

Polisi yang diberi tahu, meski agak lama dan alot, mau mengerti dan 
meninggalkan Tibo. Sebaliknya, massa Muslim yang jumlahnya makin banyak, 
kemudian marah lalu merusak dan membakar kompleks. 

Penghuni kompleks, menurut Tibo, sudah lebih dulu meninggalkan area gereja ke 
arah gunung. Mereka menyaksikan dari jauh kompleksnya terbakar. Mereka pun 
menganggap Tibo sudah tewas. Anak-anak asrama berjumlah 85 orang, belum 
termasuk guru, suster, dan lain-lain. Tapi Tibo menyusul mereka dan bertemu di 
gunung.

Menjelang petang mereka bertemu dengan seseorang untuk dimintai bantuan. Warga 
siap membantu tetapi mereka akan membantu rombongan yang terdahulu tiba. Itulah 
pasukan Lateka dkk. Mereka ini juga bercerita telah menyerang dan membunuh 
orang. Lateka dan beberapa orang lain terluka. Semua keterangan Tibo dkk 
disertakan dalam lampiran suratnya kepada presiden tanggal 11 April 2005. 

Vonis mati dijatuhkan Pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001, diperkuat 
Pengadilan Tinggi Sulteng, 17 Mei 2001, dan Mahkamah Agung, 21 Oktober 2001. 
Penolakan grasi dari presiden 9 November 2005. Pengajuan kembali perkara (PK) 
telah dilakukan, tetapi dianggap tidak benar. Menurut ahli hukum, PK boleh 
diajukan beberapa kali bila syaratnya memang terpenuhi.

Informasi yang berkembang kemudian adalah, Tibo dkk yang merusak dan membunuh 
tiga orang dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, yang sebenarnya dilakukan 
Lateka dkk. Ditambahkan, selain seorang polisi dan mantan lurah, juga seorang 
lain ikut dibunuh. 

Tuduhan terhadap Tibo dkk juga menyangkut keterlibatannya menyerang dan 
membunuh warga Muslim di Pesantren Walisongo dan sekitarnya. 

Baku balas
Keruwetan juga terjadi pada penyerangan ke Pesantren Walisongo, Kilometer 9 
menuju Tentena dari arah kota. Tibo dkk yang membawa pulang anak-anak siswa 
sesampai di Tentena, tidak boleh balik membawa pengungsi ke kampungnya. Menurut 
Tibo, Lateka meminta Tibo menggantikannya bertugas di Lage, tidak jauh dari 
Walisongo. Masih menurut Tibo, dia tidak mau mendapat tugas ini karena 
rinciannya tidak jelas. 

Pesantren dibakar habis dan penghuninya dibunuh. Pada kerusuhan di sini, Tibo 
dkk dilihat oleh korban-korban yang masih hidup. Pada 2 Juni 2000, Lateka dan 
pasukannya masuk kota lagi. Sial baginya, di Kayamanya, mereka terlibat 
pertempuran dengan para santri Habib Shaleh Alaydrus, pimpinan Majelis Dzikir 
Nurul Khairaat dan penduduk setempat. Dua tewas, yakni Paulina (perempuan) dan 
Lateka, karena dipukul rotan. Dia ditandai sebagai pimpinan karena memberi 
komando menggunakan pengeras suara (megaphone). 

Siapa Lateka? Dia bekas wakil ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi 
Sulteng. Dia ipar Herman Parimo, tokoh yang tampil dalam kerusuhan sebelumnya.

Itu adalah dua peristiwa terpenting dan pahit dalam Kerusuhan Poso. Mereka 
sudah dirujukkan oleh pemerintah di Malino, Sulawesi Selatan. Salah satu butir 
kesepakatan rujuk adalah proses hukum bagi yang bersalah berjalan terus. 
Menurut Tibo, sebelum dia menyerah kepada tentara, pimpinan gereja di Tentena 
datang ke rumahnya. Tibo diminta menyerah karena akan diperiksa. Mereka 
kemudian sampai dihukum mati, yang menurut mereka tidak seimbang dengan 
kesalahannya.

Hukuman mati
Akankah Tibo dkk dieksekusi? Jadwal akhir Maret telah terlewati dan akan 
dilangsungkan April ini. Pertanyaan intinya, bisakah proses hukum formal yang 
habis mengalahkan rasa keadilan? Yang disebut keadilan di sini adalah Tibo dkk 
merasa tidak bersalah, terutama menyangkut peristiwa yang dilakukan Lateka dkk. 
Mereka menunjuk 16 orang tokoh, terutama dari arah Tentena, termasuk GS, yang 
perlu diusut. Merekalah yang menurut Tibo dkk otak kerusuhan dan provokator.

Tampaknya mereka yang ditunjuk Tibo dkk adalah orang-orang kuat. Menurut 
polisi, sebagian buktinya kurang kuat. Pemeriksaan di pengadilan hanya sepintas 
lalu, tidak ditemukan bukti kuat keterlibatan mereka. Ini perlu dituntaskan 
untuk memenuhi rasa keadilan.

Akan bijaksana bila proses pelaksanaan hukuman mati ditangguhkan dulu. 
Periksalah dengan cermat para saksi yang memberikan kesaksian tertulis bahwa 
Tibo dkk bukanlah pelaku penyerangan yang antara lain membunuh polisi. Periksa 
pula dengan tuntas dan tanpa pandang bulu 16 tokoh yang disebut Tibo dkk. 
Kemungkinan besar, Tibo dkk terbebas dari kasus ini. Periksa juga Tibo dkk 
dalam kaitan penyerangan atas Pesantren Walisongo dan sekitarnya. Meski Tibo 
mengaku tidak bersedia dilibatkan oleh Lateka, banyak saksi mengetahui Tibo dkk 
ada di tempat peristiwa dan salah seorang ikut berunding dengan penghuni 
pesantren. Di sini mungkin Tibo dkk ada ''andil''-nya, seberapapun kecilnya.

Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut termasuk memenuhi Kesepakatan Malino. Sering 
terjadi saksi bisa meningkat menjadi tersangka. Jika Tibo dkk bersalah, 
hukumlah sesuai perbuatan pidananya. Tetapi, bila hasil pemeriksaan menunjukkan 
kebalikannya, bebaskan Tibo dkk. Jangan biarkan hukum di Indonesia 
tercoreng-moreng terus.

Saksi-saksi tentang tidak terlibatnya Tibo dkk pada kasus pertama (dianggap 
sebagai pasukan Lateka), cukup banyak. Secara tertulis, kesaksian sudah 
diberikan oleh para bekas guru, bekas siswa, dan orang tua murid dari Kompleks 
Gereja Santa Maria. Ini perlu juga mendapat perhatian. Kalau perlu mereka 
diperiksa ulang.

Manakala simpulan yang ditarik salah, maka yang dihukum akan salah. 
Terlanggarlah ungkapan,''Lebih baik tidak menghukum 100 orang yang bersalah 
daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah''.

Ikhtisar
*Informasi yang berkembang bahwa Tibo dkk yang merusak dan membunuh tiga orang 
dalam perjalanannya ke Gereja Santa Maria, sebenarnya dilakukan Lateka dkk. 
*Dalam penyerangan atas Pesantren Walisongo, banyak saksi hidup melihat Tibo 
dkk ada di tempat peristiwa dan salah seorang ikut berunding dengan penghuni 
pesantren


-- 
----------------------------------------
I am using the free version of SPAMfighter for private users.
It has removed 181 spam emails to date.
Paying users do not have this message in their emails.
Try www.SPAMfighter.com for free now!


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to