http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=123318
Munuju Profesionalisme TNI @ Ulang Tahun ke-7 Reformasi TNI Oleh Yuddy Chrisnandi Rabu, 5 Oktober 2005 Militer di era reformasi dianggap tidak lagi menjadi kekuatan yang mendominasi hubungan sipil-militer. Meski begitu surutnya peran politik militer tidak memengaruhi daya tawar militer terhadap kebijakan pemerintahan sipil. Kekuatan sipil mulai berada pada posisi yang seimbang dengan kekuatan militer dalam menentukan proses kebijakan politik. Secara formal, militer tidak lagi dilibatkan dalam urusan politik, namun secara faktual pengaruh militer diperlukan kekuatan politik sipil untuk mendukung agendanya. Di era reformasi, kita menemukan beberapa pola hubungan sipil-militer yang unik. Pada era kepemimpinan BJ Habibie (1998-1999) dan Megawati Soekamoputri (2001-2004), hubungan sipil-militer dirasakan berlangsung harmonis di mana pemimpin sipil dan pemimpin militer dapat bekerja sama dan saling mendukung. Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), hubungan sipil-militer dapat dikatakan tidak harmonis. Saat itu, sipil-militer tidak dapat bekerja sama dengan baik dan tidak bisa menyelesaikan perselisihannya. Idealnya, hubungan sipil-militer seimbangan, di mana pemerintahan sipil dapat menghormati otoritas militer yang tunduk pada supremasi sipil Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum sepenuhnya menggambarkan hubungan sipil-militer ideal layaknya gagasan Huntington dalam The Soldier and The State, yaitu berlangsungnya civillian objective control over military. Sekilas tampak SBY mengendalikan militer, namun kenyataannya seolah SBY memiliki kekhawatiran akan loyalitas militernya. Kontroversi pergantian panglima TNI antara DPR dengan Presiden yang tertunda-tunda, menunjukkan alasan kuat akan hal itu. Tujuh tahun proses reformasi, masih belum mampu sepenuhnya menjadikan militer profesional. Walau demikian upaya TNI keluar dari kancah politik dan menata dirinya perlu diapresiasi sebagai prestasi. Krisis kredibilitas yang pernah dialamatkan ke institusi tentara akibat tindakan-tindakan di luar norma profesionalisme-militer, telah mengembalikan rasa percaya-dirinya. Meski begitu, reformasi internal TNI sejauh ini belum sepenuhnya melepaskan TNI dari karakter tentara politik. Sebagai tentara politik, militer memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan Janowitz, yaitu militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa dan arah evolusi negara. Hal ini dilakukan dengan mengombinasikan prinsip hak sejarah (birthright principle) dan prinsip kompetensi (competence principle). Prinsip hak sejarah didasarkan pada suatu interpretasi bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan untuk mempertahankan negara. Sedangkan prinsip kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Penilaian ini didasarkan pada wacana tentang ketidakmampuan institusi sipil untuk mengelola negara, karena merebaknya berbagai krisis nasional. Untuk merombak total karakter TNI sebagai tentara politik, otoritas politik sipil dihadapkan pada hambatan kedua dari transformasi militer di Indonesia. Yaitu belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. UU no.34/2004 tentang TNI masih perlu penyempurnaan. Keberadaan regulasi-regulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya untuk menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Yang lebih penting adalah keterlibatan semua pihak untuk menjaga TNI commited terhadap agenda reformasinya melalui kritik-kritik yang konstruktif. Selama perjalanan transformasi TNI pasca Orba, faktor yang paling menghambat terwujudnya profesionalisme militer adalah keterbatasan anggaran militer. Ini berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan pertahanan nasional dengan semakin menurunnya kualitas peralatan militer. Akibatnya, berbagai program latihan kemiliteran tidak bisa dilaksanakan karena berbagai keterbatasan. Lebih memprihatinkan lagi bila bicara masalah kesejahteraan prajurit. Militer dituntut profesional dan dikontrak mati untuk mempertahankan negara, tapi gaji perbulan tidak sampai satu juta rupiah. Jangankan untuk menyekolahkan anak atau memenuhi kebutuhan isteri, untuk membeli obat bila sakitpun sulit. Di era reformasi, bagi prajurit TNI semakin sulit peluang untuk mendapatkan pemasukan ekstra dari kerja sampingan. Persoalan berikutnya adalah masalah alat utama sistem pertahanan. Statisik membuktikan, anggaran pertahanan jauh dari cukup untuk mengatasi situasi hankam di Tanah Air dengan luas wilayah yang demikian besar. Secara statistik, anggaran belanja militer dari tahun ke tahun memang meningkat, namun peningkatan itu tidak sesuai dengan proporsi kebutuhan anggaran yang ideal. Karenanya, menghadapi intervensi asing dalam berbagai kasus belakangan ini --terakhir kasus Ambalat-- TNI menghadapi banyak kendala. Kasus Ambalat hendaknya menyadarkan pentingnya membenahi sistem pertahanan dan postur TNI di masa mendatang, khususnya dari segi teknologi pertahanan dan kecanggihan peralatan perang. Di hadapan Komisi 1 DPR mantan KSAL Laksamana Bernard Ken Sondakh pernah mengakui bahwa kebanyakan KRI tidak siap tempur. Mantan KSAU Marsekal Cheppy Hakim pun menyatakan bahwa dari 222 pesawat tempur, pesawat angkut dan helikopter, hanya 41,5 % saja yang siap tempur. Karenanya, dalam menghadapi ancaman musuh dari luar, Indonesia menganut strategi pertahanan yang dirumuskan dalam strategi penggunaan kekuatan berdasarkan strategi pertahanan pulau-pulau besar. Itu dilakukan melalui pertahanan berlapis di wilayah (zona); Zona Pertahanan I (penyangga), II (pertahanan), dan III (perlawanan). Meski dalam kondisi serba terbatas, peningkatan profesionalisme TNI tetap harus menjadi prioritas. Untuk ini ada lima hal yang perlu dikedepankan, pertama, menyangkut sarana prasarana lembaga pendidikan dan pelatihan. Kedua, pembinaan ilmu militer (military science) dengan otoritas pemberian gelar kesarjanaan ilmu militer pada lembaga pendidikan TNI. Ketiga, menyangkut skala prioritas belanja kebutuhan peralatan militer. Keempat, komitmen terhadap pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional. Kelima, meningkatkan secara bertahap dan berkesinambungan kesejahteraan prajurit TNI. Dirgahayu Tentara Republik Indonesia, Jayalah Bangsaku.*** Penulis dosen Universitas Nasional, meraih doktor Ilmu Politik dengan disertasi Reformasi Internal ABRI, anggota Komisi I FPG-DPR [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery. http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/