http://www.sinarharapan.co.id/detail/article/nafsu-politik-orang-indonesia-lampui-ambang-rasionalitas/

Jumat 26. of Juni 2009 14:36 
NAFSU POLITIK ORANG INDONESIA LAMPUI AMBANG RASIONALITAS


Bandung - Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini 
ditandai besarnya arus nafsu berpolitik yang merasuki semua elemen, hingga 
terkesan melampaui ambang batas rasionalitas.

     
"Keasyikan arus berpolitik di negeri ini sudah melalui ambang batas 
rasionalitas, semua orang dari berbagai profesi dan termasuk yang berada di 
luar orbit politik tampak larut dan seolah tidak ada kemulian di luar dunia 
politik," kata Dr Yudi Latief, pengamat politik dari Reform Institute di 
Bandung, Jumat.
     Dia mencontohkan, keasyikan arus berpolitik sangat terlihat dari beberapa 
tahun belakangan dan semakin menjadi saat menjelang Pemilu legislatif 9 April 
2009 dan terus berlanjut menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009.
     Ia memprediksi keasyikan arus dan gonjang-ganjing perpolitikan di tanah 
air tidak akan pernah berhenti dan suasana "panas" berlanjut ke lembaga 
legislatif yang ditandai adanya kubu-kubu kekuatan.


     Ia menghimbau masyarakat untuk terus mengimbangi suasana perpolitikan di 
Indonesia dengan  berupaya menambah wawasan atau melek politik termasuk juga 
dalam menghadapi Pilpres 8 Juli 2009.
     "Dari tiga pasangan capres/cawapres yang ada memang tidak ada yang ideal 
dan bisa memenuhi harapan masyarakat Indonesia, tapi pilihlah yang dinilai 
masyarakat terbaik dan memberikan harapan baru dari semua yang terburuk," 
ucapnya pada diskusi publik di Bandung baru-baru tadi.
     Pilpres merupakan "Gate Keeper" dalam menyeleksi  calon-calon pemimpin 
negara di berbagai bidang,  sehingga tingkat kualitas Pemilu akan menentukan 
tingkat kualitas pemimpin yang dihasilkan.
     Ia mengatakan, menghadapi masa krisis dan kekacauan  kondisi kehidupan 
berbangsa dan bernegara  diperlukan peran kepemimpinan yang lebih besar dan 
tanggap serta mampu mengambil keputusan.


     Menurut Yudi Latief,  perkembangan anti-teori terjadi di Indonesia selama 
ini dimana krisis terus berlangsung, tapi pemimpin  kharismatik tak kunjung 
muncul atau hanya sesaat muncul kemudian ditelan arus zaman. 
     "Suasana seperti inilah yang diratapi sebagai krisis kepemimpinan", 
tegasnya.
     Hal yang  dipikirkan seolah bukanlah kapasitas transformatif dari 
kekuasan, melainkan daya beli dari para pemimpin, akibatnya, partai politik 
gagal mereproduksi intelektual organiknya, sedangkan para pemimpin yang punya 
bibit-bibit kharismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa 
mengikuti logika "alokatif"  yang begitu cepat  menggerus kewibawaan.
     Kondisi tersebut, menurut dia, bisa digambarkan sebagai "jalan baru tak 
kunjung menemukan pemimpin baru, dan pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan 
jalan baru" dan artinya jalan buntu menghadang.
     Lebih lanjut dikatakan, untuk  memulai perubahan harus dari titik nol dan 
dari titik pemahaman awal dimana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan 
sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama. 
     "Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan 
belajar mengemban tugas pastoral, sebagai penggembala yang menuntun dan 
memperjuangkan keselamatan rakyatnya yang artinya mereka harus berjiwa besar 
agar lebih besar dari dirinya sendiri," katanya.
     Komitmen terhadap kemaslahatan publik ini menurut dia, menuntut para 
pemimpin tidak melulu mengandalkan modal finansial, tetapi yang lebih penting 
"modal moral" dalam arti  kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam 
memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke