Negara Harus Bertanggung Jawab Atas Pelanggaran HAM Dalam Kisruh Daftar Pemilih 
Tetap (DPT)
 

Pernyataan Sikap PBHI Jakarta

Pelaksanaan pencontrengan pemilihan umum (pemilu) legislatif akhirnya tuntas 
dilaksanakan kamis, (9/4). Namun sungguh sangat disesalkan pelaksanaan pemilu 
kali ini dinodai dengan berbagai persoalan yang berujung pada pengabaian hak 
konstitusional warga negara, utamanya dalam persoalan banyaknya warga yang 
memiliki hak untuk memilih namun gagal melaksanakan haknya karena tidak 
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Data yang dilansir dari berbagai sumber menunjukkan begitu masifnya pelanggaran 
seputar hak pilih warga. Mengutip data yang yang disampaikan oleh Komite 
Independen Pemantau Pemilu (KIPP), pelanggaran itu terjadi hampir disemua 
provinsi, kabupaten dan kota. Data serupa juga disampaikan oleh Jaringan 
Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melansir 40 persen persoalan Pemilu 
2009 berkisar pada masalah DPT.

Bagi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, begitu 
masifnya pemilih yang gagal melaksanakan haknya dalam pemilu karena tidak 
terdaftar dalam DPT merupakan persoalan yang sangat serius. Terlanggarnya hak 
warga negara ini bukan saja mereduksi legitimasi hasil pemilu, namun lebih dari 
itu kasus ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (ham). 

Dalam konteks ham, pelanggaran hak memilih warga secara masif merupakan 
pelanggaran dalam domain hak sipil dan politik. Hak-hak sipil dan politik 
adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang 
dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati 
hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik. 

Landasan yuridis bagi pemilih dalam pemilu sebenarnya sudah dijamin dalam 
Undang-Undang 12 tahun 2005 menyangkut kovenan internasional tentang Hak-Hak 
Sipil dan Politik. Pada pasal 25 UU tersebut disebutkan: hak setiap warga 
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan 
dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada 
jabatan publik di negaranya. 

Jelaslah merujuk pada pasal tersebut, banyaknya warga yang tidak bisa 
berpartisipasi dalam pemilu lantaran tidak terdaftar DPT merupakan bentuk 
pelanggaran ham serius yang dilakukan negara dalam domain hak sipil politik.

Ketidak mampuan negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan KPU sebagai 
pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan DPT merupakan cerminan pengabaian 
Negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia 
seperti di atur dalam UndangUndang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, dalam konteks hukum pidana, pengabaian ini juga mempunyai 
konsukuensi hukum. Pasalnya, dalam Undang-Undang 10 tahun 2008 tentang 
Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 260 yang mengatur ketentuan pidana 
dalam UU itu disebutkan; Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang 
lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) 
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit 
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua 
puluh empat juta rupiah).

Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah pelanggaran hak pilih warga negara 
secara massif yang terjadi pada pemilu 2009, merupakan bentuk tindak pidana 
yang dapat diganjar hukuman penjara. Dengan kata lain setiap warga negara yang 
tidak terdaftar dalam DPT meski memiliki hak konstitusional memilih, dapat 
mengajukan gugatan hukum terhadap penyelengara Pemilu – Pemerintah dan KPU.

Berdasarkan uraian diatas, maka PBHI Jakarta perlu menyatakan sikap sebagai 
berikut: 

1. Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran ham yang terjadi dalam kasus 
banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan gagal melaksanakan 
hak pilihnya pada pemilu 2009.
2. Sebagai wujud tanggung jawab atas kisruh dalam kasus DPT, PBHI Jakarta 
mendesak agar Menteri Dalam Negeri dan seluruh anggota KPU Pusat mundur dari 
jabatannya
3. Sebagai konsukuensi atas mundurnya penanggung jawab penyelenggara pemilu 
(Mendagri dan seluruh anggota KPU Pusat), PBHI Jakarta mendesak agar Presiden 
dan Ketua serta pimpinan Fraksi DPR segera mengadakan pertemuan guna membahas 
pergantian jajaran penyelenggara pemilu agar pelaksanaan tahapan lanjutan 
pemilu legislatif dan Pilpres tidak terganggu sehingga dapat terlaksana sesuai 
jadwal .
4. PBHI Jakarta mendukung segala upaya dari pihak manapun yang akan melakukan 
langkah-langkah hukum terkait dengan kekisruhan dalam DPT.
5. PBHI Jakarta juga siap mendampingi secara hukum siapapun baik individu/ 
kelompok yang ingin mengajukan gugatan hukum atas kekisruhan yang terjadi 
seputar DPT. 

Demikian pernyataan ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan kami atas 
terlanggarnya hak warga negara secara massif dalam pemilu 2009. 


Jakarta, 10 April 2009


Hendrik Sirait
Ketua BP. PBHI Jakarta





 

--- On Sat, 4/11/09, Sunny <am...@tele2.se> wrote:

From: Sunny <am...@tele2.se>
Subject: [ppiindia] KPU Salah Golput 'Menang'
To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
Date: Saturday, April 11, 2009, 7:06 PM








http://www.poskota. co.id/news_ baca.asp? id=54559& ik=6

KPU Salah Golput 'Menang' 

Sabtu 11 April 2009, Jam: 9:23:00 
JAKARTA (Pos Kota) - Pada Pemilu legislatif kali ini yang menang justru golput. 
Betapa tidak lebih dari 40 persen masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya. 
Namun yang menyedihkan, masyarakat tidak memilih bukan karena alasan idelogis, 
justru lebih banyak karena dosa Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu karena 
kesalahan administrasi. 

Jutaan pemilih tidak bisa menggunakan haknya karena namanya tidak ada di daftar 
pemilih tetap (DPT). Padahal masyarakat sudah datang berbondong ke TPS, tapi 
tidak diperbolehkan memilih. Oleh karena itu, golput menang karena kesalahan 
KPU. Untuk itu gugatan terhadap lembaga pemilu ini semakin banyak. 

"Di salah satu TPS di Jakarta Selatan, warga sempat demonstrasi karena tidak 
dapat mencontreng akibat tidak masuk DPT. Ini artinya, golput pemilu 2009 bukan 
persoalan ideologis, melainkan lebih pada persoalan administratif yang memaksa 
rakyat menjadi absten atau golput," jelas Ramdansyah Ketua Panwaslu Provinsi 
DKI Jakarta Jumat (10/4). 

Menurut Ramdansyah, ada sebagian kelompok masyarakat yang malas menggunakan hak 
pilihnya. Tapi banyak pula yang ingin menyuarakan hak pilih, tidak kesampaian 
lantaran tidak masuk DPT. 

Memang ada juga tidak mencotreng karena bingung."Saya datang dan mengambil 
kertas suara dan menuju bilik suara. Namun saya tidak mencontreng apapun. 
Banyak sekali nama parpol dan caleg bikin pusing," ungkap Hardiman, warga 
Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (9/4) lalu. 

Syaifudin, Ketua KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) TPS 175 Kel. 
Penjaringan, mengatakan sekitar 40 persen dari jumlah pemilih yang tidak 
memberikan hak suaranya. Begitu juga banyak wanita jablay di Komplek Lokalisasi 
Kalijodo tercatat di TPS 06 ini tidak memilih. 

TIDAK TERDAFTAR 
Di Panti jompo Tresna Werdha Budi Mulya 2 Cengkareng, penghuni harus diangkut 
menggunakan mobil operasional. Karena TPS 44 Cengkareng Barat berjarak sekitar 
500 meter dari panti. "Dari 161 orang hanya 70 orang yang memperoleh hak suara, 
selebihnya saya nggak tahu tidak dapat surat undangan milih,"tutur satu petugas 
panti. 

Di TPS 44, warga RW 07 Cengkareng Barat dan kompleks perumahaan Koperasi Tahu 
Tempe RW 011 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, dan TPS 96 dan 97 di 
wilayah tersebut, banyak yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Begitu pula, 
warga Meruya Selatan, Jakarta Barat, banyak yang tidak menyalurkan hak 
suaranya. Sedangkan di Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat, terdapat sekitar 
300 warga tidak masuk DPT. Padahal pada Pilkada sebelumnya mereka terdaftar. 

Panwaslu Provinsi DKI telah mencatat sembilan pelanggaran pidana pemilu, saat 
tahapan pemungutan dan perhitungan suara. Di antaranya kasus pemberian surat 
suara dua kali pada surat suara caleg DPRD di TPS 81 Kayu Putih. Selain itu, 16 
nama orang yang telah meninggal dunia dari TNI/Polri muncul satu DPT dan ikut 
mencontreng di Pekayon. Kasus ini sedang didalami Panwaslu Jakarta Timur. 
Sedangkan di TPS Petojo Utara yang tidak ada di DPT ikut nyontreng. Dengan 
dasar membawa undangan khusus sebanyak 12 orang dari ketua RT setempat. 

(tim PK) 

[Non-text portions of this message have been removed]

















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke