Komunike Bersama Gerakan Sosial

Neoliberalisme Tutup Buku, Bangun Indonesia Baru



Sistem ekonomi-politik global saat ini telah digunakan untuk mendorong 
liberalisasi ekonomi di segala sektor baik melalui liberalisasi perdagangan, 
liberalisasi modal, maupun liberalisasi keuangan. Liberalisasi yang diasumsikan 
mampu mendorong pertumbuhan tersebut ternyata juga menimbulkan kemiskinan, 
kesenjangan, ketidak-adilan, serta sistem keuangan yang tidak stabil dan justru 
memicu krisis global. Di bawah sistem pasar bebas, nasib jutaan masyarakat 
dunia bisa ditentukan oleh tindakan segelintir spekulan. 


Prinsip “laissez-faire” yang dipercaya oleh penganut neoliberalisme dan 
disebarkan ke seluruh dunia tidak mampu mewujudkan efek “tetesan ke bawah”. 
Rezim neoliberal yang didukung oleh institusi-institusi keuangan internasional 
dan regional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, dan International 
Monetary Fund (IMF) sering melahirkan kebijakan yang menyebabkan kerugian di 
negara-negara miskin dan berkembang. Sistem ini justru melanggengkan 
eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang 
terutama melalui kegiatan industri pertambangan dan transaksi utang luar 
negeri. Dominasi satu kekuatan tertentu di dalam Bank Dunia, ADB, dan IMF juga 
membuat proses pengambilan keputusan menjadi jauh dari prinsip-prinsip 
demokrasi dan keadilan.


Krisis dan Dampaknya
Krisis keuangan yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 
ancaman global dan ikut menyeret negara-negara dunia ketiga yang berada pada 
lantai terlemah ekonomi dunia ikut terjebak di dalamnya. Namun, pemerintah 
Amerika Serikat dan institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) telah gagal 
mengatasinya. Saat ini mereka meminta seluruh dunia untuk ikut menanggung biaya 
krisis keuangan global yang bahkan negara berkembang tidak menjadi penyebabnya.


Ancaman pemutusan hubungan kerja semakin menyebar ke seluruh dunia disebabkan 
oleh deindustrialisasi dan turunnya kemampuan produksi. Jumlah ekspor yang 
menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tetapi juga aksi setiap negara 
untuk mengetatkan impor untuk menyelamatkan ekonomi negaranya masing-masing. 
Aliran pelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan 
kebutuhan likuiditas di negara asalnya. Depresiasi mata uang, krisis nilai 
tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara 
berkembang.


Sayangnya kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap krisis tetap tidak 
mencerminkan keberpihakan terhadap jutaan rakyat miskin. Aksi seragam atas 
injeksi likuiditas di sektor keuangan serta bailout dilakukan untuk “menolong” 
sektor perbankan dan lembaga-lembaga hedge fund dianggap sebagai obat generik 
yang mampu mengatasi masalah. Pemerintah Indonesia di bawah tim ekonomi Kabinet 
Indonesia Bersatu (KIB) bahkan tidak tanggung-tanggung segera melakukan buyback 
saham dan Surat Utang Negara (SUN). Kebijakan tersebut hanya berdampak pada 
semakin berkurangnya kerugian yang diderita investor pemegang saham dan surat 
berharga negara.


Sementara itu, rekomendasi yang diajukan pemerintah Indonesia melalui menteri 
keuangan dalam forum pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 juga sangat 
mengecewakan. Kesepakatan untuk mereformasi Bretton Woods Institution hanya 
menghasilkan pemberian mandat kepada Bank Dunia dan Bank pembangunan lainnya 
untuk meningkatkan kapasitas pinjaman melalui “global expenditure fund”. Dengan 
kata lain, pemerintah Indonesia telah menunjukan dirinya sebagai “good boy” IMF 
dan Bank Dunia. Rekomendasi ini juga perlu diwaspadai sebagai bentuk dukungan 
terhadap kebijakan pemerintah menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia yang telah 
memberikan komitmen sebesar USD $2 milyar.


Tantangan dan Kesempatan
Paradigma neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, tetapi juga telah 
memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran dan akumulasi kapital hanya 
terpusat pada segelintir orang. Nasib masyarakat dunia yang terkena dampak 
krisis global tidak hanya cukup diserahkan pada segelintir pemimpin 
negara-negara G20 dan G8. Skenario penyelamatan dari krisis saat ini harus 
melalui mekanisme yang adil dan demokratis serta merepresentasikan seluruh 
negara-negara di dunia dan bukan hanya negara-negara yang menguasai ekonomi 
dunia. 


Saatnya beralih pada gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang 
konsisten pada nilai-nilai keadilan, solidaritas sosial serta kesetaraan dalam 
pengambilan keputusan. Sudah saatnya mengambil kebijakan yang melihat dari 
sudut pandang korban, yaitu sekitar 850 juta masyarakat yang hidup di bawah 
garis kemiskinan, dan bukan untuk menyelamatkan aset segelintir pemilik modal. 


Kontradiksi kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat miskin dunia terbukti 
dengan besarnya jumlah dana yang dikucurkan Negara-negara maju untuk 
menyelamatkan perbankan. Sedangkan komitmen yang diberikan oleh seluruh 
negara-negara maju untuk penghapusan utang bagi negara-negara miskin dan 
berkembang hanya sebesar USD $100 milyar dan sampai tahun 2008 hanya USD $88 
milyar yang telah dicairkan.


Sangat penting belajar pada pengalaman krisis di tahun 1980-an, 1990-an, dan 
2000 baik yang terjadi di Amerika Latin atau Asia Tenggara, bahwa lembaga 
keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia hanya menerapkan kebijakan 
stabilisasi ala neoklasik yang mengabaikan kepentingan rakyat miskin. Bahkan 
kedua lembaga tersebut merupakan penyebab dari berbagai kebijakan liberalisasi 
ekonomi yang telah melahirkan krisis keuangan, krisis energi, krisis pangan, 
kerusakan iklim, dan pemotongan anggaran sosial yang justru sangat dibutuhkan 
untuk memenuhi hak dasar rakyat. 


Rekomendasi:




Mendesak pemerintah Indonesia untuk mengubah prioritas kebijakan untuk merespon 
krisis dari aksi bailout sektor perbankan menjadi jaminan sosial bagi rakyat

Memprioritaskan pemanfaatan dana masyarakat yang terhimpun dalam APBN untuk 
pemenuhan hak dasar rakyat di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, energi 
serta lingkungan dari dampak krisis dan bukan untuk menanggung kerugian sektor 
keuangan dan berbagai macam akibat bisnis spekulasi

Melakukan kontrol yang kuat terhadap perdagangan pasar uang dan saham 
(derivative) untuk menekan aksi spekulasi dan tingginya aliran hot money yang 
bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional

Nasionalisasi industri-industri strategis yang dikuasai pihak asing untuk 
menghentikan segala bentuk eksploitasi yang menimbulkan penghisapan ekonomi 
oleh negara-negara maju di Indonesia melalui eksploitasi sumber daya alam.

Melakukan negosiasi kepada pihak kreditor untuk menghentikan pembayaran utang 
haram. Menghentikan pembayaran utang juga didasari oleh kenyataan bahwa seluruh 
total pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya yang telah ditunaikan sudah 
melebihi jumlah utang yang diterima.

Menolak segala bentuk utang baru dan tidak melibatkan lembaga-lembaga seperti 
IMF, Bank Dunia, atau ADB dalam berbagai upaya untuk mengatasi krisis. Karena 
lembaga-lembaga tersebut ikut bertanggung jawab sebagai penyebab krisis global 
yang meluas

Mendorong dilaksanakannya sistem yang mampu membentuk pola hubungan yang adil 
antar negara-negara di dunia, menghormati prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi 
dan politik, hak asasi manusia, kesetaraan gender, keadilan ekologi, serta 
menjamin terwujudnya kedaulatan pangan. 

Mendesak penyelenggaraan sistem perekonomian nasional sesuai dengan amanat 
konstitusi Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen demi memujudkan 
keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.


Jakarta, 13 November 2008 




Koalisi Anti Utang
Serikat Petani Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sarekat Hijau 
Indonesia, Solidaritas Perempuan
 Devi R. Ayu 
Media Relation 
(WALHI - Friends of The Earth Indonesia)
Jl. Tegal Parang Utara no.14 Jakarta 12790
Phone : +62 21 794 1672, 7919 3363
Fax     : +62 21 794 1673
Mobile Phone: +62 8156 100 353
Email  : relasi.media@ walhi.or. id
            [EMAIL PROTECTED] id
------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- 
--------- --------- --------- --------- --------- ------
"Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, namun kemampuan untuk menghadapi 
rasa takut dan berkata 'aku mensyukuri apa yang aku rasakan saat ini'. Dan 
apapun yang dirasakan saat ini, aku akan terus maju ke depan!"
- Philip Baker - 


 
 














      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke