OBYEKTIFIKASI PEREMPUAN OLEH RUU APP ( II )
  
  Pada intinya, kaum perempuan telah mengalami obyektifikasi yang tersistemik dengan bermacam pencitraan yang dihadirkan dalam pro-kontra RUU APP. Hal ini tervisualisasi dalam suatu pemahaman tentang fokus perdebatan yang sebagian besar ditujukan hanya kepada kaum perempuan. Dan untuk beberapa subyek perempuan tertentu, harus dijadikan obyek pada titik perdebatan (secara frontal) yang dilandaskan oleh basis rasionalitas, pemahaman, dan visualisasi yang absurd tentang perempuan itu sendiri. Ironisnya ketika hal tersebut diambangkan hanya untuk komoditas isu seputar nilai-nilai “moralitas dan budaya masyarakat Indonesia” yang digeneralisir oleh sepihak. Lalu, pada dimensi lainnya ternyata para elit struktural hanya mengedepankan tentang mekanisme yang dianggapnya “demokratis”, dan membuang ludahnya pada kaum perempuan yang terobyektifikasi oleh RUU APP tersebut, dan sebuah pertanggungjawaban konsisten tidak pernah dihadirkan dari penodaan bagi suatu pencitraan kepada kaum
perempuan yang distigmatisasi “secara terselubung” dalam rancangan kebijakannya yang kontroversial.
  
  Realita tentang suatu pencitraan yang dihadirkan kepada kaum perempuan, bukan hanya pada batasan relasi antar jenis kelamin yang berbeda, antara kaum laki-laki dan perempuan; tetapi yang lebih esensi dari itu, yaitu praksis budaya dalam rentang waktu yang telah berjalan jauh kebelakang dan terlalu lama, bersamaan dengan praksis “teologi keilahian” yang diklaim sebagai “benteng moralitas”, namun tetap membenarkan proses marjinalisasi kepada kaum perempuan oleh praksis masyarakatnya. Saya tidak bermaksud untuk menyerang secara tendensius kepada suatu “kegagalan” yang telah dipraksiskan oleh “agama” tentang apa yang dipertegas dengan suatu realita kemunafikan. Tetapi ini juga merupakan bagian dari suatu “pembenaran” yang diperankan oleh para kaum reaksioner yang selalu mengusung “moralitas”, dengan beberapa pengeksposannya yang cenderung vulgar, terutama terhadap kaum perempuan yang secara langsung ataupun tak langsung telah disubstitusi kehakikatannya sebagai obyek tentang
“moralitas”. RUU APP yang dimaknai sebagai “alat kontrol” moralitas masyarakat, tentunya dirancang dengan suatu landasan yang menjelaskan tentang adanya kegagalan fundamental yang selama ini tetap dianut oleh masyarakatnya. Jika selama ini “hal-hal fundamental” tersebut berjalan secara sempurna pada kontrol moral masyarakat, tentunya RUU APP tidak akan diidealkan dan dipaksa legalitasnya.
  
  Ada ruang yang telah disediakan untuk menjustifikasi kaum perempuan sebagai obyek kontradiksi seputar RUU APP, dan ruang itu telah dikondisikan dengan beberapa “ganjalan moralitas” yang akan ditampilkan oleh beberapa komunitas yang selalu mengekspos praksis “moral”, dan membandingkannya dengan perbandingan yang absurd. Dan tentunya, alat “kontrol moral” kepada masyarakat hanyalah bagian dari suatu onani ide ditengah realita kemiskinan, liberalisme, dan globalisasi; yang kesemuanya itu telah mengeksploitasi ruang kehidupan manusia khususnya kepada kaum perempuan. Sehingga kaum perempuan tidak hanya diposisikan sebagai subyek yang ada pada kehidupan, tetapi ketika kaum perempuan telah terobyektifikasi dengan segala bentuknya!*** (selesai) 
  
  Mei 2006, Leonowens SP

           
---------------------------------
Love cheap thrills? Enjoy PC-to-Phone  calls to 30+ countries for just 2¢/min with Yahoo! Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]




SPONSORED LINKS
Cultural diversity Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke