Migrasi GFA ke IRFCL: Biaya US$ 3 Milyar     
  by: Irvany Ikhsan
http://cadangan-devisa.blogspot.com/
   
  Menarik jika buka ulang kliping-kliping koran lewat internet. Hanya dengan 
waktu singkat kita bisa baca ulang lagi apa yang sudah terlewat. Misalnya kita 
ingin buat tulisan tentang Cadangan Devisa, maka dengan mudahnya dapat 
dikumpulkan beberapa tulisan dari beberapa koran lokal. Belum lagi ditambah 
dengan sumber-sumber aslinya seperti federal resevered USA, UK, Australia, 
Hongkong, Singapura dan lain-lain. Terserah kita mau seberapa banyak dan 
seberapa akurat tulisan kita maka bukan suatu hal yang sulit lagi mengumpulkan 
informasi dari sumber-sumber aslinya yang tadinya ide datang dari membaca koran 
atau mendengar opini or berita dari pakar dan pejabat negara. 
    
  
  
  Dari metode yang dipopulerkan oleh Noam Chomsky, maka kita semua dapat meniru 
cara penelitian beliau yaitu membandingkan berita di Koran dengan sumber asli 
yang ada di situs resmi. Dengan demikian mungkin kita setiap hari dapat 
melakukan penelitian yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan 
singkat-sederhana serta mudah dimengerti khalayak banyak. Manfaatnya pun jelas 
dibanding dengan studi empiris yang memerlukan waktu banyak dengan mengunakan 
metodologi rumit sehingga perlu menggunakan prangkat komputer untuk 
mengolahnya, SPSS or SAM misalnya. Yang membaca pun perlu waktu berhari-hari 
mengerutkan dahi dan itu juga belum tentu mengerti seluruhnya. Jika sudah 
mengerti seluruhnya juga ternyata gak bisa digunakan karena kebanyakan event 
study, yang kita tahu sifat utama event study ini tidak dapat digeneralisir. 
Singkat kata, cuma science for science.
  
  
    
  Ada 8 kliping koran yang terkumpul dan jika disambung-sambung bisa menjadi 
suatu cerita yang menarik. Pak Kwik meminta supaya Cadangan Devisa diaudit oleh 
BPK kemudian pejabat BPK menyambutnya dengan mengatakan ada 38 titik rawan yang 
harus dibenahi dan sudah dibenahi dengan disaksikan PwC (nah PwC lagi nih.. 
click ya!), kata pejabat BPK tersebut. Kemudian Bu Miranda menyatakan cadangan 
devisa susut karena perubahan sistem pencatatan di awal tahun 2000, dari Gross 
Foreign Assets (GFA) ke International Reserves and Foreign Currency Liquidity 
(IRFCL). Karena nambah susut atau berkurang (bukan karena menguap) sangat 
rentan jika digunakan sebagian untuk memutuskan hubungan dengan IMF dengan 
membayar lunas hutang ke lembaga tersebut. Prosedur pergantian GFA ke IRFCL 
sepertinya wewenang tunggal BI sama seperti wewenang BI menentukan besarnya 
forpolio dan di bank asing negara mana cadangan devisa itu disimpan. Ada juga 
pengamat yang mengusulkan supaya UU devisa bebas diamandemen
 untuk memperkuat cadangan devisa. Kemudian dengan berjalannya waktu dan dengan 
adanya perang Irak yang memicu harga minyak dan gas meningkat, 
sekonyong-konyong dikabarkan Pemerintah RI memiliki cadangan devisa 43 Milyar 
US dollar sehingga Otober 2006 lalu dapat melunasi seluruh hutang ke IMF lebih 
cepat dari yang dijadwalkan yaitu 2010.
  
  
    
  Ada dua kesimpulan yang paling menonjol dari gabungan 8 kliping koran 
tersebut, (1). begitu besarnya wewenang BI, (2) Perubahan sistem GFA ke IRFCL 
tanpa ada kabar berita apakah telah meminta restu DPR or BPK. Namun di era 
internatan ini, jika mengikuti Metoda Chomsky, kita bisa jadi bukan penonton 
lagi. Karena kita bisa ikut-ikutan menganalisa perubahan kebijakan konsep 
penghitungan cadangan devisa. Yaitu dengan meneliti kira-kira berapa banyak sih 
negara di dunia yang ikut-ikutan merubah konsep. Kira-kira USA, UK, Australia, 
atau Hongkong, or even Singapura, Malay berubah ngak yo? Kalo mereka gak 
berubah, lah what was the reason Miranda G (BI maksudnya red) changed the 
concept valuation of RI (negara loh, bkn pribadi) foreign reserve? 
  
    
  Chomsky mengajarkan, biarlah fakta-fakta yang berbicara dan biarlah pembaca 
yang memberikan kesimpulannya. Coba deh googling dengan kata GFA & IRFCL. 
Muncul berapa negara. Pilih situs resmi negara bersangkutan. Baca pelan-pelan. 
Apa faktanya?
  
    
  Faktanya adalah: tidak ada berita di negara lain tentang adanya perubahan 
dari GFA ke IRFCL. Tidak ditemukan misalnya USA juga mengganti GFA ke IRFCL. 
Atau Prancis, atau singapura. Satu hal, jika konsep GFA lebih luas dari IRFCL 
bukan berarti selisihnya hilangkan? Kan hanya soal tingkat likuiditasnya aja 
(situs BI). Jadi harusnya tetap ada cuma beda account, unlikuid IRFCL maybe. 
Tapi, ini kan benar-benar hilang. Kalau masalah tanggal kurs, sebagaimana 
keterangan di situs bapekki, harusnya gak ada masalah dengan tanggal kurs. Kan 
memang nerimanya udah dalam valuta asing, kenapa pula jadi ada masalah dengan 
perbedaan tanggal kurs.   
  
  Fakta lain, dalam dunia perakuntansian (bedanya apa ya dgn pencatatn didunia 
perbankan?), pencatatan untuk foreign curency baik International Accounting 
Standard (IAS) or General Accepted Accounting Principal (GAAP) gak ada bedanya. 
  
  
  Jadi, selisih US$ 3 Milyar krn migrasi dari GFA ke IRFCL penjelasannya hanya 
karena perubahan pemakaian konsep aja yach.... asik bener ini republik. 
Mudah-mudahan dengan adanya Badan Supervisi BI yang dibentuk berdasarkan UU 
Nomor 3 tahun 2004 ttg BI, tidak ada lagi susut beneran spt itu. Namun, 
denger-denger, sejak dilantik Agustus 2005 resistensi BI untuk disupervisikan 
tinggi sekali loh oleh badan ini. Sehingga daya jelajah supervisi kurang bisa 
lebih dalam. Ngak bisa ikut rapat dewan gubernur dan data sulit diminta...!?   
  
  refrensi:
  1. http://www.bi.go.id/biweb/Html/SekiTxt/T601.pdf
2. http://www.imf.org/external/np/sta/ir/colist.htm
3. http://www.fiskal.depkeu.go.id/makro1.asp?makro1=1040000
4. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/03/14/brk,20060314-75124,id.html
   
  
   
  
  

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke