Lampung Post
      Kamis, 31 Maret 2005 
     
      OPINI 
     
     
     
* Achmad Gunawan, Alumnus Administrasi Negara FISIP Unila, Bekerja di 
Sekretariat Negara 

      Menarik sekali mengikuti perdebatan kenaikan harga BBM. Pertimbangan 
baik-buruknya kenaikan harga BBM diargumentasikan dengan logika yang berbeda. 
Dari persoalan etika pemerintah di tengah kesulitan rakyat, persoalan latar 
belakang kebijakan dan juga argumentasi tentang metodologi kebijakan kenaikan 
harga BBM dan relevansinya terhadap kemiskinan.

      Dalam konteks yang terakhir, hal itu dilakukan dalam bentuk kajian 
akademis yang dipublikasikan luas. Perdebatan aspek metodologis kebijakan 
publik secara akademik di media massa yang seperti itu menunjukkan akademisi 
juga adalah aktor yang membentuk karakter sebuah kebijakan. Akademisi juga 
bertanggung jawab terhadap arah kebijakan.

      Perdebatan akademis tersebut dapat dirunut dari Fredom Institute yang 
dengan didukung logika meyakinkan dan didasari suatu kajian, akhirnya mendukung 
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan LPEM FEUI yang 
secara tak langsung mengumumkan kompensasi BBM merupakan kebijakan yang welfare 
improving.

      LPEM FEUI meneliti menggunakan dua model independent secara bertahap, 
yaitu model CGE dan model sistem persamaan permintaan, sedangkan Indef kemudian 
mengkritiknya karena model yang digunakan tidak lazim. Pada dasarnya semuanya 
tetap menggunakan model ekonomi yang berupa hitung-hitungan matematis. Semuanya 
tetap berkutat pada angka-angka.

      Semua fakta-fakta sosial seperti kemiskinan dan prilaku birokrat 
direpresentasikan dalam bentuk angka untuk selanjutnya diolah dalam hitungan 
matematis, yang kemudian hasilnya berupa angka yang pada akhirnya diartikan 
kualitatif.

      Sebab itu, kemudian muncul kritik yang membahas siapa sesungguhnya 
kelompok miskin yang pantas menjadi kelompok sasaran kompensasi BBM. Kritik 
terhadap penentuan kelompok miskin berdasarkan data-data kuantitatif tersebut 
berdasarkan miskin bukan hanya masalah kurang kalori, rumah geribik atau tidak 
berpenghasilan.

      Pendapat ini sejalan dengan Chamber (1983) yang menyatakan bahwa 
kemiskinan terkait erat dengan kelemahan jasmani, keterisolasian, 
ketidakberdayaan, kerentanan, yang secara keseluruhan disebut sebagai 
deprivation trap. Selain itu kemiskinan juga dipandang sebagai masalah 
kultural; budaya bertani, budaya kerja, budaya berkonsumsi juga menjadi 
pertimbangan dalam membicarakan kemiskinan. Dengan demikian, standar miskin 
yang hanya berbasis house hold, menjadi riskan digunakan sebagai dasar 
penentuan kelompok sasaran penerima bantuan kompensasi kenaikan harga BBM.

      Sangat riskan menilai kemiskinan seseorang atau rumah tangga hanya dengan 
angka, sungguhpun angka itu berdasarkan model yang mapan. Padahal menurut 
Friedman, model ekonomi baru bisa diterima jika sejalan dengan bukti empiris.

      Unik memang, ketika berbicara tentang angka dalam model ekonomi kemudian 
kita berbicara tentang kemiskinan yang sangat naif jika kemudian diangkakan. 
Secara tidak langsung kita dituntut untuk menemukan model yang 
komprehensif,tapi dapat digeneralisasi menjadi satu kesimpulan yang berlaku 
dalam semua kejadian serupa. Hal yang mustahil tentunya dalam ilmu sosial yang 
selalu berlaku "kebenaran relatif".

      Namun, lebih mustahil lagi mengambil generalisasi dari data-data yang 
bersifat mewakili yang tidak mungkin diwakili. Data-data di lapangan ternyata 
lebih banyak fakta kualitatif yang sulit sekali diangkakan. Ada beberapa hal 
tentang ini yang perlu dijelaskan.

      Pertama, fakta-fakta di lapangan selalu menghasilkan data-data yang sulit 
sekali diangkakan. Sebagai contoh, sebagian besar kantong-kantong kemiskinan 
berada di perdesaan, di situ pula lebih banyak tersebar individu-individu 
miskin yang seharusnya menjadi kelompok sasaran kompensasi BBM.

      Lalu bagaimana ketika kita ketahui ia mengonsumsi gaplek yang bahan 
dasarnya singkong yang mudah ditanam dimana saja sebagai makanan pokok dan 
memasak menggunakan kayu. Kemudian, anaknya sekolah tanpa menggunakan kendaraan 
bermotor, angkutan umum sekalipun, selain itu juga sekolah desa yang penuh 
dengan berbagai pemakluman.

      Prinsipnya, mereka tidak merasa sangat miskin mengingat kondisi 
sekitarnya tidak jauh berbeda (kemiskinan relatif). Atau dalam ungkapan warga, 
bantuan tidak terlalu dibutuhkan karena biasanya tanpa bantuan pun mereka bisa 
survive.

      Pertanyaannya, bagaimana pengaruh kenaikan harga BBM terhadap kelompok 
paling miskin itu? Perlu penjelasan kualitatif yang panjang tentunya. Namun 
yang pasti kita tak tahu angka seperti apa yang dapat mewakili kondisi tersebut.

      Kedua, fakta-fakta mengenai efektivitas yang disempitkan. 
Kenyataan-kenyataan mengenai efektivitas kompensasi tidak bisa dipersentasikan 
tanpa mendalami apa yang sesungguhnya terjadi dilapangan. Apalagi mengasumsikan 
kompensasi BBM efektif 100%.

      Beras yang hanya diterima sejumlah 5 liter dengan harga di atas harga 
pemerintah merupakan keniscayaan. Bagaimana tidak, jumlah raskin yang 
dikeluarkan untuk suatu desa tidak mencukupi seluruh keluarga miskin di desa 
itu jika tiap keluarga itu mendapatkan 20 liter beras.

      Namun ternyata "kearifan lokal" mempunyai jalan keluarnya dengan membagi 
kepada semua keluarga miskin. Jika kita memaksa memilih yang paling miskin, 
akan berbenturan dengan situasi kekerabatan yang kuat di desa.

      Mereka yang merasa harus dapat tetapi tidak memperoleh akan memboikot 
seluruh kegiatan desa. Belum lagi masalah harga, biaya angkutan tidak 
disediakan pemerintah dan akhirnya harus ditanggung keluarga miskin, padahal 
beras dengan harga Rp1.000 saja mereka kadang tidak mampu membayarnya.

      Pada akhirnya "kearifan lokal" memegang peranan penting. Pertimbangan 
yang arif dengan dasar jumlah anggota keluarga, jumlah keluarga miskin 
keseluruhan sesungguhnya di desa dan biaya angkut beras, akhirnya menjadi 
faktor penentu kuota raskin tiap keluarga dan juga harga sampai di keluarga 
miskin. Hitung-hitungan angka mengatakan kondisi seperti itu tidak efektif 
(tepat sasaran) karena seharusnya setiap keluarga miskin dapat 20 liter dengan 
harga Rp1.000 per liter.

      Tentu saja pemerintah pun menilai kebijakan PKPS BBM yang lalu tidak 
efektif, tapi penilaian itu hanya melihat satu sisi, yaitu sisi pemerintah. 
Kondisi di lapangan mengatakan sebagian besar raskin efektif, masyarakat miskin 
di desa merasa puas dengan jumlah pembagian berapa pun dari 20 liter itu karena 
memang masih banyak keluarga lain yang membutuhkan.

      Artinya evaluasi kebijakan tidak bisa dilihat dari satu sisi stakeholder, 
evaluasi harus dilakukan menyeluruh termasuk kelompok sasaran dan stakeholder 
lainnya. Penilaian efektif dan tidak efektifnya suatu kebijakan dari satu 
stakeholder saja akan menjadikan evaluasi menjadi parsial. Terlepas dari itu 
semua, penilaian ketidakefektifan itu baik untuk memacu pemerintah mengeluarkan 
kebijakan yang lebih bagus.

      Ketiga, berkaitan sosialisasi. Pada masa lalu banyak masyarakat yang 
belum bisa memilah-milah mana bantuan yang berasal dari PKPS BBM, mana bantuan 
JPS, mana bantuan pemerintah lokal. Terlepas masalah ketulusan pemerintah 
mengeluarkan kompensasi, perihal ini perlu dijelaskan.

      Seorang kepala desa pun terkadang tidak mampu menjelaskan apa itu PKPS 
BBM padahal jelas-jelas ia yang menerima bantuan itu. Bantuan-bantuan sejenis 
berupa raskin, dana kesehatan, dana pendidikan telah berjalan sebelumnya hampir 
sepanjang tahun dimulai saat krisis ekonomi negeri ini medio 1998 hingga kini. 
Masalahnya di sini, bantuan itu ada sejak dulu, dalam kondisi BBM naik atau 
tidak pun bantuan itu sudah ada, dengan kata lain ketika ada kenaikan harga 
BBM, pemerintah mengganti nama bantuan itu menjadi kompensasi BBM.

      Keempat, PKPS BBM 2003 yang terdiri dari 11 program kini difokuskan pada 
dua bidang prioritas utama, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Penentuan 
prioritas tidak bisa hanya berdasarkan data kuantitatif mengenai sarana dan 
tingkat pendidikan yang kemudian dirumuskan menjadi berbagai konsep bantuan 
pendidikan.

      Contohnya, bagaimana seorang anak mengatasi pilihan sekolah namun tidak 
makan? Padahal mereka bisa makan sehari-hari dengan ikut bekerja bersama 
anggota keluarganya yang miskin. Bagaimana jika memang mereka tidak ingin 
bersekolah karena tak tahu manfaat kedepannya?

      Pemerintah harus benar-benar komprehensif mengkaji kenyataan di lapangan 
mengenai prioritas kebutuhan masyarakat, sehingga konsep bantuan yang keluar 
tidak mengambang. Kini terbukti, bantuan bidang pendidikan berupa pendidikan 
gratis menimbulkan polemik di masyarakat.

      Mekanisme yang tidak jelas dan jumlah dana yang kurang menjadi pertanyaan 
yang sulit dijawab pemerintah kini. Sulit memang bagi pemerintah pusat 
menggeneralisasi suatu kebijakan dengan jaminan efektif di semua wilayah.

      Dalam kondisi ini, otonomi daerah harus dioptimalisasi. Kebijakan yang 
sesuai dengan kondisi daerah tentunya akan lebih efektif ketimbang 
digeneralisasi dari pusat. Daerah dalam lingkup yang lebih kecil dapat lebih 
mudah mengkaji yang lebih komprehensif.

      Penjelasan-penjelasan diatas tentunya dapat menggambarkan betapa 
fakta-fakta kualitatif di lapangan tidak dapat di-cover dengan model ekonomi 
yang digunakan lembaga penelitian yang dipercaya pemerintah untuk mengevaluasi 
kebijakannya. Fakta-fakta kualitatif akan sulit sekali untuk diangkakan, 
kalaupun dipaksakan hasilnya tidak akan optimal.

      Akan banyak nilai-nilai yang berharga sebagai data penelitian terbuang 
percuma tanpa bisa digunakan model. Secara normatif, semua fenomena yang 
terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan harus bisa dicakup dalam model studi 
kebijakan agar rekomendasinya bagus.

      Studi kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan menguak 
tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, mengapa tindakan itu dilakukan, 
dengan cara dan mekanisme apa dilakukan, untuk kepentingan siapa, dan bagaimana 
hasil, akibat, dan dampaknya. Dalam ranah studi kebijakan publik, pada 
sejarahnya melewati berbagai gugus pemikiran dari positivisme dan kini sampai 
pada masa post-positivisme.

      Lalu bagaimana dengan studi kebijakan publik kita. Yang terjadi kini 
justru sebaliknya, perdebatan yang terjadi mengindikasikan kita masih berada di 
dunia positivistik. Parson mengungkapkan sejak abad XIX hingga XXI, popularitas 
ilmu ekonomi mencuat dalam mengatasi problem-problem sosial (Parson, 1997).

      Situasi seperti itu wajar kala itu mengingat situasi politik global pada 
masa itu memang menuntut perkembangan ilmu sosial kearah sana, di mana dampak 
perang besar-besar di seluruh dunia membuat ekonomi akut. Harold Laswell (1951) 
kemudian muncul dengan menekankan harus adanya integrasi antarkeilmuan dalam 
menganalisis kebijakan publik.

      Menurut Leon (1994) paradigma positivis yang hanya berkutat pada 
angka-angka tidak lagi mampu men-cover fenomena dan problem sosial. Bahkan, 
menurut Lincoln dan Guba (1990), gugus post-positivisme mampu mengantarkan pada 
pemahaman mendalam atas proses-proses sosial yang komplek yang akan 
menggantikan pendekatan eksperimental dalam gugus pemikiran positivisme.

      Memperhatikan pendapat para ahli tersebut, jelas sudah studi kebijakan 
publik kita tertinggal jauh karena kita masih saja mengandalkan ilmu ekonomi 
untuk mengatasi masalah sosial.

      Berbicara model tentunya berkaitan metodologi yang digunakan. Secara 
teknis gugus pemikiran post-positivisme tertuang dalam metode kualitatif yang 
lebih dapat diharapkan mengungkap peristiwa riil di lapangan bahkan dapat 
mengungkapkan nilai-nilai tersembunyi yang tak mampu diungkapkan angka-angka.

      Metode penelitian kebijakan sesungguhnya tidak perlu terlalu terpaku pada 
metodologi selama rekomendasinya dapat benar-benar memberikan jalan keluar yang 
efektif karena penelitian kebijakan adalah penelitian mencari jalan keluar dari 
masalah. Masalah BBM adalah masalah kebijakan publik dan artinya harus dikaji 
lintas keilmuan, sehingga mampu menangkap setiap fenomena yang terjadi tidak 
sebatas angka-angka. Para akademisi juga harus lebih arif menentukan metodologi 
yang dipakai dengan relevansi terhadap masalah yang dihadapi.

      Pada akhirnya kompensasi BBM juga harus dilihat sebagai sebuah satu 
rangkaian upaya besar penanggulangan kemiskinan, sehingga pengkajian mengenai 
kebijakan penanggulangan kemiskinan ini tidak terpisah-pisah yang pada akhirnya 
menghasilkan rekomendasi yang parsial. Pada masa kepemimpinan Presiden Megawati 
tercatat dalam Propenas 2001--2004, bahwa kemiskinan merupakan bagian yang 
tidak terpisahkan dari pembangunan nasional.

      Artinya penanggulangan kemiskinan harus menjadi bagian penting dalam 
setiap upaya pembangunan. Padahal masalah-masalah penanggulangan kemiskinan 
tidak akan jauh-jauh dari koordinasi, tumpang tindih program, salah sasaran dan 
lain sebagainya yang disebabkan oleh rekomendasi yang parsial lintas sektor. 
Kenaikan harga BBM tentunya berpengaruh dengan kemiskinan dan upaya 
penanggulangannya, semoga pertimbangan pemerintah menaikkan harga BBM didasari 
metodologi yang komprehensif dengan tidak mengesampingkan penanggulangan 
kemiskinan secara utuh.
     

 Cetak Berita Email Berita

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke