Refleksi : Saya kira kalau diobservasi komunikasi para  petinggi NKRI  dengan 
rakyat  biasa terkesan  jarak pembicaraan  seperti antara tuan feodal dengan 
petani tak bertanah. 

http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=15768

Selasa, 03 Maret 2009 , 07:44:00

Obama Cium Ibu, Wen Chatting dengan Rakyat
Gaya Para Pemimpin Krisis
Dahlan Iskan


Di masa krisis berat seperti ini, para pemimpin dunia kelihatannya melakukan 
komunikasi langsung dengan rakyatnya melebihi dari yang sudah-sudah. Presiden 
Obama dan Perdana Menteri Wen Jiabao dua contoh yang amat menarik. KETIKA Senat 
Amerika Serikat memperdebatkan setuju atau tidak atas langkah-langkah presiden 
baru itu, Obama berdialog langsung dengan rakyat di beberapa kota yang paling 
terkena krisis. Kemarin lusa, pemimpin dari negara komunis yang biasanya sangat 
tertutup pun, chatting langsung dengan jutaan netter-nya selama dua jam lebih.

Ketika para wakil rakyat kelihatan keberatan untuk menyetujui usaha mengatasi 
krisis, Obama seakan membuat sidang tandingan. Meski sudah menjadi presiden, 
pidato Obama saat itu persis ketika masih jadi calon presiden: santai sekali 
seperti tidak ada beban. Bahkan, di sela-sela pidato, sesekali dia mengambil 
minum sendiri. Bukan dari gelas yang sudah tersedia di atas podium, tapi dari 
botol yang dia taruh di lantai dekat podium. Seorang presiden AS melakukan itu.

Tanpa moderator dia juga langsung melakukan tanya jawab dengan yang hadir di 
gedung itu. Ketika ada seorang wanita yang mengeluhkan nasibnya di saat krisis 
ini, dia datangi wanita itu. Dia cium, dia bisikkan kata-kata yang memberi 
harapan. Sama sekali tidak menggambarkan prosedur, tata cara, dan security 
seorang presiden.

Cara demikian dia perlukan karena dia harus bersaing langsung dengan wakil 
rakyat. Sidang di senat (wakil rakyat) yang menegangkan itu disiarkan langsung 
oleh jaringan TV. Dialog Obama dengan rakyat juga disiarkan langsung oleh TV. 
Stasiun TV pun kesulitan mau memilih menyiarkan yang mana: dua-duanya menarik. 
Maka banyak stasiun TV yang membagi dua layarnya: sebelah kiri siaran langsung 
sidang wakil rakyat, sebelah kanan siaran langsung "sidang" Obama dengan 
rakyat. Seakan-akan Obama ingin menunjukkan siapa yang benar-benar mewakili 
hati nurani rakyat: dia atau wakil rakyat. Pemirsa pun bisa membandingkan 
secara langsung mana yang lebih memenuhi harapan rakyat: wakil mereka atau 
Obama.

Yang menarik, di gedung senat itu juga bisa diikuti siaran langsung apa saja 
yang dilakukan Obama di depan rakyatnya. Sebaliknya, informasi apa saja yang 
sedang dibicarakan di gedung senat juga bisa diikuti para staf Obama di gedung 
pertemuan di Florida itu.

Ketika Obama berjalan menjauhi podium untuk mendekat ke penanya yang letaknya 
jauh di tribun kiri, seseorang naik panggung dan meletakkan selembar kertas di 
atas podium. Saya sudah menyangka informasi apa yang diinterupsikan ke podium 
itu. Tapi, Obama tidak kelihatan terlalu peduli, atau tidak kelihatan terlalu 
ingin mengetahui informasi apa yang begitu penting.

Setelah kembali ke podium, Obama juga tidak langsung membaca isi kertas itu. 
Baru beberapa saat kemudian, dia mengambil kertas tersebut dan mengumumkan 
isinya kepada yang hadir di situ: Senat telah memberikan persetujuannya. 
Memang, penonton TV sudah tahu bahwa di layar sebelah kiri telah disiarkan 
bahwa Senat telah selesai berdebat dan menyetujui rencana Obama meski dengan 
hanya selisih satu suara.

Di masa krisis, terobosan komunikasi seperti itu sangat diperlukan. Dan, Obama 
memiliki kemampuan dan keterbukaan yang luar biasa. Inilah yang juga saya 
harapkan di masa kepresidenan Indonesia lima tahun ke depan. Tidak perlu 
seorang presiden mendapat dukungan mayoritas di DPR. Jangan takut dijegal oleh 
DPR. Sepanjang dia memang dipilih oleh rakyat dan kemenangannya cukup 
signifikan, mengapa harus takut pada DPR.

Kalau saja sampai terjadi DPR menghambat program presiden, cara-cara seperti 
yang dilakukan Obama bisa ditiru. Rakyat akan ikut menentukan mana yang lebih 
memenuhi harapan rakyat: Presiden atau wakil rakyat. Dengan demikian, akan 
terjadi juga proses pendewasaan DPR. Termasuk dalam proses ini adalah 
dikuranginya peran fraksi, sehingga anggota DPR sedikit lebih terbebas dari 
belenggu fraksi.

Lain dengan yang dilakukan Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao. Semestinya Wen 
memerintah dengan tangan besi. Apalagi, di zaman krisis seperti ini. Toh, Wen 
terus berdialog langsung dengan rakyat. Dia sangat rajin turun ke daerah-daerah 
yang paling menderita. Bahkan, dua hari lalu dia chatting dengan pengguna 
internet. Sebuah dialog langsung yang mestinya hanya bisa dilakukan oleh negara 
liberal. Di Tiongkok pengguna internet memang luar biasa besarnya: 300 juta. 
Penguasa tahu kekuatan komunikasi yang terkandung di dalamnya. Maka sangat 
tepat kalau Wen memanfaatkannya. Kenapa Wen melakukan itu?

Dalam masa krisis, peran pemimpin memang sangat menentukan. Kalau dia terus 
bicara mengenai kesulitan-kesulitan krisis yang harus dihadapi, bisa-bisa 
rakyatnya akan takut, lemas, dan kehilangan semangat. Yang lebih membahayakan 
lagi kalau rakyatnya kehilangan sikap optimistis dan kehilangan kepercayaan 
diri.

Sebaliknya, kalau pemimpin terus menutupi kesulitan itu dan hanya memompa 
semangat melalui pidato, bisa-bisa rakyat terjerumus. Maka di masa seperti ini 
pemimpin memang harus pandai-pandai membuat keseimbangan antara menunjukkan 
realitas yang sulit dan memberikan optimisme melalui langkah konkret.
"Terus terang, baru sekali ini saya chatting di internet. Sesuatu yang pertama 
selalu saja membuat grogi," ujar Wen dengan nada gurau, tapi sangat mengena di 
hati rakyat biasa. "Baik sekali menggunakan cara ini untuk tukar pikiran secara 
langsung dengan rakyat," tambahnya.

"Rakyat telah memberi saya kekuasaan. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya 
yang terbaik. Karena itu, saya habis-habisan melayani rakyat," katanya menjawab 
pertanyaan para netter. Ada 30 pertanyaan yang sempat dikomentari oleh Wen 
Jiabao di situ. Mulai yang berat-berat sampai yang ringan-ringan dan yang 
sangat pribadi. Misalnya: Berapa hari dalam setahun berada di rumah? Berapa 
gaji? Kalau almarhum Perdana Menteri Zhu Enlai terkenal sebagai peminum, berapa 
banyak Anda mampu minum (alkohol)? Dalam waktu senggang apakah Anda chatting di 
internet atau main playgame? Berapa jam tidur sehari? Sampai ke pertanyaan 
serius: apakah Anda merasa harga rumah di perkotaan masih terlalu tinggi?

Jawaban-jawaban Wen, terus bermain di antara menceritakan realitas yang 
sulit-sulit dan harapan-harapan yang optimistis. Misalnya, kata-katanya yang 
lucu "sukses tidaknya mendorong orang untuk belanja itu bukan bagaimana 
pemerintah mengimbau orang agar belanja, tapi yang lebih penting adalah ada 
atau tidak ada uang di saku mereka."
Karena itu, pemerintah menganggarkan dana sampai 500 miliar dolar dalam empat 
tahun ini. Hasilnya pun sudah bisa dia ceritakan. "Sepuluh hari pertama 
Februari, penggunaan listrik sudah naik 13,2 persen," katanya. Dan, kalau 
dilihat sepuluh hari kedua, kenaikannya sudah 15 persen. Tingkat konsumsi juga 
sudah mulai naik. "Semua data ini akan terus kita ikuti dengan cermat. Kalau 
memang masih diperlukan, pemerintah akan menggenjot lagi," katanya.

Jawaban lain bentuknya imbauan. Misalnya, para pengusaha dan bankir harus punya 
jiwa sosial. Demikian juga para dokter harus memberikan pelayanan terbaik 
kepada orang yang lagi susah. "Kalau para dokter mengeluh, berikan keluhan itu 
kepada kami. Jangan sampai keluhan itu dilampiaskan dalam bentuk pelayanan yang 
kurang baik kepada pasien," katanya.
Wen ingin sekali membangun rasa percaya diri yang kuat bahwa Tiongkok mampu 
mengatasi krisis ini. "Percaya diri lebih berharga daripada emas atau uang," 
katanya. Membangun percaya diri juga bagian penting dari mengatasi krisis. (*)
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to