Media Indonesia
Rabu, 27 Oktober 2004

OPINI

Paradigma Baru Pembangunan Indonesia
Sugiharto, Menteri BUMN

INDONESIA kini memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Masyarakat kini telah 
semakin dewasa dan cerdas dalam menentukan pilihan demokratisnya. Kondisi 
ini harus disyukuri, karena hal ini tentu akan berdampak positif bagi 
seluruh segi kehidupan, termasuk bagi kehidupan ekonomi. Dalam konteks 
ekonomi, masyarakat sadar bahwa apa yang dilakukan oleh institusi ekonomi 
kita sebelum ini masih jauh dari tujuan keadilan dan kesejahteraan.
Tentu ada alasannya, mengapa dikatakan bahwa cara berekonomi kita sebelum 
ini masih jauh dari tujuan keadilan dan kesejahteraan. Cobalah tengok, angka 
pengangguran, kemiskinan, dan data-data lain yang langsung menyentuh 
kehidupan masyarakat kita. Di saat negara lain telah berhasil mengurangi 
tingkat pengangguran di negaranya, Indonesia justru mengalami hal 
sebaliknya.
Berdasarkan data dari Asian Development Bank, angka pengangguran Indonesia 
terus mengalami kenaikan. Jika pada 2000, angka pengangguran masih sekitar 
6,1%, maka pada akhir 2003 meningkat menjadi 9,8%. Sementara itu, Thailand, 
jika pada 2001 angka penganggurannya masih 3,3%, maka pada 2002 turun 
menjadi 2,4%, dan pada 2003 turun lagi menjadi 2,2%. Sungguh memilukan!
'Old paradigm vs new paradigm?'
Sehubungan dengan kondisi seperti itu, maka sudah saatnya kita melakukan 
perubahan di bidang kebijakan ekonomi di masa yang akan datang. Misalnya, 
selama ini kita terlalu sempit melihat apa yang dipandang sebagai stabilitas 
makroekonomi.
Stabilitas makroekonomi menurut old paradigm sering hanya dimaknai sebatas 
suku bunga, inflasi, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan kurs rupiah. 
Sementara itu, stabilitas politik dan keamanan, penegakan hukum dan 
keadilan, pemberantasan korupsi, pengurangan high cost economy, penciptaan 
good governance dalam setiap aspek perekonomian, dan lain-lain dianggap 
bukan merupakan hal-hal yang dapat menciptakan stabilitas makroekonomi.
Karena melihat stabilitas makroekonomi secara sempit, maka cara 
penanganannya pun terlihat cenderung pragmatis dan mengabaikan dampak jangka 
panjang. Lihat misalnya, demi stabilitas makro versi old paradigm tersebut, 
selama 2001-2003, penerbitan obligasi (SUN) baru naik dari Rp2 triliun 
(2002), Rp11,3 triliun (2003), Rp32,5 triliun (2004), dan Rp50,2 triliun 
(2005). Kemudian, demi stabilitas makroekonomi ini, kita juga banyak 
melakukan firesales atas aset-aset BUMN. Namun, apa hasilnya?
Memang ada modal yang masuk akibat berbagai langkah tersebut. Namun, 
modal-modal yang masuk ke Indonesia merupakan modal-modal jangka pendek, 
bukan jenis modal yang didapat dari penanaman modal asing. Karena modal yang 
masuk adalah modal-modal jangka pendek, maka stabilitas makro yang terbentuk 
pun sangat rentan dengan pergerakan modal-modal jangka pendek tersebut. Di 
samping itu, modal-modal seperti ini juga tidak memberikan nilai tambah bagi 
kehidupan masyarakat banyak.
Respons investor akan sangat berbeda jika stabilitas yang tercipta merupakan 
akibat dari faktor-faktor internal (internally-driven stability). Jika hal 
tersebut terjadi, maka stabilitas yang dicapai akan lebih kukuh dan 
Indonesia akan lebih menarik bagi investor berjangka panjang.
Di sisi lain, kebijakan penambahan utang baru dan penjualan secara murah 
aset negara demi stabilitas makro tersebut, memiliki implikasi yang tidak 
sedikit. Penambahan utang baru semakin membuat ruang gerak APBN menjadi 
sempit, karena semakin besar dana untuk membayar cicilan utang, berarti 
semakin sedikit dana untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, 
dan lain-lain kebutuhan hidup dasar masyarakat kita.
'New paradigm
Pandangan yang mengedepankan kepentingan yang cenderung elitis dengan dalih 
stabilitas makro, perlu diubah dengan pandangan tentang bagaimana menata 
kembali sektor riil, demi menjamin terciptanya stabilitas makro, 
pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi yang kukuh dan berkesinambungan. Kita 
memang butuh stabilitas makroekonomi melalui stabilitas kurs, inflasi yang 
terkendali, dan suku bunga rendah. Namun, hal ini tidak perlu costly dan 
pragmatis dengan menumpuk utang (dengan terlalu banyak mengeluarkan SUN) 
atau menjual BUMN dengan harga murah.
Kita sangat bisa membangun stabilitas ekonomi berdasarkan internally driven 
factors. Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam maupun sumber 
daya manusia. Namun sayang, selama ini pemberdayaan dan pemanfaatan 
resources-based economy ini masih bersifat marginal dan belum menjadi 
kekuatan utama perekonomian Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, kita 
justru asyik memperbanyak footlose industry atau industri-industri yang 
banyak bergantung pada impor.
Akibatnya, sektor-sektor perekonomian di dalam negeri, seperti pertanian dan 
perkebunan, tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ini mengingat, 
produksi yang dihasilkan oleh resources-based economy kita tidak diserap 
oleh industri-industri yang beroperasi di Indonesia. Sehingga, tidak 
mengherankan, jika tingkat kesejahteraan petani kita yang merupakan penduduk 
terbesar kita, cenderung menurun.
Pembangunan dan pemanfaatan yang optimal terhadap resources-based economy 
perlu dikembangkan. Ini berarti, pembangunan yang bertumpu pada kekuatan 
internal harus menjadi paradigma baru (the new paradigm) bagi pemerintah. 
Memang tidak mudah membangun perekonomian berdasarkan kekuatan internal. 
Namun belajar dari pengalaman negara lain, misalnya Thailand, sesungguhnya 
sangat tidak mustahil kita mampu melaksanakan.
Ketika memulai membangun perekonomiannya, strategi Perdana Menteri Thailand 
Thaksin Shinawatra sesungguhnya sederhana. Thaksin memulainya dengan 
membangun sektor mikroekonomi negaranya. Dalam mengembangkan sektor mikro 
ini, Thaksin menggunakan kebijakan dua jalur (dual track policy). Jalur 
pertama mengedepankan investasi yang berbasis ekspor. Jalur kedua fokus pada 
upaya memberdayakan seluruh kekuatan ekonomi dan sumber daya dalam negeri.
Melalui jalur pertama, kebijakan investasi Thaksin kebanyakan ditujukan 
untuk mendorong industri berbasis ekspor. Dengan kebijakan ini diharapkan 
terjadi peningkatan yang signifikan dalam hal net export. Sehingga, dengan 
net export yang tinggi, maka akan memperkuat neraca perdagangan dan neraca 
berjalan. Sedangkan melalui jalur kedua, Thaksin memberikan stimulus pada 
permintaan dalam negeri melalui peningkatan belanja pemerintah.
Sektor-sektor yang masuk dalam daftar Thaksin untuk dibenahi adalah (i) 
sektor pertanian, dimulai dengan moratorium pembayaran utang selama tiga 
tahun bagi petani yang mempunyai utang pada Bank for Agricultural 
Cooperatives; (ii) mentransformasikan sektor informal ke sektor formal; 
(iii) memberikan pinjaman murah kepada petani; (iv) pendirian bank khusus 
yaitu The Bank for Small and Medium Sized Enterprises untuk mendukung 
keberadaan UKM, dan lain-lain.
Inti dari semua itu adalah pembenahan perekonomian Thailand harus dimulai 
dari sektor mikro, terutama yang bersumber pada kekuatan ekonomi domestik. 
Dan terbukti, melalui jalur pertama, perkembangan ekspor Thailand meningkat 
sangat tajam. Implikasinya, meskipun impor Thailand juga meningkat namun net 
export juga meningkat menjadi rata-rata sebesar US$4,5 miliar. Sementara 
rata-rata net export Indonesia hanya sekitar US$2 miliar.
Sedangkan melalui jalur kedua, nilai tambah sektor pertanian Thailand 
mengalami peningkatan yang signifikan. Sejalan dengan peningkatan nilai 
tambah sektor pertanian, sektor industri Thailand juga meningkat secara 
signifikan. Jika pada 1998 nilai tambah sektor industri masih minus 13,0%, 
maka pada 2003 tumbuh menjadi 9,3%, dan diperkirakan menjadi 10,0% pada 
2004.
Muara dari prestasi ekonomi Thailand adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi 
secara signifikan dan berkurangnya angka pengangguran, yang berarti 
meningkatnya kesejahteraan penduduk Thailand. Pertumbuhan ekonomi Thailand 
meningkat dari 2,1% (2001) menjadi 5,4% (2002), menjadi 6,3% (2003) dan 
diperkirakan menjadi 8,2% (2004). Bandingkan dengan Indonesia, di mana nilai 
tambah sektor pertanian dan industri cenderung stagnan. Nilai tambah sektor 
pertanian Indonesia stagnan di level 2,0% hingga 2,3% sejak 2002 dan nilai 
tambah sektor industri stagnan di level 3,1% hingga 3,8% sejak 2001 hingga 
sekarang.
Fakta membuktikan bahwa pembangunan didorong oleh faktor yang bukan kekuatan 
internal, hasilnya tidak akan berkesinambungan. Dengan demikian, yang perlu 
dilakukan ke depan adalah membangun dan menata ulang fondasi utama bangunan 
ekonomi kita ke depan, di mana dalam fondasi tersebut perlu diatur adanya 
sinergi antara industri pengolahan dengan resources based economy yang kita 
miliki, dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif. *** 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke