http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/02/opini/1722929.htm
Pendorong Trafiking Adriana Venny Apa sebenarnya faktor utama pendorong terjadinya trafiking (perdagangan manusia), kemiskinankah? Sebelum menjawab pertanyaan itu mari kita simak kisah Adisa (nama samaran), korban trafiking. Dia sempat mengenyam pendidikan tinggi di fakultas ekonomi sebuah universitas swasta di Bandung. TIGA tahun lalu dia bercerai dari suaminya. Di tengah kegalauan itu, tantenya menawari pekerjaan bergaji menggiurkan di Singapura. Atas dasar rasa percaya, dia bersedia pergi dengan tante yang ternyata menjualnya kepada germo rumah bordil di Kepulauan Batam. Ia disekap dan dipaksa bekerja menjadi pekerja seks. Peristiwa seperti Adisa banyak terjadi dan tidak bisa dilihat dari satu dimensi karena trafiking hampir selalu melibatkan orang yang kita kenal dengan modus operandi bujuk rayu, pemaksaan, penipuan, serta tidak mengenal aras pendidikan dan strata sosial, seperti pada pengalaman Adisa. Trafiking bukan hal baru karena pada masa kependudukan Jepang nenek-nenek kita banyak mengalami hal serupa, ditipu dan dijanjikan berkarier menjadi penyanyi di negara Sakura, namun disekap untuk menjadi budak seks di kamp tentara Jepang. Hingga kini, akibat tidak banyak pihak peduli serta kurangnya informasi, kasus trafiking terus berlarut-larut. Muncul beberapa perdebatan, apa sebenarnya akar terjadinya trafiking? Teori yang menjelaskan akar trafiking sangat minim bahkan hampir tidak ada. Namun, berdasarkan pengalaman organisasi kami menangani pemulihan korban trafiking, kami tetap memercayai satu hal: kemiskinan hanyalah salah satu pendorong, namun bukan faktor utama. Korban lain, Elizabeth (nama samaran), berasal dari keluarga etnis Tionghoa yang cukup mampu. Dia tengah menyiapkan studi S1-nya di sebuah perguruan tinggi di Pontianak, namun pacarnya membujuk dengan dalih cinta untuk ikut dengannya bekerja di Malaysia. Ternyata ia justru dijual ke seorang tekong di Malaysia yang mengelola bisnis prostitusi. Ia ingin pulang ke Pontianak, namun tidak punya uang karena semua uang dipegang germonya dengan dalih masih terbelit utang. Saat diselamatkan polisi dan dikembalikan ke Indonesia, ia tengah hamil karena salah satu pelanggan menolak menggunakan kondom. Kini ia telah dijemput keluarganya dan bayinya lahir dengan selamat meski ia sempat mengalami goncangan jiwa dan menolak menerima bayi yang dikandungnya. Erni (nama samaran), korban trafiking yang berlatar keluarga mampu di Jakarta. Ia memiliki hubungan kurang harmonis dengan keluarganya dan lebih sering tinggal di luar rumah. Bersama rekan-rekannya ia mendirikan kelompok band dan salah satu teman menawarkan untuk mengembangkan karier musiknya di Negeri Jiran. Tanpa curiga ia ikut hingga akhirnya dijebak dan dijual menjadi pekerja seks. Saat diselamatkan dan ditampung di KBRI, ia tampak berbeda dibandingkan dengan teman-temannya sesama korban karena tetap sejahtera dan pulsa di ponselnya senantiasa penuh. Ketika saya tanyakan, ia bilang ia selalu dikirimi uang orangtuanya, sementara kawan-kawannya harus menjual barang satu per satu untuk ditukar dengan kebutuhan hidup semasa ditampung di KBRI. Kisah Adisa, Elizabeth, dan Erni layak diperhitungkan guna menggoyahkan asumsi bahwa trafiking terjadi karena awalnya semata didorong faktor kemiskinan. Rasa putus asa, marah, keluarga broken home, dan terdominasi bisa menyebabkan pihak lain mengambil keuntungan darinya. CARUT-marutnya pelaksanaan dan aturan bagi agen tenaga kerja ke luar negeri, maraknya suap dan korupsi, serta minimnya informasi bekerja di luar negeri juga membuat korban seolah terbuai dan tidak lagi merasa perlu memeriksa ulang deskripsi pekerjaan dan kontrak kerja. Mereka bahkan berasumsi, teman, kerabat, tetangga, pacar, bahkan suami tidak akan menjerumuskan mereka. Hal-hal di atas juga menjawab fenomena 20 persen dari seluruh buruh migran Indonesia adalah korban trafiking seperti angka perkiraan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, dengan penempatan, pekerjaan, dan kontrak kerja tidak jelas. Kini saatnya semua pihak peduli, sehingga kasus trafiking tidak terulang kembali. Andil pemerintah sangat signifikan dalam menjerat semua yang terlibat sindikat trafiking serta menyebarkan informasi kewaspadaan hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Faktor informasi yang minim juga menyebabkan calo seperti tante Adisa atau pacar Elizabeth mungkin tidak tahu persis korban akan diperlakukan seperti apa di sana. Seorang mantan calo di Entikong yang berhasil diwawancara Yayasan Jurnal Perempuan mengaku menyesal dan sedih saat tahu korban diperlakukan dengan tidak baik. Di Medan, salah satu juara dalam tingginya kasus trafiking, saya bertemu seorang jurnalis yang bercerita ia pernah ditawari cukong yang akan memberinya upah Rp 2 juta jika bisa mencarikannya anak perempuan (ABG) yang cantik. Bayangkan jika ia berhasil menjual 10 anak perempuan. Umumnya, korban awalnya dijanjikan akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran atau kafe. Tetapi, dari pengakuan para korban, saya lalu paham, setelah tiba di Kuala Lumpur anak perempuan itu dijual keperawanannya dengan harga berlipat-lipat. Jika dikurs ke rupiah besarnya Rp 6 juta-8 juta. Umumnya korban berparas cantik. Proses seleksi telah terjadi dalam perjalanan mereka menuju Negeri Jiran. Dari pengakuan beberapa korban, mereka umumnya berombongan dibawa ke Malaysia melalui perbatasan Entikong, Kalimantan Barat. Ada yang akan menjadi pekerja rumah tangga, pelayan restoran, dan penjaga toko. Di Kuching, Malaysia, mereka ditampung di suatu tempat. Yang berparas cantik dikumpulkan di satu ruangan, sementara yang kurang cantik melanjutkan perjalanan untuk tetap dipekerjakan menjadi PRT. Salah satu korban, Rena (nama samaran) dari Jawa Barat, merasa bingung karena harus melepas semua bajunya untuk dilihat apakah tubuhnya benar-benar indah tanpa cacat. Orang yang menyuruhnya menyebut itu sebagai prosedur check body. Saat itu ia baru sadar ditipu dan ingin lari. Namun, karena tidak memiliki uang cukup untuk kembali ke Jawa Barat, akhirnya Rena hanya bisa pasrah menerima keadaan tersebut. Kini Rena dan puluhan korban lainnya berharap pelaku trafiking dihukum mati karena menurut dia hanya itulah hukuman yang pantas bagi orang yang telah menghancurkan seluruh masa depan mereka. Sayangnya rancangan undang-undang (RUU) antiperdagangan manusia hingga kini belum disahkan. Saat ini pelaku dihukum terlalu ringan, bahkan dibebaskan karena menebus dengan uang. Padahal perdagangan perempuan dan anak bisa dicegah asal kita semua peduli dan sistem hukum berfungsi baik dengan memberi ganjaran seberat-beratnya terhadap pelaku. Peran keluarga, khususnya orangtua, juga tidak kalah penting. Mereka harus tahu persis dengan siapa anaknya bergaul. Dan meski mungkin ini berkesan pandangan stereotip, tetapi para orangtua yang memiliki anak perempuan cantik harus pasang mata ekstra karena umumnya merekalah yang kerap menjadi incaran calo. Apabila seorang anak terpisah dari orangtua, maka masyarakat dan lingkungan sekitar harus turut pasang mata dan menjaga si anak sehingga terhindar dari praktik jual-beli. Kini RUU antiperdagangan manusia mutlak harus segera disahkan guna menjaga anak-anak dan anak perempuan kita dari praktik trafiking yang keji. Sambil menanti kepedulian wakil rakyat merealisasikan RUU yang sangat penting tersebut, pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat harus segera menyebarkan informasi tentang trafiking sehingga tidak ada lagi korban akibat bujuk rayu dan penipuan. Adriana Venny Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/