From: Batara Hutagalung <batara4...@yahoo.com> Date: Thursday, March 4, 2010, 2:31 PM
Terbit 27 Februri 2010 Judul buku : “SERANGAN UMUM 1 MARET 1949, Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.” Penulis : Batara R. Hutagalung Penerbit : LKiS, Yogyakarta Tebal : xxviii hlm + 716 hlm = 744 halaman Harga : Rp. 150.000,- Di Yogyakarta tersedia di beberapa toko buku mulai Sabtu, 27 Februari 2010. Di Jakarta dapat diperoleh di Toko Buku GRAMEDIA mulai 1 Maret 2010. GRAMEDIA Blok M. Jl. Melawai III/12. Jakarta Selatan 12160. Tel.: 021 – 720 3322. GRAMEDIA Komplek Pertokoan Taman Kebon Jeruk Blok A II No. 1 Lt. 2. Jl. Meruya Ilir Raya. Jakarta 11650. Tel.: 021 – 586 7005. GRAMEDIA Mal D’Best Fatmawati Lt. 2. Jl. R.S. Fatmawati No. 15. Jakarta Selatan 12420. Tel.: 021 7591 0830.GRAMEDIA Mal Cinere Lt. 2. Jl Raya Cinere, Limo, Jakarta Selatan. Tel.: 021 – 754 0663. Atau di Toko Buku GRAMEDIA lainnya. ============ ========= ====== Ringkasan Isi: Buku ini menjelaskan secara rinci dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen otentik mengenai peristiwa yang dikenal sebagai “Serangan Umum 1 Maret 1949.” Peristiwa ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu bagian dari rangkaian perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan pada 17.8.1945. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan RI dan berusaha menjajah kembali dengan melancarkan agresi militer yang sangat kejam. Tentara Belanda banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu membantai puluhan ribu rakyat yang tak bersenjata (non combatant). Bahkan hingga sekarang pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda MENERIMA de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, tetapi tetap tidak mau mengakui de jure. Bagi pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yang merupakan “hadiah” dari Belanda. Serangan atas Yogyakarta pada 1 Maret 1949 -oleh para penggagasnya ketika itu dirancang sebagai suatu ‘Serangan Spektakuler’- merupakan bagian dari serangan yang serentak dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/Gubernur Militer III. Sedangkan serangan ini sendiri merupakan bagian dari operasi militer secara besar-besaran yang dilakukan hampir bersamaan di seluruh Pulau Jawa, atas perintah Panglima Besar Sudirman. Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas. Kenangan Masa gerilya, jilid 2 A, hlm. 230”, Jenderal A.H. Nasution menulis: "...enam jam di Yogya -yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima B. Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat)." Perencanaan dan persiapan serangan yang dilancarkan serentak di seluruh wilayah Divisi III/Gubernur Militer III, dilakukan di jajaran tertinggi militer Divisi III, dengan melibatkan beberapa pucuk pimpinan pemerintahan sipil. Operasi militer di seluruh Jawa dilakukan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, dalam rangka memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Perintah Siasat No. 1, tertanggal 12 Juni 1948 (!), yang telah mengantisipasi akan adanya agresi militer Belanda II, yang kemudian dilancarkan pada 19.12.1948. Persiapan untuk menghadapi agresi II tersebut telah dimulai sejak bulan Mei 1948. Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen yang terlampir dalam buku ini terlihat jelas, bahwa pemberi perintah dan pemegang kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III/Gubenur Militer III adalah Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, Hal ini dapat dilihat a.l. dalam Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Letkol. M. Bachrun, di mana disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Komandan Wehrkreis III, Letkol Suharto, untuk mengadakan serangan terhadap Ibukota (waktu itu) Yogyakarta antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Teks Instruksi Rahasia tersebut adalah: Berkenaan dengan Instruksi Rahasia jang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto), oentoek mengadakan gerakan serangan besar2an terhadap Iboe-kota jang akan dilakoekan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergoenakan bantoean pasoekan2 dari Brigade IX. Dengan ini diperintahkan kepada: Comandant Daerah I Oentoek : 1. Pada waktoe bersamaan dengan tanggal tsb. diatas (25/II/1949 s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah soetoe object musuh di Daerah I oentoek mengikat perhatian moesoeh dan mentjegah balabantoean oentoek Jogjakarta. Dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi militer tersebut, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Simatupang menyiapkan (dalam bahasa Inggris) teks berita mengenai serangan tersebut, yang diberikan sehari sebelum serangan dilakukan. Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, yang dilakukan secara “estafet”, melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di Wiladek. Selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa, Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas. Para pejabat pemerintahan sipil diperbantukan kepada pemerintahan militer. Pimpinan pemerintahan sipil sangat berperan dalam penyediaan logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan gerilyawan. Untuk perawatan medis melibatkan Palang Merah Indonesia (PMI). Di bagian akhir buku ini dibahas dua versi lain dari peristiwa ‘Serangan Umum’ ini. Di masa Orde Baru, selama puluhan tahun versi resmi yang boleh dibaca oleh masyarakat adalah, bahwa penggagas, pemberi perintah dan pemegang kendali seluruh operasi adalah Letkol Suharto, yang kemudian menjadi Presiden RI. Setelah Suharto lengser ada pihak yang berpendapat, bahwa semua peran yang telah diklaim oleh Suharto, yaitu penggagas, pemberi perintah dan pemegang kendali seluruh operasi militer ini adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Buku ini mengupas, berdasarkan bukti-bukti, dokumen dan logika, bahwa kedua versi tersebut tidak dapat dipertahankan. Tidak ada satu dokumenpun yang dapat membuktikan keterlibatan Sultan Hamengku Buwono IX dalam operasi militer tersebut. ============ ========= ========= ========= ===== Komentar seorang pelaku Serangan Umum 1 Maret 1949 dan beberapa tokoh masyarakat. Ø Mayjen TNI (Purn.) Sukotjo Tjokroatmodjo, pelaku Serangan Umum 1 Maret 1949. Pembaca buku ini mendapat pandangan yang baik dan akurat serta luas tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Salut kepada Batara R. Hutagalung. Ø Laksda TNI (Purn.) Wahyono SK, PhD, Sekjen LVRI. Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah suatu tindakan strategic manouvre yang gemilang untuk mendukung upaya diplomasi RI di forum PBB. Buku ini menguraikan peristiwa besar itu secara rinci, maka perlu dibaca oleh generasi muda bangsa Indonesia untuk memperkokoh landasan jati dirinya. Ø Abdul Irsan SH, mantan Duta Besar RI untuk Belanda dan Jepang. Buku ini merupakan hasil karya menakjubkan yang sangat penting diketahui generasi muda Indonesia, karena menguraikan dengan jelas hampir keseluruhan perjuangan bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda. Ø Laksmana Pertama TNI (Purn) Mulyo Wibisono SH., BSc., MSc. -Direktur Institut Pengkajian Konflik dan Perdamaian. Kenyataan sejarah memang merupakan sesuatu hal yang menyakitkan, tetapi pelajaran yang didapat dari kenyataan sejarah tersebut adalah lebih penting bagi generasi yang akan datang, agar tidak membuat kesalahan yang sama. Demi masa depan, buku ini sangat penting untuk dibaca. Ø Dra. Ratna Hapsari., M.Si Guru Sejarah, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Buku ini memiliki beberapa kelebihan diantaranya, ditulis dengan gaya bahasa sederhana sehingga mudah untuk dipahami. Pemaparan fakta sejarahnya didukung oleh sumber lisan dan tulisan yang memadai. Uraiannya telah membuktikan bahwa peristiwa sejarah terjadi karena serangkaian sebab dan akibat. Perlu dibaca oleh para guru sejarah untuk tambahan wawasan dalam menjelaskan peristiwa demi peristiwa kepada siswa agar sebagai generasi muda, mereka benar-benar belajar dari sejarah bangsanya yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran dan bukan kepada pembenaran. Ø Ir. Sarjono Kartosuwirjo, putra S. M. Kartosuwirjo. Sungguh sebuah buku sejarah perjuangan dari bangsa Indonesia yang lengkap dan lugas, tanpa tekanan dari penguasa, karena ditulis di masa reformasi, oleh bukan hanya pengamat sejarah, tetapi oleh keluarga pelaku sejarah, sehingga kita bisa merasakan jiwa (ruh) pejuang di saat itu untuk direvitalisasi. Ø Amb. Prof. Dr. Bachtiar Aly, Ketua Dewan Guru Besar FISIP UI. Dahsyat dan mengharukan, buku ini telah mampu menggugah kesadaran kolektif kita dan bahkan memompa spirit nasionalisme kita untuk selalu sadar jangan sampai sudah ‘merdeka’ tetapi tidak berdaya dan terpasung oleh mental ‘inlanders’ yang selalu minder dengan segelintir bangsa-bangsa asing yang masih bermental penjajah dan serakah. Salut dan bangga atas prestasi penulis yang mampu merekam dan memberi makna atas jejak rekam perjalanan Bangsa Indonesia menggapai cita-cita Proklamasi 17.8.1945. Bravo! [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]