Penguasa, Capres, dan "New Media" 

Penguasa, Capres, dan "New Media"

Oleh Lily Yulianti Farid
http://media-klaten.blogspot.com/2009/03/penguasa-capres-dan-new-media.html

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blog-nya pada 14 
Agustus 2006 dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog 
tersebut melampaui angka 12.000 pada hari pertama. Dan, ketika berita ini 
tersebar ke seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog 
tersebut saking padatnya kunjungan warga maya (netizen).



Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik AS dan Barat ini untuk menyapa 
dunia melalui blog memang jadi berita kala itu. Ada yang memuji, tapi tak 
sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi manusia (HAM) di 
Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk terhadap 
blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda terselubung 
rezim yang dipimpinnya.

Meski tak banyak tulisan yang diposting Ahmadinejad dalam tiga tahun terakhir 
dan bahkan tak ada artikel sepanjang tahun 2008, ia setidaknya telah 
menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam 
empat bahasa: Persia, Arab, Inggris, dan Perancis itu diawali dengan biografi 
panjang. Ketika respons pengunjung memuncak sementara postingannya semakin 
gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya meluangkan 
waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) memeriksa 
semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan yang 
disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti.

Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blog-nya, pada pengujung 
tahun 2007, Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan 
waktu itu untuk membaca pesan yang masuk daripada menulis postingan baru. 
”Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan kalimat: saya tahu 
bahwa presiden tidak akan membaca pesan ini....”

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan 
tetap terus mengalir dan ia memiliki ”kolam ide” berkat komentar dari segala 
penjuru dunia.

Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti aktivitasnya di 
situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah kanal komunikasi 
yang didesain agar sang presiden bisa bercakap-cakap secara lebih personal 
dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog Wakil Presiden 
Jusuf Kalla yang sejak Rabu (4/3) mengisi lahan blogger tamu Kompasiana. 
Postingan pertama berjudul ”Assalamu Alaikum”, tulisan dua paragraf sebagai 
salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar pembaca. Beberapa jam 
sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menulis blog di 
Kompasiana. Postingan pertama Prabowo berjudul ”Pengalaman Singkat Saya 
Bermilis” ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen puluhan 
komentar dan meroket sebagai salah satu tulisan terpopuler.

Menarik perhatian



Respons yang tumpah ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. 
Pejabat, politisi, dan newsmaker lain yang memutuskan membuat media personal 
pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang selama ini 
diberitakan, kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya sendiri. Bagi 
sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah tantangan awal 
untuk menumbuhkan kepercayaan audiens meski tentunya agak sulit meyakinkan 
audiens bahwa capres dan wapres yang supersibuk bakal punya waktu membaca semua 
komentar.

Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah 
cerminan rakyat ”dunia nyata” yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh 
publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakan, karena 
rakyat dunia maya adalah audiens yang bisa langsung merespons secara kritis dan 
menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga 
yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya pada suatu 
pandangan.

Gelombang New Media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat 
pemerintah, politisi, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama 
ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus We Media, yakni 
orang- orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media 
alternatif yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas 
terbentang dari hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah 
penguasa dan politisi korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar 
yang kehilangan independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang.

Pada Pemilu 2009, peran New Media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang 
telah dicatat Barack Obama dalam Pilpres AS, ketika barisan pendukung dan 
relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat Web-based organizing campaigns. 
Di Tanah Air, politisi ramai-ramai mengikuti jejak Obama, merambah blog dan SNS 
(social network system), seperti Facebook dan Youtube. Tak cukup beriklan di 
media mainstream, tim komunikasi caleg dan capres pun terjun ke media 
alternatif.

Sayangnya, penguasa dan politisi yang terbiasa dirubung staf, banyak yang 
terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau 
capres lain yang menemui publik lewat blog adalah penting mengingat bahwa 
netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok yang 
mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa 
mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil. Meski hanya 15 menit 
sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad.



Lily Yulianti Farid Aktif Mengembangkan Citizen Journalism di www.panyingkul.com



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/24/05094018/penguasa.capres.dan.new.media
 


 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to