(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Pengusutan anak dan kroni Suharto





Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang dihadapi
negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana, gempa
di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi korban
lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya
anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo
karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum
terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini
kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.



Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini, penyelesaian masalah Suharto
beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting,
karena  ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita.
Hal-hal inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus
Edi Hardum yang dimuat oleh Suara Pembaruan ‘(25 Februari 2008). Mengingat
pentingnya tulisan ini untuk diteruskannya gugatan  atau desakan masyarakat
untuk menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan
kembali tulisan ini, bagi mereka  yang tidak sempat membacanya di Suara
Pembaruan.



  1.. Umar Said


 = = =



Tulisan dalam Suara Pembaruan itu selengkapnya adalah sebagai berikut :



Pengusutan Anak dan Kroni Soeharto, Utopis?

Pengantar



Setelah mantan Presiden Soeharto meninggal dunia, kasus hukum yang
membelitnya tetap saja menarik perhatian publik. Hal itu terjadi karena Tap
MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme (KKN), masih tetap berlaku. Akankah putra-putri dan kroni Soeharto
diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan berbagai kasus KKN pada
masa pemerintahan Orde Baru? Wartawan Suara Pembaruan  Siprianus Edi Hardum
menuliskan laporannya.





Tuntutan sebagian masyarakat agar pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung
(Kejagung) menyeret mantan Presiden Soeharto secara pidana atas dugaan
tindak pidana korupsi yang dilakukannya selama ia menjadi Presiden, berhenti
sejak sang "Jenderal Besar" itu menghadap Tuhan pada 27 Januari 2008.



Pasalnya, menurut hukum, seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan
meninggal dunia, maka proses hukum secara pidana terhadapnya gugur dengan
sendirinya. Yang didesak sebagian masyarakat terhadap pemerintah, terkait
tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto adalah menuntut Soeharto
melalui ahli warisnya (anak-anaknya) secara perdata. Sedangkan kasus korupsi
yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto tetap dilakukan secara
pidana dan perdata.



Tuntutan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Soeharto,
anak-anak dan kroni-kroninya merupakan amanat reformasi 1998, sebagaimana
tertuang dalam Tap MPR XI /1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).



Pasal 4 Tap MPR XI/1998 berbunyi, "Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan
secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat
negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk
mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah dan HAM".



Dugaan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi sehingga sampai dirumuskan
dalam Tap MPR seperti tersebut di atas, rupanya tidaklah berlebihan. Betapa
tidak pada 20 September 2007, United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) dan World Bank Group (WBG), menyatakan, mantan Presiden Soeharto
menduduki peringkat pertama sebagai pencuri aset negara, yaitu sebesar US$
15 miliar - US$ 35 miliar dari kurun waktu 1967 - 1998.



Pertanyaannya adalah bisakah pemerintah sekarang dalam hal ini Kejagung
mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan kroni-kroni Soeharto, baik
secara pidana maupun perdata, sebagaimana diamanatkan Tap MPR tersebut?





Masih Rezim Soeharto



Sudah 10 tahun reformasi, amanat Pasal 4 Tap MPR tersebut belum ada
hasilnya. Jaksa Agung berganti, tetapi tidak ada terobosan untuk
melaksanakan amanat itu. Saat ini Kejagung tengah menggugat Soeharto secara
perdata melalui keenam anaknya atas dugaan penyimpangan dana Yayasan
Supersemar, yang sidangnya masih berlangsung di Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan (Jaksel). Namun, sebagian masyarakat kurang berharap
Kejagung bisa menang karena Kejagung tidak terlalu progesif.



Pada 31 Agustus 2000, pemerintahan BJ Habibie dalam hal ini Kejagung
mendudukkan Soeharto di kursi pesakitan, yakni di PN Jaksel.



Jaksa Penuntut Umum (JPU), Muchtar Arifin, yang sekarang menjabat sebagai
Wakil Jaksa Agung, mendakwa Soeharto melakukan korupsi atas tujuh yayasan
yang dimiliki Soeharto, yang merugikan negara senilai Rp 1,7 triliun.



Namun, tuntutan terhadap Soeharto berhenti karena Soeharto mengalami sakit
permanen. Berdasarkan itulah Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, pada 12 Mei
2006, mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3)
Soeharto, walaupun banyak masyarakat memprotesnya.



Banyak kalangan berpendapat, kalau Kejagung mau kasus dugaan korupsi yang
dilakukan Soeharto diusut tuntas, maka pengadilan terhadap Soeharto bisa
dilakukan secara in absentia. Seperti advokat kondang, Adnan Buyung
Nasution, mengatakan, pengadilan Soeharto bisa dilakukan secara in absentia.
Setelah Soeharto dinyatakan bersalah, kata pendiri Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) itu, maka negara dan masyarakat mengampuninya; dan
uang negara yang dikorupsinya diambil untuk negara.



Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Uli Parulian
Sihombing, mengatakan, kalau Soeharto tidak diadili secara pidana maka
pemerintah sejak awal menggugatnya secara perdata. Hal ini bertujuan untuk
mengembalikan harta negara yang dicuri Soeharto.



Sedangkan menurut Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, Peter Mahmud Marzuki, diperlukan inisiatif
untuk mengembalikan aset yang telah dicuri rezim yang memerintah secara
otoriter dan marak korupsi. Biasanya setelah rezim yang otoriter dan korup
itu tumbang, penggantinya segera mengeluarkan suatu dekrit apa pun namanya
untuk membentuk suatu lembaga tertentu atau melakukan tindakan tertentu yang
ditujukan untuk mengusut aset negara yang diperkirakan telah dicuri rezim
otoriter. Hal seperti ini, kata Peter, sudah dilakukan Filipina,tidak lama
setelah Presiden Marcos tumbang.



Lalu mengapa pemerintah reformasi yang dipimpin Habibie, Megawati dan Susilo
Bambang Yudhoyono tidak melakukan itu? Banyak analis politik dan ekonomi
berpendapat pengusutan kasus dugaan korupsi oleh Soeharto tidak dilakukan
karena pemerintahan reformasi adalah pemerintah Soeharto jilid II.
"Pemerintahan reformasi, kecuali pemerintahan Gus Dur, adalah pemerintah
Orde Baru jilid II," kata ekonom Faisal Basri.



Dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana dirumuskan Stephen D Krasner, seperti
dikutip Arief Budiman, rezim lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip,
norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut
oleh penguasa negara (Arief Budiman, 1997: 86 - 87).



Mengacu pada dua pengertian rezim itu, maka tidak berlebihan kalau kita
mengatakan, pemerintahan reformasi, terutama pemerintahan sekarang, adalah
pemerintahan yang masih dikuasai rezim Soeharto.



Pada kabinet Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan terutama kabinet Yudhoyono
banyak sekali kroni Soeharto.



Oligarki Berkaki Tiga



Rezim Soeharto begitu kuat, dan mungkin masih untuk beberapa periode ke
depan, karena sistem ekonomi-politik yang dibangun Soeharto selama 32 tahun
adalah sistem oligarki. Sistem ini melahirkan pengikut setia yang
turun-temurun.



Sistem ekonomi-politik oligarki menurut filsuf Yunani, Plato, sebagaimana
dikutip Aditjondro, adalah suatu bentuk masyarakat dimana kekayaan
menentukan kekuasaan, dimana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang
kaya, sementara orang miskin tidak mempunyai kekuasaan apa-apa (George Junus
Aditjondro dalam bukunya Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki
Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, LKiS Yogyakarta, 2006, hal 4).



Menurut Aditjondro, oligarki yang dibangun Soeharto adalah oligarki berkaki
tiga. Oligarki pertama adalah "istana", yang merupakan lingkaran dalam
oligarki ini. "Istana" bukanlah berarti sebuah gedung yang merupakan tempat
tinggal resmi Presiden, melainkan keluarga besar Presiden yang meliputi
kerabat dan keluarga besar yang tinggal di luar istana.



Oligarki kedua adalah "tangsi", yang sekaligus merupakan lingkaran pelindung
pertama dari "istana". Menurut Aditjondro, "tangsi" bukanlah mengacu pada
tempat tinggal tiga kesatuan dan Polri, melainkan komunitas militer dan
polisi dari para purnawirawan, perwira tinggi, sampai pada para prajurit
yang bertugas memelihara kepentingan modal besar.



Tugas itu, kata Aditjondro, bukan semata-mata dijalankan karena ketaatan
pada perintah atasan, melainkan karena kesatuan TNI telah diikat
kesetiaannya pada keluarga batih Soeharto dengan yayasan-yayasan milik
satuan-satuan TNI dan Polri.



Selesai menjalankan dinas kemiliteran mereka, para mantan Panglima Daerah
Militer (Pangdam), Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Kepala Staf Angkatan
Laut (Kasal), Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) dan Kapolri banyak yang
diangkat menjadi komisaris pada berbagai perusahaan keluarga Soeharto.



Selain itu, sebelum dapat diangkat menjadi Panglima TNI, para perwira tinggi
itu dibina kesetiaan mereka menjadi ajudan pribadi Soeharto, istri dan
keenam anaknya.



Oligarki ketiga adalah partai penguasa, yang ketika Soeharto menjadi
Presiden bernama Golongan Karya (Golkar). Kaki ketiga ini, kata Aditjondro,
adalah benteng perlindungan kedua untuk berbagai bisnis istana, yang
sekaligus berfungsi menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi
kepentingan bisnis keluarga istana.



Dengan ketiga jalurnya, yakni jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi), dan jalur
G (kader Golkar yang asli, yang berasal dari tiga ormas pendiri Golkar,
yakni MKGR, Kosgoro, dan SOKSI), partai penguasa ini menjadi benteng yang
sakti dalam melindungi bisnis istana, dan sekaligus men-sipil-kan bisnis
keluarga Soeharto.



Sampai sekarang, kroni-kroni Soeharto adalah mereka-mereka yang diuntungkan
dan dibesarkan dalam tiga oligarki tersebut. Kroni itu mulai dari
konglomerat, pemilik media massa, TNI dan Polri, baik yang masih aktif
maupun sudah purnawirawan.



Selain itu, ada juga yang duduk di pemerintahan, DPR dan sebagai pejabat
penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim. Berdasarkan itu, gagasan
mengusut dugaan korupsi yang dilakukan anak-anak dan kroni-kroni Soeharto
adalah sesuatu yang utopis, mustahil terjadi, terutama oleh pemerintah
sekarang.



Coba simak pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji di DPR, Rabu (6/2),
ketika ditanya mengenai pengusutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
kroni mantan Presiden Soeharto. Ia mengatakan, sejauh ada alat bukti yang
menunjukkan ada tindak pidana yang dilakukan kroni mantan Presiden Soeharto,
Kejaksaan akan menangani perkaranya sesuai koridor hukum.



Meski demikian, harus dirumuskan lebih dahulu, apakah dalam perbuatan itu
ada tindakan melawan hukum yang merugikan negara. Menurut Hendarman, hingga
kini Kejaksaan belum memiliki satu pun alat bukti yang berkaitan dengan
dugaan korupsi kroni Soeharto.



Beranikah aparat penegak hukum, mengusut anak-anak Soeharto dan
kroni-kroninya?



Uli Parulian Sihombing masih berharap kepada pemerintah sekarang. Mantan
Direktur LBH Jakarta ini, mengatakan, kasus hukum Soeharto, anak-anak dan
kroni-kroninya, terutama kasus korupsi, merupakan utang yang harus
"dilunasi" pemerintah untuk bangsa dan negara. "Yang terpenting Jaksa Agung
mempunyai kemauan politik untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi
Soeharto," kata dia.



Indonesia, kata Uli, harus belajar dari pengusutan korupsi mantan Presiden
Ferdinand Marcos di Filipina dan Alberto Fujimori di Peru membutuhkan waktu
dan komitmen politik untuk menghadapi semua rintangan. *



* * *



No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.21.1/1298 - Release Date: 25/02/2008
20:45


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke