http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/16/Politikhukum/2292497.htm

 
Penting dan Rumit demi Kepuasan Rakyat 

Sidik Pramono



Apakah pelayanan publik sudah memenuhi harapan? Jawabannya mungkin nyaris 
seragam: tidak atau belum! Berpijak dari kondisi itu, apakah mendesak kebutuhan 
payung hukum soal pelayanan publik? Jawabannya tentu tidak akan bergeser: ya! 
Pertanyaan berikutnya, kapan dan dari mana pembenahan itu harus dimulai?

Keinginan memperbaiki pelayanan publik mendasari kesepakatan antara Komisi II 
DPR dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi untuk 
meneruskan proses pengusulan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik. Semua 
fraksi di Komisi II sependapat RUU tersebut diperlukan sebagai pijakan awal 
untuk menata birokrasi di Indonesia.

Seperti dinyatakan Taufiq Effendi, penyelenggaraan pelayanan publik masih 
dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta 
kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Keluhan muncul, mulai 
dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat 
yang tidak menyenangkan. Kewajiban negara melayani setiap warga negara dan 
penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik merupakan 
amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Keterangan pemerintah soal RUU Pelayanan Publik menyebutkan kegiatan pelayanan 
publik lebih lanjut diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara 
garis besar, peraturan tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu undang-undang 
yang menjamin pelayanan dilakukan oleh aparat dan kelompok undang-undang 
sektoral yang menjadi dasar dan wewenang bagi setiap departemen, instansi, atau 
pemerintah daerah untuk melayani. Undang-undang mengatur tegas kewajiban 
pemerintah memberikan pelayanan meski sebagian di antaranya tidak mengatur 
secara eksplisit.

Peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik masih terfragmentasi, 
belum cukup mengatur aspek pelayanan publik yang diperlukan. Akibatnya, potensi 
penyimpangan terhadap kewajiban pelayanan publik relatif besar. Upaya perbaikan 
kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik 
secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan 
perundang-undangan dalam bentuk undang-undang yang diharapkan menjadi payung 
hukum bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan yang memiliki sanksi 
sehingga memiliki daya paksa terhadap pemenuhan standar tertentu dalam 
pelayanan publik.

Kenyataan saat ini?

Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti 
soal fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat 
sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. 
Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi 
sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat 
menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian 
birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang 
sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat 
penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata 
lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. 
Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi 
menjadi alat mempertahankan kekuasaan.

Dalam draf RUU Pelayanan Publik itu termuat ketentuan dasar bahwa pelayanan 
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan 
dasar sesuai dengan hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu 
barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara 
pelayanan publik. Yang dimaksud sebagai penyelenggara adalah penyelenggara 
negara, penyelenggara ekonomi negara dan korporasi penyelenggara pelayanan 
publik, dan lembaga independen yang dibentuk pemerintah. Aparat penyelenggara 
pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, dan setiap orang yang bekerja di 
dalam organisasi penyelenggara.

Belum lagi tahapan pembahasan RUU Pelayanan Publik berlanjut, sejumlah 
ketentuan di dalamnya sudah mendapat sorotan. Anggota Komisi II Jazuli Juwaini 
(Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II) menyoal adanya ketentuan aparat 
dilarang merangkap sebagai pengurus organisasi, baik organisasi usaha maupun 
organisasi politik yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan 
pelayanan publik yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 
Jika memang sepakat bahwa aparat pelayanan publik tidak boleh diskriminatif, 
tidak boleh ada perkecualian soal netralitas itu. Sementara Wakil Ketua Komisi 
II Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III) menyoroti 
pedoman perilaku aparat yang diurai tetapi tanpa ukuran yang jelas. Selain itu, 
anggota Komisi II RB Suryama Majana (F-PKS, Jawa Barat VI) menyoal ketentuan 
mengenai gugatan atau tuntutan masyarakat yang antara lain hanya bisa dilakukan 
oleh lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum dan dalam anggaran 
dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikan organisasi adalah untuk 
melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik. Ketentuan dengan 
pembatasan seperti itu dirasa tidak perlu.

Perdebatan atas RUU ini memang diprediksi relatif dinamis. Jika merujuk pada 
keinginan menjadikan ketentuan menjadi payung, dinamika pembahasan memang harus 
senantiasa dicermati. Setiap pasal harus dicermati untuk menghindarkannya 
menjadi ketentuan yang beku di atas meja, tidak operasional di lapangan. Karena 
menyangkut kepentingan publik, sudah semestinya publik harus mengerti 
undang-undang, terutama untuk menjamin transparansi, menghindari tumpang tindih 
aturan.

Rumit

Rumitnya ketentuan mengenai pelayanan publik ini dinilai Pipit R Kartawidjaja 
dari Watch Indonesia sebagai pemborosan waktu dan tenaga. Pipit menunjuk pada 
ketentuan dalam RUU Pelayanan Publik yang sebenarnya diatur lewat ketentuan 
perundang-undangan yang lain. Larangan dan kewajiban aparat, misalnya, bisa 
diatur dalam undang-undang mengenai pegawai negeri sipil. Ketentuan soal 
pengawasan dan penyelesaian sengketa pun sudah dapat merujuk pada ketentuan 
khusus mengenai Ombudsman dan juga Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pipit menunjuk inefisiensi yang terjadi karena pada saat yang nyaris bersamaan 
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan RUU 
Administrasi Pemerintahan yang lebih bersifat teknis. Sebenarnya RUU ini lebih 
layak diprioritaskan karena sudah mencakup ketentuan yang ada dalam RUU 
Pelayanan Publik. Bahkan, dalam soal pelaksanaan asas penyelenggaraan pelayanan 
publik, lebih jelas apa ketentuan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Dalam 
RUU Pelayanan Publik tidak jelas bagaimana teknis pelaksanaan asas 
penyelenggaraan publik, kecuali ketentuan penyelenggara wajib menyusun dan 
menetapkan standar pelayanan. Yang dikhawatirkan, ketentuan bisa diterjemahkan 
berbeda oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sebagai perbandingan, dalam RUU Pelayanan Publik tercantum ketentuan mengenai 
perilaku aparat dalam penyampaian layanan. Antara lain aparat tidak membocorkan 
informasi atau dokumen yang menurut peraturan perundang-undangan wajib 
dirahasiakan. Ketentuan ini dinilai riskan karena membuka ruang bagi aparat 
penyelenggara pelayanan publik untuk mendefinisikan sendiri batasan rahasia itu 
demi kepentingan sendiri รข?"sementara di sisi lain tidak termuat ketentuan 
kewajiban mereka membuka akses bagi publik untuk memperoleh informasi. 
Sementara dalam draf awal RUU Administrasi Pemerintahan justru tercantum 
ketentuan instansi pemerintah wajib memberikan akses dan kesempatan kepada 
pihak yang terlibat untuk melihat dokumen administrasi pemerintahan yang dapat 
mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan.

Apa pun akhirnya nanti, RUU Pelayanan Publik masih sebatas adanya keinginan 
baik untuk meningkatkan pelayanan publik. Simak saja ketentuan peralihan RUU 
itu, Penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem 
informasi, dan tata cara pengelolaan pengaduan harus dipenuhi 
selambat-lambatnya dua tahun sejak undang-undang ini berlaku.

Memang lebih bagus kalau ketentuan itu segera direalisasikan. Namun, bagaimana 
kalau ketentuan itu pun lagi-lagi tertunda-tunda pemenuhannya?


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/f4eSOB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to