http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/perempuan-masih-terpinggirkan/
Jumat, 11 Desember 2009 13:45 Hari HAM Sedunia Perempuan Masih Terpinggirkan Jakarta - Solidaritas Perempuan melihat bahwa pemerintah gagal dalam melaksanakan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) secara afirmatif. Bahkan, pascakeruntuhan Orde Baru, yang dikenal sebagai rezim penistaan HAM, Indonesia tidak juga melangkah ke arah lebih baik. Yang terjadi adalah bentuk pelanggaran HAM model baru, yakni pengesahan peraturan deaerah (perda) dan peraturan desa (perdes) diskriminatif yang hingga saat ini mencapai 156 buah. Hal ini diungkapkan Wardarina, anggota Solidaritas Perempuan, yang ditemui SH, di Jakarta, Kamis (10/12) Sebuah kenyataan ironis, padahal negara ini telah memiliki konstitusi dasar untuk menjamin HAM setiap warga negaranya, seperti yang tertera pada Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal 28 E, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I dan Pasal 28 J UUD 1945. Selain itu, Indonesia juga telah memiliki UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai bentuk ratifikasi Deklarasi Universal HAM PBB 1948, dan UU No 7 Tahun 1984 sebagai bentuk ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Upaya penyeragaman dibalik legalisasi peraturan, mencederai prinsip pluralisme dan mengancam HAM. Refleksi selama ini mengantarkan bahwa diskriminasi merupakan akar persoalan HAM. Refleksi ini tidak menghasilkan upaya yang menggembirakan. Kasus qanun jinayat di Aceh yang memberlakukan hukum rajam sampai mati pada pelaku zina. Kasus Aceh Barat, melalui peraturannya, melarang perempuan mengenakan celana jins, yang tidak pantas diberlakukan. Atau akibat perdes mengenai hukum cambuk, seorang anak perempuan 16 tahun dihukum cambuk oleh pemerintah desa hanya karena menonton televisi bersama temannya di Desa Padang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kasus di atas jelas memberangus HAM dan hak perempuan yang semestinya dilindungi oleh negara. Semenetara itu, di isu migrasi, penegakan HAM Buruh Migran pada saat tahun 2009 ini, mengalami kemunduran. Hal ini terbukti dengan tidak diprioritaskannya Agenda Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) pada Agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 dan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM 2010. Padahal, pada periode sebelumnya, tahun 2004-2009, Ratifikasi Konvensi Migran 1990 sudah diagendakan dalam Prolegnas dan RAN HAM. Solidaritas Perempuan (SP) memandang situasi ini akan semakin menambah buruk kehidupan Buruh Migran Perempuan, karena selama ini belum ada standar perlindungan Buruh Migran Perempuan. "Sudah 61 tahun berlalu sejak Majelis Umum PBB mendeklarasikan Pernyataan Umum yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Namun sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum menunjukkan upaya signifikan dalam perlindungan dan penegakan HAM. Bahkan, turut menjadi pelaku dan melakukan pengabaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia," pungkas Warda. (heru guntoro) [Non-text portions of this message have been removed]